Tidak Bisa Dibiarkan

1863 Words
Lintang mengambil alih koper milik Kian yang sedari tadi ditarik oleh si Butler. Butler itu terlihat enggan menyerahkan koper yang dibawanya. Tapi Lintang memaksa, akhirnya ia pasrah.        "Pak Joe di sini aja! Biar aku yang anter Kian ke kamarnya," ucap Lintang dengan segenap wibawa dan kerendahhatiannya.        Butler itu lagi - lagi menurut.       "Ayo!" ajak Lintang pada Kian.       Lintang mendahului Kian menaiki tangga. Kian membuntut di belakangnya. Kian melihat bagaimana Lintang keberatan membawa kopernya. Secara badannya kurus begitu. Ngeyel bawa koper segala.       "Ini kamar kamu!" ucap Lintang saat mereka sampai di depan salah satu kamar.       Lintang membuka pintu kamar itu. Kian melongok ke dalamnya, memperhatikan bagaimana kamar ini memiliki cat yang berwarna sangat cerah. Biru muda.        "Tapi saya cuman di sini beberapa hari. Cuman buat kenalan sama Mas, eh, dengan... siapa saya harus memanggil anda?" bingung Kian.       "Suka - suka kamu. Panggil Lintang aja juga boleh," jawabnya. "Dan nggak usah terlalu formal sama aku. Konteks bicara saya anda, kayaknya terlalu kaku." Lintang tertawa kecil mengakhiri bicaranya.        "I - iya." Kian sampai tergagap saking gugupnya. Ia kemudian melanjutkan bicaranya yang sempat tertunda. "Sa... eh, aku cuman di sini beberapa hari. Apa nggak berlebihan jika kamu sampai menyiapkan kamar khusus buat aku? Aku tidur di sofa aja, nggak masalah kok." Kian jujur, karena pada kenyataannya, ia memang di sini hanya selama liburan semester.        Lintang tertawa mendengar kata - kata Kian. "Nggak mungkin lah aku biarin kamu tidur di sofa. Nggak masalah walaupun kamu cuman di sini selama liburan. Kamar ini emang milik kamu. Dan yang itu ...." Lintang menunjuk kamar di sebelah. "Itu kamar milik Dion."        Kian tak bisa menuntupi keterkejutannya. Matanya membulat tak percaya. "Jadi Dion juga punya kamar?"       "Iya dong! Kamar - kamar itu bisa kamu dan Dion pakai tiap kali kalian main ke sini. Iya, kan?"       "Dengan adanya kamar ini, dan kamar Dion itu... apa kamu sudah tahu tentang kami dari jauh - jauh hari? Uhm ... maksudnya, apa kamu sudah tahu bahwa kamu memiliki saudara?" Kian benar - benar penasaran. Padahal ia dan Dion baru tahu tentang keberadaan Lintang sebagai saudara mereka.        "Ya, aku tahu." Lintang melihat arloji di tangan kirinya. "Ah, udah jam segini. Kian, sebenernya aku masih pengen ngobrol banyak sama kamu. Tapi sekarang aku harus kuliah. Silakan kamu istirahat dulu! Sampai ketemu nanti malam." Lintang tanpa ragu memeluk Kian, lalu pergi.       ~~~~~ TM: Roll Egg - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~        Kian menuruni tangga dengan langkah yang lambat. Beberapa menit yang lalu, Lintang mengetuk kamarnya untuk memberitahu bahwa makan malam sudah siap. Itulah sebabnya kenapa Kian turun sekarang.       Lalu alasan di balik kenapa langkah Kian sangat lambat? Tentu saja karena ia belum terbiasa berada bersama dengan Lintang.      Dengan menuruni tangga saat ini, ia sedang menuju ke meja makan. Dan otomatis nanti akan bertemu Lintang lagi. Aish... Kian harus bagaimana?        "Gimana, apa kamarnya nyaman?" tanya Lintang.       Lagi - lagi Kian dibuat heran dengan wajah Lintang yang selalu dihiasi senyuman. "Nyaman banget!"       Lintang memberi gestur pada Kian untuk duduk di kursi yang berhadapan dengannya, supaya mereka bisa ngobrol dengan nyaman. Kian mau tak mau menurut.       "Aku nggak tahu apa makanan yang kamu suka. Jadi, maaf kalau ini nggak sesuai sama selera kamu, ya."         Kian hanya tersenyum kikuk menanggapinya.       "Kamu jangan sungkan sama aku, ya. Aku tahu rasanya masih canggung banget. Aku pun rasain hal yang sama. Tapi kita harus sama - sama berusaha. Biar bagaimanapun, kita adalah saudara. Iya, kan?" cerocos Lintang panjang lebar. "Silakan!" lanjutnya.        "Iya." Kian mengambil nasi dan beberapa lauk yang ia minati.        Mereka makan dalam diam. Sesekali Kian melirik Lintang. Ia sepertinya adalah orang yang pilih - pilih makanan. Ia menyingkirkan beberapa helai kecambah di pinggiran piringnya.       Kian sebetulnya sangat penasaran dengan seseorang berpakaian butler tadi. Tentang siapa orang itu sebenarnya, benar - benar butler, atau hanya seseorang yang disewa untuk menemaninya tinggal di sini.        Tapi sepertinya orang itu tidak tinggal di sini. Jika iya, maka ia pasti di sini, makan bersama mereka. kenyataannya, orang itu tidak kelihatan batang hidungnya sekarang.        Kian penasaran, tapi malu untuk bertanya.       Tapi, kan, tadi Lintang bilang padanya untuk tidak sungkan. Mereka sama - sama harus berusaha - karena biar bagaimanapun - mereka adalah saudara. Dan Kian sudah menyetujui kesepakatan yang dibuat oleh Lintang itu. Jadi... mungkin saat ini waktunya Kian membuat pergerakan.        "Uhm... Lintang?"        "Ya?"       "Orang yang pakai stelan serba hitam tadi ... siapa?" akhirnya pertanyaan itu tersampaikan.       "Oh ... Pak Joe? Beliau adalah orang yang merawatku."       Merawat? Bahkan Lintang sudah dewasa, ia sudah kuliah. Kenapa harus dirawat?       Atau jangan - jangan maksud Lintang adalah bahwa Pak Joe merupakan orang yang sudah merawatnya sejak kecil. Mungkin begitu. Tapi Kian tidak ingin menyimpulkan sendiri. Oleh karenanya, ia lanjut bertanya. "Apa semacam... baby sitter?"        Mata Lintang membulat lucu setelah mendengar pertanyaan Kian. Ia kaget. Untung ia tak sampai menyemburkan makanan di dalam mulutnya. "Bukan." Lintang tertawa setelahnya.        Kian mengernyit bingung. Kenapa Lintang malah tertawa? Memangnya ada yang lucu? Kian jadi serba salah.       Sekali lagi, untung Lintang adalah orang yang peka. Ia mengerti dengan kebingungan yang dialami adiknya. "Aku tinggal di sini sejak masuk SMA. Sekitar lima tahun yang lalu, lah. Jadi, Pak Joe bukan Babby sitter aku."        Jawaban dari Lintang yang sukses mengejutkan Kian. Jadi, Lintang tinggal di sini belum lama? Ia kira, Lintang sudah di sini semenjak bayi - bersama ibunya -- selingkuhan Ayah.       Tapi sepertinya terlalu jahat untuk menyebutnya sebagai seorang selingkuhan. Mengingat wanita itu adalah kekasih Ayah semenjak beliau bahkan belum mengenal Ibu.        Ah, entah lah. Kian tak mau membahas hal itu. Karena akan semakin menyakiti hatinya. Kian tak mau mengambil resiko, bahwa ia akan jadi membenci Lintang.       "Lo, eh, kamu, eh ...." Kian menepuk mulutnya sendiri karena keceplosan bicara lo.       Lintang tertawa lagi. "Nggak apa - apa lho kalau kamu mau ngomong sama aku pakai lo gue. Senyamannya kamu aja."        "Ng - nggak." Kian menolaknya secara halus. Entah kenapa ia merasa harus bersikap baik pada orang di hadapannya ini. "Jadi kamu baru lima tahun tinggal di sini?"       "Iya. Waktu itu tiba - tiba Pak joe jemput aku, ngajak aku tinggal di sini."       "Jemput dari mana?"       "Panti asuhan."       "Uhuk ... uhuk ...." Kian langsung tersedak.        Lintang segera mengambilkan air putih untuknya. "Maaf kalo jawab aku ngagetin kamu."       Kian menenggak air putih yang diberikan Lintang sampai habis. Baru lah ia sanggup melanjutkan pertanyaannya. "P - panti asuhan?"       Lintang mengangguk. "Aku emang dibesarkan di panti asuhan."        "Tapi ... gimana bisa?"       "Emang kenyataannya begitu." Lintang tersenyum tipis -- lebih tepatnya miris. "Waktu itu, setelah aku pulang sekolah, Pak Joe dateng. Beliau bilang, bahwa Ayah ingin aku tinggal di sini. Aku kaget. Karena jujur, aku baru tahu bahwa ternyata aku masih punya Ayah." Lintang terlihat sedih.        "Maaf ya, Lintang. Gu - aku seharusnya nggak tanya aneh - aneh." Kian sengaja mengatakannya, agar Lintang tidak lanjut bercerita. Yang pasti akan membuatnya semakin sedih.        "Nggak apa - apa. Setelah tahu bahwa ternyata aku masih punya Ayah, aku nggak tahu harus senang atau sedih. Apalagi setelah tahu bahwa Ayah adalah seseorang sehebat Pak Dewa. Setelah tahu bahwa beliau adalah Ayahku, aku jadi antusias tiap kali ada berita tentang kehebatan beliau di koran. Percaya atau nggak, aku selalu gunting berita dan foto Ayah di sana, lalu aku bikin kliping."       "Jangan bilang kalo lo dan Ayah belum pernah ketemu?" Kian tidak bisa lagi mengontrol bicaranya.       Persetan dengan konteks bicara aku kamu. Ya, Kian memang sudah memutuskan bersikap baik pada Lintang. Tapi bersikap baik tak hanya melulu tentang konteks bicara. Yang penting sikap Kian pada Lintang baik.       Dan sekarang yang terpenting adalah ... mengetahui jawaban dari pertanyaannya tadi.       "Emang belum." Lagi - lagi Lintang tersenyum miris.       "Gimana bisa Ayah belum nemuin lo?" Kian tak bisa percaya.        "Mungkin beliau belum siap."       "Belum siap kenapa? Wah, nggak bener, nih, Ayah!" emosi Kian sudah tersulut.       "Yan, jangan gitu! Ayah pasti punya alasan sendiri."       "Tapi Ayah udah keterlaluan, Tang. Dan ... gimana sama Ibu lo? Kalian udah pernah ketemu, kan?"       Lintang tak langsung menanggapi pertanyaan Kian. Ia tak ingin membuat Kian iba padanya, tapi... ia tidak boleh berbohong. Dan akhirnya ia menggeleng.        Kian kehabisan kata - kata sekarang.        Bahkan sebelumnya Kian menganggap bahwa Lintang -- anak hasil hubungan gelap Ayah -- hidup enak dan bahagia bersama Ibunya. Kemudian sesekali Ayah datang untuk mengunjunginya.       Kian menganggap bahwa Ayah sangat menyayangi Lintang karena memiliki butler pribadi.       Tapi apa?        Seketika Kian merasa jahat karena anggapannya sendiri. Kenyataannya... kehidupan Lintang bahkan jauh lebih miris dari kehidupannya sendiri.       Meskipun Ayah jarang di rumah semenjak ia dan Dion kecil, tapi setidaknya mereka berdua masih memiliki Ibu yang ada bersama mereka selama 24 / 7.        Sedangkan Lintang ... ia bahkan belum pernah bertemu dengan Ayah atau pun Ibunya sama sekali. Dan yang lebih parah, sejak kecil ia tinggal di panti asuhan.        Dan Ayah ....       Ayah sering berlaku kasar pada Ibu dulu. Ayah sering tidak di rumah untuk menemui selingkuhannya. Tapi Ayah sudah lama berhenti semenjak Ibu sakit. Ayah mengaku telah berpisah dengan wanita itu. Ayah sudah menyadari kesalahannya, dan mulai menyayangi Ibu dengan tulus. Ayah sudah berubah menjadi orang baik.       Namun, orang baik macam apa yang tega membiarkan anaknya tinggal di panti asuhan, sementara ia sendiri hidup enak dan kaya raya?       Ini tidak bisa dibiarkan.        ~~~~~ TM: Roll Egg - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~       Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD