bc

PERNIKAHAN KEDUA

book_age18+
643
FOLLOW
1.8K
READ
alpha
possessive
second chance
sensitive
bxg
female lead
city
spiritual
polygamy
husband
like
intro-logo
Blurb

Sudah Tamat! Frree Koiin!

Danish, suami dari pernikahan keduaku. Dialah yang akan menjadi satu-satunya kisah terpanjang seumur hidup. Meski hati tersakiti karena kebohongannya. Tapi aku jauh merasa lebih munafik. Karena pada kenyataannya, aku telah memilihnya sebagai imam dalam rumah tanggaku, berkata benci walau ternyata tidak, sering memarahinya tapi malah aku yang tersakiti, entah ini disebut sebagai cinta atau keegoisan, tapi aku selalu cemburu bila teringat akan wanita yang menyebut dirinya sebagai istri pertama dari suamiku.

Kucoba untuk melupakan kejadian itu, menghapus memori saat bertemu dengan istri pertamanya. Mengobrol, pergi keluar, atau pun mengerjakan pekerjaan rumah yang kuulang dua kali, asal bisa mengalihkan ingatan tentang Zahra. Tapi itu sia-sia saja, malah semakin terngiang di telinga ucapannya. Padahal tak pernah lagi kami bertemu setelah hal itu terlewat satu minggu lalu.

Danish tak pernah berucap kasar walau aku marah, menegur lewat candaan kecil saat aku salah, mengingatkan salat lima waktu walau dia tiada di sisi, menyingkirkan lelah demi bermain dengan Athaya. Apalagi alasanku untuk tidak mencintai Danish?

chap-preview
Free preview
Lelaki itu Bernama Danish
Pukul setengah empat pagi, aku sudah terbangun. Meski kelopak mata masih rapat, namun tetap kupaksa untuk terbuka. Sebab hari ini, akan masuk shift pagi. Berangkat dengan bus jemputan yang akan berhenti di perempatan jalan tak jauh dari rumah Ibu mertua pukul lima nanti. Sebelum aktivitas harian di pabrik, aku selalu membantu pekerjaan Ibu. Meski hanya mencuci piring dan menyapu lantai. Aku cukup menyadari, bahwa tak semua orang seberuntung ini. Tinggal bersama Ibu mertua tanpa suami. Ibu yang sudah kuanggap sebagai Ibu kandung itu bernama Dewi, wanita paruh baya yang memiliki warung kecil-kecilan di depan rumah. Setelah kepergian suamiku, dia yang tak memiliki anak lagi meminta agar aku dan cucunya tinggal di rumahnya. Sifatnya sangat baik, menerimaku apa adanya. Dan yang lebih penting, Bu Dewi begitu telaten mengurus Athaya selagi aku bekerja. Mulai dari mencuci pakaian, memberi asupan makanan bahkan sampai uang jajan Athaya, Bu Dewi tak pernah meminta imbalan. Itulah sebabnya, mengapa aku sangat menyayanginya. Kasihnya begitu dalam pada kami. Lebih terasa nyata, bukan dari materi. Kadang aku berpikir, kenapa aku malah mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang lain. Sedangkan Ibuku sendiri masih ada. Ibu masih hidup. Namun tak pernah ada untukku selama lebih dari tiga belas tahun belakangan. Entah bagaimana kabarnya saat ini, aku tak tahu. Terakhir kali mendengar enam bulan lalu, jika Ibuku Aisyah sudah diberangkatkan Umroh oleh majikannya di luar sana. Aku bersyukur. Paling tidak, aku tahu kalau Ibu pasti bahagia. Saat melihat Athaya tidur lelap di kasur, ingin rasanya menangis. Ini adalah tahun kedua sepeninggal Wingky suamiku. Semakin dia tumbuh, Athaya semakin mirip dengannya. Putih, bersih, serta hidungnya yang mancung. Sifatnya pun tak jauh berbeda. Aku tersenyum, membelai lembut rambutnya. Mencoba kuat menghadapi hari-hari hanya untuknya. "Ibu pergi dulu ya, Nak." Kucium keningnya yang mungil. Athaya hanya terusik sedikit. "Kamu sudah siap, Nika. Ayo sarapan, Ibu sudah belikan kupat tahu." Bu Dewi mengajak sarapan. Seperti biasa, jika tidak dibelikan bubur, lontong sayur, Ibu pasti membeli kupat tahu di depan rumah. Tak pernah menolak atau protes sekali pun. Aku mengerti dengan kesibukannya setiap pagi. "Bu, apa persediaan di warung Ibu masih ada?" tanyaku. "Sedikit lagi, mungkin besok Ibu akan belanja." Bu Dewi menjawab seraya merapihkan warung yang akan dia buka. Karena mendengar perkaannya, aku merogoh uang dari dalam dompet. Sisa uang bulan ini tinggal 1,5 juta. Setelah membayar kebutuhan ini dan itu. "Bu, kalau mau belanja, pakai uang aku saja, masih ada lebih dari gajiku bulan ini. Apa ini cukup?" Aku bertanya seraya menyodorkan sejumlah uang padanya. "Jangan, Nak. Simpan saja uangmu untuk keperluan Athaya. Siapa tahu, ini akan dIbutuhkan nanti." "Tapi, Bu. Aku cuma ingin ngebantu, aku takut ... dagangan Ibu rugi kalau setiap hari kami bergantung sama Ibu." Bu Dewi tersenyum seraya mengusap bahuku. "Sampai kapan pun. Ibu tak pernah merasa dirugikan, Nak. Dengan kalian ada di sini bersama Ibu. Itu sudah lebih dari cukup." Bu Dewi memberikan kembali uang yang kuberikan. Pagi ini, setelah mendengar ucapan darinya. Lagi-lagi mataku berkaca-kaca. Kebaikannya melebihi siapa pun, sungguh tak bisa membayangkan bagaimana beruntungnya aku memiliki Ibu mertua sepertinya. *** Tiba di tempat kerja pukul setengah tujuh pagi. Aku berjalan masuk kedalam gedung. Tempatku bekerja memang berbeda dari yang lain. Di sini semua ada. Serba bersih dan teratur. Loker berjejer rapih, kantin luas dengan deretan kursi yang banyak, dua minimarket dalam pabrik untuk memenuhi perbelanjaan. Tak ada satu pedagang pun diizinkan masuk kedalam, bahkan di luar gerbang pun dilarang. Karena, kami sudah mendapat catering saat jam istirahat lengkap dengan makanan penutup. Jepang memang terkenal disiplin peraturan berjejer seperti kereta di setiap sudut. Namun aku suka dan mencintai pekerjaanku. Saat melakukan rapat wajib di pagi hari. Aku sudah dimarahi oleh Manager produksi. Sebab pencapaian Lineku tak memenuhi target. Bahkan kurang, hingga minus tiga hari. Sangat jengkel rasanya. Akhirnya kemarahan terlampiaskan kepada bawahanku. Semua kena semprot, tanpa terkecuali. Apalagi, darah semakin mendidih saat melihat karyawan yang selalu lambat mengerjakan tugasnya. "Heh! Bagaimana target mau dapat kalau kerjaannya neter terus! Ayo cepet!" Aku menggebrak konveyor dengan keras. Terlihat salah satu bawahanku kaget. Namun dia masih mengerjakan tugasnya meski lelet. "Awas ya, kalau sampai ada defect! Saya tidak akan segan-segan nulis nama kalian supaya kena SP!" teriakku lagi memarahi mereka. Aku berkeliling melihat siapa saja yang kerjaannya lambat. Line baru, bawahan baru, dan project baru. Kesal rasanya jika sudah seperti ini. Berkali-kali harus beradaptasi dengan orang-orang yang berbeda. Terkadang, kami para Leader terpaksa pindah project bukan dilihat dari kemampuan. Tapi juga dari ketegasan, mungkin karena terkenal dengan sosok Leader yang galak dan tegas. Aku terpilih di Line dengan berisikan orang-orang yang sedikit menyebalkan dan susah diatur. Meski tak semua. "Assalamu'alaikum ...." Seseorang mengucap salam. Aku menoleh sebentar lalu melangkah pergi tanpa menjawab salam. "Assalamu'alaikum." "Lam," jawabku singkat. "Astagfirullah ... jika menjawab salam, alangkah lebih baik diucapkan secara lengkap," ucapnya yang masih mengikuti. "Waalaikum'salam Wr.Wb ... udah. Kenapa?" tanyaku ketus seraya melihatnya. Seorang pemuda berseragam rapih, memiliki ID card dengan nama Danish Chinaldy Pratma itu tersenyum. Dengan membawa selembar kertas karton. Dia mengikuti langkahku. Hanya terpaut satu tahun usia kami. Kuanggap dia hanya beruntung memiliki jabatan Supervisior karena pendidikannya yang tinggi. "Hari ini, ada proses Lay Out baru. Saya hanya ingin memberikan contohnya. Apa bisa kamu sampaikan pada mereka yang ada di Line mu?" "Ck, saya malas, Pak. Kerjaan juga masih banyak, kasih saja dulu ke Tutor, mereka yang akan mengatur." "Maaf, tapi ini harus kamu yang mengerjakan." "Pak, tapi saya beneran tidak bisa. Sekarang saja saya harus ngecek barang di QA, banyak barang yang riject gara-gara bawahan Bapak yang salah ukur." Aku protes keras. Mengatakan seluruh unek-unek padanya tanpa ada koma dan titik. Bagaimana tidak. Semua masalahku timbul juga karena kesalahan dari Staf Enginering yang lalai. "Baiklah, saya terima pengaduan kamu. Nanti, saya akan meminta salah satu staf memperbaikinya. Tapi, kamu juga harus mengerjakan tugasmu. Ini kewajiban. Sebab, hari ini kita juga akan lembur sampai malam," ucapnya lagi. Aku menerima kertas itu dengan malas. "Mmh." "Kalau begitu ... saya permisi dulu. Assalamu'alaikum," ucapnya mengakhiri pembicaraan kami. Aku berdecak. Kesal menatapi kepergiannya dan selembar kertas karton yang berada di tangan. Hari ini Over Time lagi. Pasti akan sampai pukul tujuh malam. Tiba-tiba teringat Athaya di rumah. Rindu berat pada buah hati kecilku menjalar. Perih rasanya selalu pulang larut setiap hari tanpa melihat senyumnya yang menenagkan hati. "Tidak! Ini demi Athaya, aku harus bekerja untuk anakku," gumamku dalam hati menegarkan diri. *** Tepat pukul dua belas siang bel istirahat berdering. Semua orang membludak keluar. Telat sedikit, antrian panjang seperti ular terjadi di kantin. Hal yang sama juga terjadi di minimarket. Tak jarang ada juga yang mengambil air wudu untuk salat dzuhur. Setelah mendapat jatah makan siang, aku pun duduk di kursi biasa besama temannya satu Line. Jika sudah istirahat, berbeda lagi perlakuanku pada mereka. Di luar pekerjaan, kita semua sama, mereka sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Begitu pun mereka, yang seolah melupakan amarahku di dalam. "Bu, Bu, lihat deh. Ini Bed Cover motive baru loh. Bagus banget, warnanya kalem, gambarnya juga tidak mudah luntur," kata Rani, salah satu teman Line memberikan katalog padaku. Meski sudah kularang mereka membawa barang dagangan kedalam pabrik, tetap saja mereka membawanya. Aku pun tak bisa terlalu melarang. Sebab mengerti kebutuhan mereka juga tinggi. Sama sepertiku. "Emh? Mana? Sini coba aku lihat," ucapku seraya mengambil katalognya. Kulihat-lihat buku katalog. Beberapa gambar menarik perhatian. Ingin rasanya memesan semua, apalagi pembayarannya pun bisa dicicil setiap bulan dengan angsuran tertentu. Namun saat melihat isi dalam dompet, hatiku mulai kendor. Uang yang tersisa tinggal 1,5 Juta. Dan ini masih tanggal sepuluh, masih sangat jauh dengan gajianku tanggal dua puluh lima nanti. Sedangkan aku juga masih punya tagihan lemari kaca, ranjang dan tuperware yang kupesan bulan lalu. Ah ... ini pasti takkan cukup. Dengan sedikit menelan saliva. Kukembalikan katalognya pada Rani. Godaan seperti itulah yang tak bisa kutahan. Di sini banyak orang berjualan dengan cara pembayaran yang menggiurkan. Tak jarang aku juga selalu ikut seperti air mengalir. Memesan ini dan itu tanpa perhitungan. Baru menyadari uang gajian habis sehari karena membayar hutang. Yang pada akhirnya, menggali lubang lagi dengan menggadaikan ATM. Sungguh miris. "Sepertinya kau menyesal." "Kamu lagi. Kenapa sih, kamu hobi banget ikut campur urusan aku?" tanyaku ketus pada Danish yang duduk di sebrang meja. Sedikit kaget sebenarnya, karena saking fokus melihat semua teman memesan barang yang ada di katalog. Sampai tak menyadari keberadaanya. "Cuma sedikit tertarik dengan ekspresimu." "Modus banget si." "Tidak, sebenarnya, aku hanya ingin mengingatkan. Waktu istirahat sudah hampir habis. Dan kamu belum salat dzuhur kan?" ucapnya lagi. "Ck! So alim. Buang-buang waktu." Aku langsung beranjak dari kursi dan membawa sisa makan siang. Sungguh ... selera makan kini sudah hilang karena kedatangannya. Dia benar-benar mengesalkan, karena setiap kali kedatangannya. Semua orang selalu tertuju pada kami. Lalu apa yang ada dipikiran mereka jika bukan kalau aku dan Danish memiliki hubungan? Sedangkan secuil pun tak merasa tertarik dengan pemuda yang so alim sepertinya. "Anika!" seru Danish. Aku terhenti. "Aku akan terus mengganggumu setiap saat. Sampai kamu tau, bahwa Agamamu tak kalah penting dari semua yang kau miliki ...!" Aku menoleh kesana-kemari mendengarnya berteriak. Sial ... apa dia ingin mengatakan kalau aku ini kafir? Hati menggerutu sendiri. Aku menatapnya tajam, namun Danish malah tersenyum manis. Sungguh tak mengerti dengan jalan pikirannya. Setiap kali kedatangannya, hanya untuk mengingatkanku salat? Itu kebohongan besar. Mana ada pemuda yang mendekati jika bukan karena ingin menimbulkan fitnah. Apalagi dengan statusku saat ini. Mudah sekali semua orang beranggapan miring. Tidak, aku tidak boleh membiarkan anggapan itu muncul. Apa pun alasannya, aku harus menjaga jarak dari laki-laki. Tak perduli jika dicap so jual mahal. Itu lebih baik.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
98.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.8K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook