Sulit Dipercaya

2999 Words
Rumah bercat dan bernuansa putih. Meskipun sebetulnya bunda sama seperti kebanyakan perempuan yang sangat menyukai warna pink. Tapi untuk urusan rumah bisa ricuh hanya gara-gara warna cat. Hahaha. Jadi biar tak menjadi sumber masalah, lebih baik warna putih saja. Walau itu adalah warna kesukaan suaminya. Barang kali memang lebih baik seperti itu. Mobil yang dikendarai suaminya baru saja masuk. Tentu saja bersamanya. Walau sibuk, setidaknya sang suami masih sempat menemani berbelanja di pasar untuk kebutuhan dapur. Pembantu ada tapi hanya datang sebentar untuk membersihkan rumah. Sisanya ia kerjakan sendiri. Sedari dulu, ia memang begitu. Apapun selama masih bisa dikerjakan sendiri maka akan dikerjakan sendiri. Suamijya membuka bagasi mobil untuk membawa belanjaan. Ia hanya membawa sedikit, yaitu kue-kue pasar menuju meja makan. Lalu mencuci tangan di wastafel dan mengambil piring. Setelah itu, menaruh kue-kue itu di atas piring. Suaminya menaruh belanjaan di dapur. Ia mulai menata setiap belanjaan. Ada yang dimasukkan ke dalam lemari pendingin, ada yang masuk ke lemari-lemari di atas wastafel. "Deeeeek?" Ia berteriak memanggil anaknya. Suasana pagi ini memang tampak lengang. Suaminya sudah kembali ke kamar untuk berganti baju. Ia hendak berteriak lagi tapi suaminya memanggil. Akhirnya ia berjalan naik menuju lantai dua dan membantu suaminya mengancingkan baju. Sebuah kebiasaan sejak awal menikah. Suaminya yang menginginkannya untuk melakukan itu. Kebiasaan itu tak pernah hilang kecuali dulu beberapa kali ketika ia terlalu sibuk bekerja. Ia punya pemikiran yang berbeda. Baginya, sekaya apapun lelaki, perempuan jangan hanya diam di rumah. Passion-nya waktu itu adalah mengajar. Ia sangat menyukai dunia itu sehingga cukup lama berkecimpung. Walau para rekan kerja bertanya-tanya, untuk apa ia bekerja? Suaminya adalah turunan konglomerat yang memiliki banyak rumah sakit swasta yang tersebar tidak hanya di Indonesia tapi juga di beberapa negara asing, dari Asia, Australia, Eropa, Amerika bahkan Afrika. Walau beberapa rumah sakit di Afrika adalah rumah sakit yang secara sengaja dibangun untuk menggratiskan pengobatan bagi penduduk yang memang masih banyak yang berada di bawah ambang kemiskinan. Ia menutupi pembiayaan gratis itu dengan keuntungan yang diperoleh dari rumah sakit lain yang ia bangun di negara lain. Ya benar lah kalau niatnya baik, rezekinya akan ada saja datangnya. Kadang juga dari arah yang tak terduga. "Love you, yang." Ia terkekeh. Suaminya bisa dibilang lumayan romantis kalau untuk urusan semacam ini. Jadi sebagai hadiah, ia memberikan ciuman di pipi kemudian bergerak mengambil jas suaminya sementara lelaki itu mengambil tasnya. Mereka sama-sama berjalan menuruni tangga. Tadi keduanya semapt sarapan bersama di pasar. Ya makan sederhana, jajanan pasar. Lalu ia mengantar suaminya hingga ke pintu rumah. Melepas kepergiannya yang akan sibuk di rumah sakit nanti. Ia beruntung bukan? Memiliki suami yang tampak sempurna. Ganteng walau yaa terkadang tak bisa diajak kompromi. Kalau ia maunya begini maka harus begini. Dan hal itu yang terkadang menjadi bencana di dalam hubungan mereka. Karena ia yang keras kepala ini enggan mengalah. Tapi suaminya juga tak kalah kerasnya. Walau yaaah egonya meluntur. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai dosen dan menjadi perempuan yang mengurus rumah seperti ibu rumah tangga pada umumnya. Walau tentu saja masih ada kesibukan lain tapi tak terlalu menyita waktu. Ia hanya mengisi acara jika diminta. Kadang lebih banyak menemani suaminya dan anaknya. Menemani mereka ketika menghadiri beberapa acara penting. Sebagai perempuan di dalam keluarga ini, ia begitu disegani tidak hanya oleh mahasiswanya dulu tetapi juga banyak orang yang mungkin mengaguki kecantikannya? Tapi tentu saja tidak hanya itu. Karena bermodal cantik saja tidak cukup. Ia juga berpendidikan dan tentunya? Ber-attitude. Keanggunan dan kelembutan yang dipertontonkan menunjukannya sebagai perempuan pada kelas yang berbeda. Tak jarang banyak perempuan yang sangat menyukainya dan kagum padanya. Ya termasuk perempuan-perempuan muda yang berniat mendekatinya untuk mendekati anak-anak laki-lakinya. Tapi, satu anak laki-laki sudah menikah. Ia sangat bahagia akan hal ini. Satu lagi? Masih belum dan kini ia melihat jam di dinding. Bukan kah tadi ia sudah berteriak? Lalu anaknya itu belum juga bangun? Ia geleng-geleng kepala. Kemudian berjalan menuju tangga. Rumah ini sepi semenjak ditinggal dua anaknya menikah. Ya....yang satu laki-laki dan yang satu perempuan. Yang perempuan sudah menikah sangat lama. Walau belum lama ini dikaruniai janin. Ia sungguh senang dan hampir setiap hari selalu mengantarkan makanan. Saking senangnya. Anehnya juga selalu rindu pada kedua anaknya. Meski keduanya tinggal tak jauh dari rumah. Dari tangga, ia berbelok. Barangkali harus masak dulu. Biar kalau anaknya bangun, bisa makan. Walau ada juga yang ia beli dari pasar tadi. Namun kan nasi tak ada dan sudah dingin. Jadi ia masak sekalian. Satu jam kemudian, ia menoleh lagi ke arah jam di dinding. Kalau suaminya sih selalu pagi ke rumah sakit. Tadi berangkat jam setengah tujuh karena memang terkadang banyak urusan di rumah sakit. Ia memaklumi kesibukannya. Walau dulu tidak begitu. Hahaha. Ya maklum lah. Sekarang kan sudah semakin berumur. Walau hanya suaminya yang tampak begitu. Hihihi. Ia justru tampak makin muda dan makin cantik. Farras terkadang dongkol kalau orang-orang menyebutnya sebagai adik padahal bundanya. Setelah itu ia beranjak menuju tangga. Kali ini benar-benar naik ke lantai dua. Anak pertamanya pasti sudah berangkat bekerja sekarang. Dan yang satu lagi.... "Bangun, Deeeek. Udah jam berapa ini? Bunda udah balik dari pasar, udah masak, udah beresin rumah. Kamu malah masih tidur di kamar." Sang Bunda mulai mengomel. Perempuan itu mengomel di depan pintu kamar yang terbuka lebar. Ferril hanya mendesah kemudian membalik badan dan kembali memejamkan mata. Semalam ia lembur di kantor karena ada kejadian darurat. Tapi bundanya tentu saja tak tahu apa-apa soal itu. Ya memang itu perusahaan keluarga besar. Tapi tetap saja bukan? Harus disiplin. Apalagi anaknya yang akan meneruskan. "Deeeeek!" "Bentar lagi, Bunda!" sahutnya ditengah-tengah menguap. Bunda menggelengkan kepala. Perempuan itu memang meninggalkan kamar anak bungsunya tapi mulutnya masih komat-kamit mengomel. Biasanya kalau suaminya masih di sini, lelaki itu hanya akan duduk santai di ruang keluarga tanpa mau ambil pusing dengan omelan itu. Lagi pula istrinya tak tahu dengan pekerjaan sampingan anak bungsunya yang harus memegang tanggung jawab sebagai kepala intelijen perusahaan. Hal ini umum dilakukan para keluarga konglomerat untuk menjaga usaha masing-masing. Ya masing-masing memang punya cara. Ia juga dulu sibuk. Tapi tak separah ini. Sehingga masih banyak yang diurusi oleh tim intel. Kecuali jika agendanya sangat sensitif dan rahasia. Baru mereka tak bisa melibatkan tim intel. Hanya orang-orang tertentu. Hampir satu jam kemudian baru Ferril beranjak. Itu pun karena suara alarm ponselnya berdering. Ia berjalan ke kamar mandi dan kurang dari satu jam, ia sudah rapi dengan kemeja marun dan celana hitam. Ia terburu-buru mengenakannya. Mau ke mana? "Bun, Adek makan di luar!" pamitnya. Yang dipamitin malah asyik tertawa bersama suaminya di halaman belakang. Yaaa video call. Bukan kah suaminya sibuk? Memang sibuk tapi masih bisa santai di ruang kerja untuk jam-jam ini. Tadi memang harus operasi tapi ternyata sudah ditangani dokter lain. Fadlan lupa kalau mereka bertukar pasien kemarin. Akhirnya yaaa bermesraan dulu dengan istrinya meski hanya melalui sambungan video. Ferril menghela nafas. Lain kali ia akan mengomeli Papanya karena terlalu sering berduaan dengan Bunda. Tapi kali ini ia akan mengalah. "Beyb, di mana?" tanyanya begitu teleponnya diangkat. "Siapa lo manggil-manggil gue begitu?!" Terdengar nada marah yang membuat Ferril terkekeh. Tumben-tumbennya teleponnya diangkat padahal biasanya hampir tak pernah diangkat kecuali....tidak sengaja terangkat. Sepertinya ini kasus dengan alasan yang sama. Mungkin gadis itu sedang intens sekali memainkan ponselnya. Yaaa kalau dipikir-pikir, orang yang sangat sering memainkan ponsel pasti tahu kalau ada telepon bukan? Tapi perempuan itu tak merasa perlu untuk mengangkat teleponnya. Hal yang kadang membuatnya gemas alih-alih marah. "Ak--" Tuuuut.....tuuutt.....tuuutt...... Ferril terkekeh. Mengejar perempuan yang satu ini memang perlu perjuangan. Kejadian terakhir saat ia membawa Echa ke acara buka bersama keluarga besarnya, ia pikir ia sudah bisa menyentuh hati Echa. Apalagi berhari-hari setelah itu, gadis itu mau meladeninya dan responnya lebih baik. Bahkan hingga dua bulan setelah itu, komunikasi dengan Echa cenderung lancar. Walau yah setelah itu, sepertinya gadis itu kumat juteknya. Ia awalnya mengira kalau Echa memang memiliki kepribadian yang aneh. Tapi mungkin memang ada benarnya perkiraan itu. Karena yaaaa dengan tampangnya yang seganteng ini, setajir ini, masa gadis ini tak mau sih? Ini sungguh benar-benar membuatnya sangat penasaran. Ada apa dengan gadis ini sebetulnya? Kok bisa terang sekali menolaknya tanpa ampun. Hahaha. Ia jadi sebal tapi cinta disaat bersamaan. "Oi, lo di mana?" "Gue lagi gak bareng Echa. Titik." Ferril terkekeh. Tahu aja kalau ia sedang mencari keberadaan Echa. Gadis itu sering lenyap. Dan satu-satunya tempat baginya untuk mencari Echa ya gadis yang satu ini. Karena dari sekian banyak teman Echa, ia hanya tahu gadis ini. Echa sungguh tertutup. Tak bisa tertebak jalan pikirannya. "Terus lo di mana?" Terdengar helaan nafas panjang di seberang sana. Mungkin capek juga karena terus diganggu atau ada masalah lain? "Lowongan yang lo tawarin beberapa bulan lalu masih ada?" Ferril tertawa. "Udah tutup lah. Lo salah sih nolak waktu itu." Kali ini helaan nafasnya terdengar lebih berat. "Gue nolak kan karena gak bisa keluar waktu itu." "Terus sekarang bisa?" "Ada masalah." "Masalah apa?" "Echa juga dapat masalah yang sama kayak gue." Wajah Ferril berubah menjadi lebih serius. "Masalah apa?" Ia jelas ingin tahu apapun yang berkaitan dengan hidup perempuan yang satu itu. Ia cinta mati padanya kan? Hohoho. "Gue gak bisa cerita di telepon." Kening Ferril mengerut. Ia sedang mengendarai mobilnya. Matanya melirik ke arah spion lalu kembali fokus pada jalanan di depan sana. "Terus?" "Lo ke apartemen gue deh. Echa juga bakalan dateng!" Ia langsung tersenyum lebar. "Oke. Masih di alamat kemarin?" "Bukan. Yang baru. Gue kirim. Langsung cus ya! Jangan lupa bawa makanan yang banyak! Inget ada Echa yang bakalan datang!" Ferril tertawa. Ia iyakan saja kemudian segera menginjak pedal gas lebih dalam. Sepuluh menit kemudian ia mampir ke minimarket untuk membeli banyak cemilan. Setelah itu, ia berhenti sebentar untuk membeli pizza. Ia mampir lagi untuk membeli donat kesukaan Echa. Terakhir, ia mampir ke restoran Jepang untuk membeli sushi. Satu jam kemudian ia baru tiba di apartemen milik teman kantornya Echa. Teman kampus juga sepertinya. Ah Ferril kurang tahu. Ia hanya mengenal kalau gadis ini satu kantor dengan Echa. Itu saja. Ia membawa semua makanan itu dengan kedua tangannya. Tiap akan bertemu Echa disaat kondisi seperti ini, ia selalu membawa banyak makanan. Biar apa? Biar Echa memperlakukannya dengan lebih manusiawi. Hihihi. Ia tahu kalau Echa akan lemah pada setiap kebaikan yang ia lakukan. Gadis jutek itu sesungguhnya memang memiliki hati yang hangat. Meski sikapnya terlihat dingin. Wajahnya juga terlihat sadis sih. Tapi sebetulnya tak sadar juga. Hanya dongkol kalau menghadapi Ferril. Cowok yang satu ini kan bebal. Mau ditolak juga masih saja mengejar. Karena menurutnya, Echa belum patut menolaknya. Gadis itu belum mengenalnya. Baru boleh menolak kakau sudah mengetahuinya secara utuh. Memaksa ya? Hahaha. Ya terkesan seperti itu kalau dilihat dari perjuangannya. Tapi ia hanya ingin gadis itu bahagia. Hanya itu saja. Walau dengan cara yang sedikit memaksa. Cinta itu harua diupayakan semaksimal mungkin. Terserah orang mau menilainya seperti apa. Yang jelas, seperti ini maish terasa sangat wajar. Suara bel apartemen membuat Echa menoleh. Gadis itu baru saja menaruh tasnya di atas sofa. Ia baru saja tiba beberapa menit sebelum mobil Ferril memasuki parkiran gedung apartemen. Lalu langsung bersikap siaga. Ini sebetulnya kebiasaan. Karena terkadang ada banyak hal tak terduga yang kerap terjadi. Terlebih....... "Siapa?" tanyanya tanpa curiga. Oke, ia tak mau berlebihan untuk bereaksi terhadap sesuatu bukan? Nabila berlari ke arah pintu. "Biasa, abang ojol. Gue pesen makanan banyak," ucapnya lantas nyengir. Sementara Echa malah masuk ke toilet tanpa tahu apa-apa. Saat Nabila membuka pintu, ia tertawa melihat Ferril kerepotan membawa semua makanan. Ia mengambil alih beberapa kemudian membiarkan Ferril mengikuti langkahnya. "Echa mana?" "Toilet." "Dia tahu gue bakalan datang?" "Kagak lah." Nabila tertawa. Ferril menaruh semua makanan di atas meja sementara Nabila mengecek isi setiap bungkusan. "Gue demen nih!" tuturnya lantas tertawa. Sementara Ferril menarik kursi makan dan duduk santai di sana. Suara pintu toilet terbuka menyita perhatian. Ketika Echa berjalan sedikit, ia akhirnya menyadari siapa yang baru saja datang dan itu membuat Nabila terpingkal-pingkal di lantai. Ia merasa lucu apalagi saat Echa mengirim tatapan tajam ke arahnya. Ia senang sekali mengerjai Echa seperti ini. Juga sangat senang melihat reaksinya yang selalu begini. Padahal apa salah Ferril? Ya kan? "Hei, beyb!" sapa Ferril. Echa mendengus. Ia mengambil duduk di sofa yang terletak jauh di belakang Ferril. Tadi ia sebal pada Ferril yang tiba-tiba meneleponnya ketika ia sedang memesan ojek online. Ia sebal karena ponselnya memang agak-agak lamban dan telepon yang masuk dari Ferril membuat ponselnya benar-benar tak bergerak. Layarnya tiba-tiba membeku. Kan asem. Cowok itu seolah datang diwaktu yang tak tepat. "Lo ngapain ngajak dia ke sini?" tanya Echa pada Nabila yang masih terpingkal. "Kejam amat pertanyaannya," keluh Ferril sambil menepuk-nepuk d**a. Tapi cowok itu sesungguhnya mengatakan itu dengan nada bercanda. Apalagi ia membalik kursi dan badannya sukses menghadap Echa yang menatapnya dengan tajam. "Kenapa sih, beyb? Marah-marah melulu," ledeknya. Ia hendak berdiri tapi..... "Kalo lo berani ke sini, gue silatin!" Ferril terkekeh. Akhirnya ia duduk lagi. Bukan karena takut pada silatnya Echa tapi ia tak mau Echa pulang. Ia kan mau ketemu Echa, masa orangnya malah pergi? Kan gak seru! Nabila masih tertawa kencang. Ia suka sekali melihat keduanya berinteraksi. Echa yang biasanya kalem dan agak pendiam bisa langsung hipertensi tiap ketemu Ferril. Anehnya, menurut Nabila, keduanya malah terlihat cocok satu sama lain karena Ferril tak pernah ambil pusing dengan setiap kata-katanya. Dan Echa juga sebetulnya tak pernah ambil pusing dengan segala tingkah Ferril ketika bersama perempuan-perempuan lain. Apa karena tidak ada hati? @@@ "Kok lo.....," ia kehilangan kata-katanya. "Udah lo diem aja. Gue cuma mencari solusi. Barangkali ini orang punya solusinya." Ferril mengangguk-angguk. "Terus apa masalahnya?" Rasanya Nabila ingin menoyor kepalanya. Dari sepuluh menit yang lalu ia berbicara panjang-lebar tapi Ferril malah gagal terkoneksi begini. "Maksud gue. Kalo ada oknum korupsi dalam lembaga pemerintahan dan diaduin ke KPK, itu bagus. Ini kan sama nih cuma berbeda konteks. Kalian kan hanya melapor ke komite akreditasi dan kementerian kalau ada perusahaan konsultan yang memalsukan data-data lingkungan." "Ya wajar sih wajar. Yang namanya kejahatan emang harus dibongkar. Tapi masalahnya, itu kantor kita berdua." "Aaaaah!" Ferril ternganga. Nabila benar-benar ingin menoyor kepalanya tapi tak berani karena lelaki ini adalah Ferril. Saudara kembarnya Farrel yang terkenal sebagai f**k boy-nya Indonesia. Eeh apa hubungannya? Tidak ada sih. Ia cuma nge-fans sama Farrel yang cakep dan cool dibanding versi tengil yang ada di depannya ini. Ya masing-masing manusia sekalipun kembar pasti memiliki sisi unik. Keunikan yang tak bisa ditiru siapapun. Sekalipun kembar identik. "Bilang kek kalo itu kantor kalian," tuturnya lantas menghela nafas. "Keluar lah." Ia malah berujar santai. Yaaa Echa agak dongkol mendengarnya. Untuk seseorang yang punya banyak uang, koneksi, dan keluarga kaya sepertinya memang sangat gampang mengatakan itu. Tapi untuk orang sepertinya? Menyedihkan. Nabila menghela nafas. "Masalahnya, gaji kita ditahan Ferril. Ditambah lagi, kita gak bisa cairin asuransi kerja. Itu kan lumayan buat gue sama Echa." Sebetulnya itu adalah alasan terdalam. Hubungannya memang tak jauh-jauh dari uang. Namanya juga kebutuhan untuk hidup. Ferril mengangguk-angguk. "Totalnya berapa, beyb?" tanyanya pada Echa dan ia mendapat toyoran dari gadis itu. Ferril tertawa. Nabila terjengkang karena tawa. Seumur-umur, baru kali ini ia melihat Echa menoyor kepala lelaki. Yang ditoyor model ganteng begini pula. Echa tak butuh uang darinya. Ia tak suka meminta-minta. Ia hanya ingin uabg kerja kerasnya dapat menjadi miliknya. Itu sudah terasa sangat cukup bukan? Ia tak perlu lainnya. "Lo gak ada solusi lain gitu? Kita mau lapor ke kementerian tenaga kerja tapi ya gak yakin bisa diproses. Perusahaan pasti tutup mulut mereka dengan sogokan." "Ikhlasin lah." "Yeee elo! Gue ajak ke sini bukannya cari solusi buat kita," keluh Nabila. Ferril terkekeh. "Gue cari lowongan deh. Lo berdua bisa kerja di perusahaan Om gue. Gantinya, lepasin aja uang itu. Biar bos lo berurusan sama lo berdua di akhirat aja untuk urusan duit begitu," tuturnya santai. Nabila menoleh pada Echa. Echa? Gadis itu malah menatap Ferril yang tertawa. Ya memang benar sih ucapan Ferril. Mereka tak punya pilihan. Toh pihak kantor juga tak berani melaporkan mereka pada kepolisian meski mereka sering mendengar ancaman itu. Kalau sampai melapor dan kasus ini diproses, perusahaan itu bisa ditutup karena tuntutan pemalsuan data. "Masalah itu udah kapan terjadi?" tanya Ferril. Kali ini ketiganya duduk di kursi makan dan mulai menyantap makanan yang dibawa Ferril. "Udah sebulan terakhir," celetuk Nabila. "Awalnya gue gak berani speak up. Tapi noh si Echa, udah gak betah." Ferril tersenyum kemudian menoleh pada Echa dengan wajah tengilnya. "Iya dong! My girl! Iya gak, beyb?" "Bab-beb pala lo!" ketusnya yang membuat Ferril dan Nabila kompak terbahak. @@@ "Galak amat sih?!" ledek Ferril. Ia berhasil membujuk Echa untuk pulang dengannya meski penuh drama saat merayunya yang dibantu Nabila. Mereka di sana sampai jam tujuh malam. Waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa. Mungkin karena Ferril bersama Echa. Eaaak! "Kalo ada masalah itu cerita, beyb. Jangan dipendam sendiri," tuturnya setelah sekian lama diam. Echa menghela nafas sembari menyandarkan punggungnya. Hidupnya terasa miris sekali beberapa bulan terakhir karena memikirkan hal ini. Ia bahkan terus terbayang-bayang teror dari bosnya. "Aku gak masalah kalau kamu butuh bantuan apapun itu." Kalimat itu terdengar begitu manis namun tetap saja Echa tak tersentuh. Semakin mengenal Ferril, entah kenapa banyak sekali keburukan yang masuk ke telinganya. Ferril yang katanya playboy lah, suka main hati dan......sulit dipercaya. Bagaimana mungkin Echa mau memulai sebuah hubungan dengan seseorang yang bahkan ia sulit percayai sejak awal? "Bahkan untuk hal-hal terkecil," ia berdeham kemudian melirik Echa. Saat lampu merah menyala, ia menginjak rem sembari mengambil dompetnya dan menyerahkan satu kartu pada Echa. "Kamu pakek aja. Itu unlimited." Ia mengulurkan kartu itu pada Echa. Tentu saja gadis itu langsung menolaknya. Ia tipe perempuan yang mandiri dan anti bergantung pada lelaki. Apalagi si lelaki model playboy begini. Duh! Permasalahan sih ada pada kelakuan Ferril yang emang terlihat tengil dan tak serius. Jadi Echa juga enggan menanggapinya dengan serius. Ia ogah patah hati. "Aku gak butuh." Ferril terkekeh. Ia tetap menaruh kartu itu di dekat tas Echa yang dipangku. "Ini bukan soal butuh atau gak butuh. Aku kan mau bantu, beyb. Aku tahu kalau kamu pasti ada tabungan. Tapi esensinya bukan itu," tuturnya lembut dan Echa menoleh ke arahnya yang tersenyum tipis. Omong-omong Ferril akan besar kepala gak ya kalau Echa diam-diam memuji penampilan kerennya ketika sedang menyetir mobil seperti ini? @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD