Bab 3

1020 Words
Setelah berkecamuk dengan banyaknya angka-angka dan nama akun, akhirnya bel istirahat berbunyi. Teman-teman sekelasku langsung melangkah menuju kantin, beberapa ke toilet, sebagian kecil ke taman sekolah, berbincang-bincang sambil menikmati camilan. Aku menghela nafas, tetap duduk di bangkuku sambil memandangi papan tulis yang sudah bersih dari coretan-coretan selama jam pelajaran tadi. Teman-temanku sudah mengajakku pergi ke kantin, tapi seperti biasanya, aku menolak. Bukan karena tak ada uang untuk belanja di kantin, orangtua angkatku memberiku uang jajan yang lebih dari cukup, toh uang hadiah dari memang lomba dan olimpiade juga ada. Aku hanya malas ke kantin, itu saja. Aku perlu menabung, untuk modal hidupku setelah lulus SMA. Aku juga harus menunaikan sumpah yang sudah aku tanam lama di hatiku, sejak 12 tahun yang lalu. oOo Rumah kecil kumuh itu berantakan, botol kaca dan kaleng berserakan di mana-mana, bungkus-bungkus makanan ringan membuat semut-semut berkerumun. Pemandangan di dalam ruangan 3×3 ini amat mengerikan. Saat itu usiaku baru beranjak 6 tahun. Aku tinggal di rumah sederhana ini bersama ayahku, tukang mabuk yang punya banyak hutang-- aku tau ayah punya banyak hutang beberapa bulan kemudian, saat pria-pria berpakaian serba hitam datang ke rumah kami, memukul ayahku karena tidak mau membayar hutangnya. Ayahku hanya seorang kuli bangunan, buruh harian lepas. Uang hasil kerjanya, dipakai untuk mabuk-mabukan. Hampir tiap hari aku melihat ayah minum-minum, tertawa sendirian di tengah malam. Seperti orang gila, aku sempat berpikir ayahku sudah tidak waras lagi. Walau perangainya seperti manusia tidak berguna, ayahku tetaplah ayahku, dia bahkan tak memukuliku. Aku dan ayah hanya tinggal berdua di rumah sederhana ini, ibu sudah meninggal dunia sejak aku lahir ke dunia ini. "Abdul! Abdul!" Aku segera beranjak keluar setelah mendengar ayah pulang bekerja. Ayah tersenyum lebar padaku, membawakan satu bungkus nasi berbonus air putih untukku. "Ini makan siangmu." Ayah memberikannya kantong plastik berisi nasi dan air putih itu padaku, aku mengambilnya segera. "Ayah balik kerja lagi ya." Ayah melambaikan tangannya, meninggalkanku sendiri kembali. Aku menutup pintu, langsung membuka nasi bungkusku. Ayahku, tetaplah ayahku. Dia selalu peduli dengan makananku, walau dia sering mabuk-mabukan. Dia juga tak pernah memukuliku, bahkan selalu tersenyum saat padaku. Entahlah, aku tidak tau apa yang ada dipikiran ayah. Mungkin aku perlu jadi orang dewasa, agar tau apa yang ada dipikiran orang dewasa seperti ayah. Ayah pulang malam hari ini, lembur. Seperti biasanya, dia kembali membawa botol-botol berisi minuman keras, tentu tak lupa dengan satu nasi bungkus untukku. Aku tidak mengerti apa enaknya minuman keras itu, aku pernah hampir meneguknya karena penasaran, dan ayah langsung memarahiku, mengambil botol berisi minuman keras itu dariku, namun tidak memukulku, hanya memarahi dengan kata-katanya, melarangku untuk menyentuh botol minumnya. Aku tak pernah melihat ayah makan nasi, dia hanya terus minum dan minum, mengemil snack. Hanya itu. Apa ayahku tidak pernah makan nasi? Aku tidak tau, dan tidak pernah tau. 1 bulan kemudian, saat aku baru saja pulang bermain sendirian di halaman belakang rumah, aku melihat ayah dipukuli oleh pria-pria berseragam serba hitam. "Hei Adi! Cepat bayar hutangmu! Hutang kau sudah menunggak banyak!" Seru salah seorang pria berseragam hitam yang ikut memukul ayah. Ayah hanya diam saat dipukul, menutupi wajahnya dengan lengan tangan. "Cepat bayar hutang kau! Atau kubakar rumah kau ini!" "Be... besok, besok saya akan membayarnya." Ayah masih menutupi wajahnya dengan lengan tangan, nada suara ayah bergetar, baru kali ini aku mendengarnya. "Halah! Besok besok! Janji kau terus besok! Sudah berapa kali besok ini hah!?" Pukulan untuk ayah semakin keras, ayah merintih kesakitan, melirikku yang berdiri gemetaran di depan halaman rumah. "Besok! Saya pastikan besok membayarnya!" Ayah berseru lebih keras, menengadah menatap pria berseragam serba hitam, sudah tidak menutupi wajahnya lagi. Ayah tak ingin terlihat lemah di depanku. Pria berseragam hitam itu langsung pergi dengan mobil sedan mereka, meninggalkan ayah dengan luka biru ditubuhnya. Ayah melangkah tertatih menghampiriku, tersenyum bersahabat, mengajakku segera masuk ke dalam rumah. Ah... aku benci ayah. Kenapa dia harus pura-pura kuat di depanku? Memangnya aku tidak melihat sosok pecundangnya tadi? "Abdul, kau sudah makan Nak?" tanya ayah masih dengan senyuman bersahabatnya, melepas rangkulannya dariku saat mau duduk. Aku menggeleng. "Tidak berselera," jawabku pendek. "Ayah punya hutang dengan mereka?" tanyaku langsung, menatap datar ayah. Ayah hanya tersenyum, menyuruhku segera masuk kamar. Ah... aku benar-benar benci ayah, aku benci orang dewasa, karena aku tak pernah tau apa yang ada di pikiran mereka. Besoknya, ayah berangkat kerja seperti biasanya, tapi ada yang berbeda hari ini. Sebelum berangkat kerja, ayah menghampiriku, duduk di sampingku, mengelus lembut kepalaku. "Abdul..." Aku tak nyaman saat kepalaku dielus seperti ini, walau tangan ayah yang besar terasa hangat, aku hanya asing dengan keadaan ini, baru kali ini ayah mengelus kepalaku. "Kamu harus berjanji pada ayah ya?" Aku mendongakkan kepala menatap ayah, memasang wajah bingung. "Berjanjilah, untuk tidak pernah mabuk-mabukan, jangan pernah menyentuh minuman keras walau hanya setetes, ya?" Keningku berkernyit, kenapa permainan ayah berbanding terbalik dengan kelakuannya? "Maaf... ayah tidak bisa mendidikmu dengan baik, ayah tidak bisa menjadi ayah yang baik untuk Abdul. Ayah tak pernah menghabiskan waktu bersama Abdul, maaf... ayah berbeda dari ayah anak-anak lain di luar sana. Tapi... ayah tetaplah ayah Abdul, ayah adalah orangtua Abdul, berjanjilah pada ayah untuk tidak pernah mabuk-mabukan. Ya?" Aku terpaksa mengangguk, menatap mata ayah yang sudah berkaca-kaca. Ayah berdiri dari duduknya, melambaikan senyumnya padaku, pamit bekerja. Hari ini, aku resmi menjadi yatim piatu. Pagi itu... saat bekerja, ayah terjatuh dari lantai 3, langsung meninggal di tempat, tak bisa diselamatkan. Saat pemakaman ayah, aku mendengar teman kerja ayah berbisik dengan teman lainnya, bahwa ayahku jatuh karena hilang kesadaran, efek mabuknya semalam belum hilang, dan itu yang merenggut nyawanya. Pagi itu adalah percakapan terakhirku dengan ayah, percakapan terlama kami. Itu belaian pertama ayah untukku, itu senyuman terakhir ayah yang bisa kulihat, dan... itu juga pesan terakhir ayah, untuk aku jangan pernah mabuk-mabukan, jangan pernah menyentuh minuman keras. Ah, masa bodo dengan pesan ayah, ia sudah meninggalkanku sendirian di dunia ini. Sorenya, barang-barang di rumahku dikeluarkan oleh pria berseragam serba hitam, mereka mengusirku tanpa belas kasihan. Aku tak bisa memberontak lagi, sebab rumah tempatku dan ayah tinggal selama 6 tahun ini, rumah tempat ibuku dulu mengandungku, sudah jadi penebus hutang-hutang ayah. Selain resmi menjadi yatim-piatu, malam ini juga, aku resmi menjadi gelandangan, hidup di jalanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD