Bocah Mirip Tuyul

1551 Words
Ibu sedang membawa nampan berisi makan malam ke meja. Kedua putranya sudah menunggu dengan hikmat. Sesekali terdengar rengekan manja dari mulut Kian. Pasti karena Dion usil lagi. Anak itu memang hobi mengecup kilat  pipi gembul adiknya. Membuat Kian risih, dan akhirnya berteriak minta tolong. Tapi Dion santai saja.        "Bu, Mas Dion nyebelin!" adu Kian seraya menghapus sisa kecupan Dion di pipi kanannya.        "Nyebelin kenapa?" tanya Ibu, meskipun ia sebenarnya sudah tahu masalahnya.       "Ini nih, Mas Dion cium - cium pipi Kian lagi!".        "Dasar, Tukang ngadu!" celetuk Dion. Ia melengos, kemudian mengambil ayam goreng dengan garpunya.        "Dasar, Nyebelin!" balas Kian.        Dion menggeleng tidak setuju. "Habisnya Kian nakal. Tadi sore Kian sama Ibu jalan - jalan, kan? Dan Dion nggak diajak!" protesnya.       "Hah?" justru Ibu yang menanggapi protes Dion. "Jalan - jalan ke mana, Sayang? Nggak kok!" "Ibu juga nyebelin, deh! Jangan bohong! Tadi sore Dion kan pulang dari lapangan. Tapi di rumah nggak ada orang. Kata Pak Zul, Ibu sama Kian keluar, bawa mobil."       Bukannya prihatin dengan aduan Dion, Ibu justru terkikik geli.        "Ibu kok malah ketawa, sih. Dion sedih, tauk! Pokoknya Dion butuh penjelasan. Udah nggak diajak, nggak dapet oleh - oleh pula!" Dion menggebu - gebu menyampaikan aksi protes dan ngambeknya. Wajahnya terlihat lucu saat bibirnya dimaju - majukan kedepan. Membuatnya terlihat mirip ikan.        "Bukan jalan - jalan, Sayang. Maaf ya. Ibu panik sekali, sampai nggak sempet buat pamit ke Dion dulu. Tadi Ibu dan Kian pergi ke Rumah Sakit, Nak."        Dion nyaris memuntahkan makanan yang sudah dikunyahnya setelah kata rumah sakit  disebut. "Emang siapa yang sakit?"      "Kian. Tapi sekarang sudah nggak apa - apa kok," jawab Ibu.      Dion agak terkejut mendengar bahwa Kian lah yang sakit. Tapi ....      Dion menelisik, memperhatikan Kian di hadapannya. Anak itu sedang makan dengan sangat baik dan lahap. Tidak terlihat sedang sakit sama sekali. Bahkan sifat cuek bawaan lahirnya juga tak hilang sama sekali.        Jangan - jangan Ibu bohong. Tapi sepertinya tidak. Untuk apa juga Ibu berbohong?        "Memangnya Kian sakit apa, sih?" tanyanya memastikan.       Ibu tersenyum lagi mendengar pertanyaan Dion. Mata anak sulungnya itu mengerjap lucu. Ibu mengulurkan tangannya lalu mengacak pelan rambut Dion.        Ibu segera menjelaskan kondisi Kian yang sebenarnya pada Dion. Tentu dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh anak kecil berumur tujuh tahun sepertinya. Sesekali Dion mengangguk. Entah benar - benar paham atau tidak. Tapi dalam benaknya, ia sudah bisa mencerna dan menyaring perkataan ibunya. Sejauh apa yang Dion tangkap, ia mengerti, bahwa mulai sekarang ia harus lebih memperhatikan Kian.        ~~~~~ TM : ROLL EGG - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~         Pulang sekolah, Dion segera ganti baju dan makan siang. Dia mencari-cari Kian yang tidak kelihatan batang hidungnya.        Dion celingukan mencari ke setiap sudut di rumahnya. Setelah beberapa saat, ia pun akhirnya menemukan bocah itu. Adiknya itu sedang berada di gazebo belakang rumah. Di dekat kolam renang.       "Kian!" serunya. Yang dipanggil segera menengok kaget. Sepertinya ia tadi sedang asyik mengerjakan sesuatu. Tapi terganggu dengan kedatangan Dion.        "Ada apa sih?" marahnya.       Dion melangkah mendekat. "Mau ikut Mas main nggak?"        "Nggak mau, ah."        "Lhoh, kenapa? Apa nggak bosen di rumah terus? Ibu pulangnya masih ntar sore lho."        "Udah tauk. Lagian, tumben ngajakin aku? Pakek acara bikin game - ku hancur segala lagi!" rutuk Kian sambil memperlihatkan layar PSP di genggamannya. Terdapat tulisan game over besar di sana.       Suara Dion yang memanggil - manggil namanya lah yang membuat permainan itu kalah telak.           "Hehe. Maaf, deh. Habisnya kamu dipanggil - panggil bukannya nyahut, malah diem aja. Yaudah, ayo! Game - mu kan udah terlanjur kalah, itu adalah kode dari Tuhan, bahwa kamu harus ikut sama Mas buat main keluar." Dion menarik tangan Kian paksa.           Seperti biasa, Dion selalu bermain di lapangan milik sebuah taman kanak - kanak yang berada tak jauh dengan komplek perumahan. Rencananya, nanti Kian juga akan sekolah di TK ini. Sekedar informasi, Dion juga adalah lulusan sekolah ini.       "Eh, ada Kian juga!" seorang anak berbadan kurus dengan senyuman yang lebar, datang menghampiri Dion dan Kian.        "Iya nih, Ga. Kasian dia di rumah sendiri," jawab Dion.        "Ya udah, kita main bertiga aja kalo gitu." Anak kecil bernama Rega, yang juga merupakan teman sekelas Dion, mulai mengatur jalannya permainan yang akan mereka lakukan.         Awalnya semua berjalan lancar dan menyenangkan. Mereka bermain petak umpet. Ya... meskipun Kian terus yang harus berjaga. Kian ditipu habis - habisan oleh Dion dan Rega. Tapi Kian tidak tahu. Karena seumur hidupnya, baru kali ini Kian melakukan permainan ini. Kian sudah cukup senang dengan semuanya.        Namun semua berubah saat segerombolan anak lain mulai datang. Mereka membawa sebuah bola, dan mengajak Dion dan Rega untuk bergabung.        Tanpa pengulangan permintaan, Dion dan Rega segera berbaur dengan mereka semua. Melupakan kenyataan, bahwa Kian ada bersama mereka.        Ini dia yang membuat Kian selalu enggan bermain bersama Dion. Untuk apa diajak kalau akhirnya ia dilupakan? Ck, menyebalkan!       Kian pun memutuskan untuk duduk diam di sebuah ayunan. Menunggu sampai Dion puas bermain dan kelaparan, lalu mengajaknya pulang.        "Payah!" sebuah suara sukses mengagetkan Kian. Ia sedang celingukan mencari - cari sumber suara.        Hingga akhirnya, Kian melihat ada seorang anak kecil yang sedang berdiri tepat di belakangnya. Anak itu memakai seragam sekolah TK. Seragam sekolah ini.        'Ini bukannya udah siang? Kata Ibu sekolah TK itu pulangnya jam sembilan. Lalu kenapa anak ini masih di sekolah?'        "Kenapa lihatinnya gitu banget?" tanya anak itu.       "Kamu tadi ngomong sama siapa, sih?" Kian malah balik bertanya. Jujur ia penasaran dengan anak ini. Kenapa tiba - tiba muncul dan berkata payah?       Wajah anak itu terlihat tirus dan matanya juga cekung. Kian mulai curiga. Jangan - jangan ia hantu.       "Di sini cuman ada kita berdua, kan? Jadi, udah jelas kalo aku ngomong sama kamu. Pakek nanyak lagi!" jawabnya..        Kian pun akhirnya sewot. "Jadi kamu mengatai aku payah?"           "Aku nggak ngatain kok. Kenyataannya kamu emang payah!"        Kian dengan tergesa turun dari ayunan. Ia tersinggung. Ia ingin bicara serius dengan anak ini.        "Atas dasar apa kamu ngatain aku payah?".        Anak itu memperhatikan Kian dari ujung kepala sampai ujung kaki. Membuat Kian merasa tak nyaman. Dan lagi, tiba - tiba saja anak itu mengulurkan tangan kanannya mendekati Kian. Kian akan menghindar tapi tak sempat.        CETITTTT.       Anak itu malah mencubit pipi Kian. Terang saja Kian semakin marah.       "Apa - apaan kamu ini?" Kian menampik tangan anak itu.        "Kenapa marah - marah terus, sih?" tanya anak itu santai. Namun gayanya tetap saja tengil. "Pipimu empuk banget. Itu tandanya kamu kurang olah raga. Aku tadi lihat permainan petak umpetmu dengan dua kakak itu.       "Mau - maunya kamu disuruh menjadi penjaga terus. Kalau kamu nggak payah, pasti kamu nggak bakal terima ditipu begitu. Dan lagi, kekuatan berlari kamu... er... beneran payah. Anak laki - laki, mana boleh lari sepelan itu? Mungkin itu juga sebabnya, kamu nggak diajak main sepak bola sekarang. Mana ada tim yang mau nerima bocah lelet sekaligus payah kayak kamu?"        Kian diam mendengarkan celotehan anak kecil menyebalkan itu. Diam bukan berarti setuju.        Tidak disangka, ternyata di dunia ini ada orang yang lebih menyebalkan dari Dion. Dan sialnya, Kian merasa bahwa kata - kata anak ini tadi tidak ada yang salah. Semuanya benar. Dan memang harus Kian akui, bahwa ia ... payah.      Anak itu mulai bicara lagi. "Kamu kayaknya seumuran aku. Tapi aku nggak pernah lihat kamu di sekolah. Apa kamu sekolah di TK lain?".       Tidak ada jawaban dari Kian. Ia memang sudah lima tahun, seharusnya sudah sekolah. Tapi Ibu masih belum berniat menyekolahkannya. Kata Ibu, ia belum tega.          Ibu akan menunggu sampai Kian genap berusia enam tahun. Menurutnya, saat itu Kian sudah cukup dewasa untuk bersekolah. Lagipula Kian kan sudah pintar. Sebenarnya tak perlu sekolah TK pun, kemampuan baca tulisnya sudah sangat bagus. Sudah cukup untuk langsung masuk SD.        Kian terlalu asyik berkutat dengan pikirannya sendiri. Membuat anak tadi bosan menunggu jawaban Kian.        "Ya udah, aku pergi aja!" katanya seraya melenggang pergi. Kian tak berusaha menahannya. Ia hanya diam memperhatikan punggung kecil si Menyebalkan. Sampai akhirnya anak itu berbalik.        "Oh, iya. Perkenalkan. Namaku Yongki. Lumayan senang bertemu denganmu, Anak Payah!" selesai berucap, Yongki segera melanjutkan langkahnya, pergi meninggalkan Kian.        Kian masih berdiri mematung di tempatnya semula.         "Aduh, di sini kamu ternyata!" seru Dion yang tiba - tiba muncul. "Mas udah cari kamu ke mana - mana. Ayo kita pulang!"        Lagi - lagi Kian menurut dan pasrah digandeng oleh Dion, sama seperti saat mereka berangkat ke sini tadi.        Bedanya, tadi Kian pasrah karena game - nya yang terlanjur gagal total. Dan sekarang, ia pasrah karena harga dirinya baru saja diinjak - injak oleh Yongki.        Kian akan mengingat terus namanya, Yongki. Yongki si anak menyebalkan yang mukanya mirip hantu di film Ju On.       Eh, tidak! Menurut Kian, Yongki lebih mirip tuyul.       ~~~~~TM : ROLL EGG - Sheilanda Khoirunnisa~~~~~       -- T B C --       
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD