Chapter 1

1125 Words
Bagi Xerdan Leonald Smith, biola adalah salah satu instrumen yang menyenangkan dan indah untuk dimainkan. Walaupun dalam mempelajari biola membutuhkan waktu yang lama agar menjadi mahir. Namun, dengan kesabaran, disiplin, dan semangat yang besar, ketiga langkah itu akan membantu kemahiran dalam memainkan instrumennya. Bukan hanya itu, penghayatan serta pikiran yang jernih pun menjadi hal utama dalam permainan biola. Kelima hal itu pernah Xerdan lakukan untuk mempelajari permainan dari biola yang tengah dipegang olehnya. Karena itu, kini dia menjadi seorang violinis ternama di negara Italia, negara kelahirannya. Iya, dia lahir di Italia, tempat kelahiran sang kakek, Adam Madani Smith. Pria itu tengah berdiri di atas panggung yang disaksikan ribuan bahkan jutaan penonton. Semua penonton datang dan rela antre membeli tiket hanya untuk menyaksikan pertunjukan Xerdan dalam menggesek biolanya. Semua pendengar menatap penuh kekaguman dan terpesona ke arah pria tersebut. Karena bukan hanya permainannya saja yang memabukkan, tetapi ketampanan dan kharisma yang ditampilkan oleh Xerdan pula, membuat semuanya seakan tersihir. Pertunjukan pun telah selesai, pria itu masuk ke dalam ruang ganti karena ingin mengganti pakaian yang sedari tadi melekat di tubuhnya. Setelah beberapa saat kemudian, setelah dia mengganti pakaiannya, tiba-tiba saja pintu ruangan tersebut ada yang mengetuk. Xerdan pun membuka pintu setelah orang di luar ruangan itu mengatakan sesuatu, lalu pria tersebut menatap pria yang mengetuk dan mengganggunya. "Tuan, ini saya," ucap seseorang di luar ruangan tersebut. Xerdan yang mengetahui siapa orang itu pun langsung membukakan pintu. "Ada apa, Jordan?" tanya Xerdan dengan raut wajahnya yang datar. Jordan Aston Rodriguez, yang diketahui sebagai tangan kanan atau asisten pribadi Xerdan pun membungkukkan sedikit badannya. "Saya bersama dua orang pengawal sudah melakukan apa yang Tuan perintahkan, dan semuanya sudah berhasil," jawab Jordan. Xerdan mengangguk. "Apa CCTV yang berada di titik-titik tertentu sudah kalian manipulasi atau mungkin kalian rusak?" Jordan terkekeh pelan mendengar pertanyaan dari sang Tuan. Apa harus sedetail itu? Biasanya Xerdan tidak pernah banyak bertanya ketika akan melakukan kejahatan maupun pembunuhan, tetapi entah mengapa kali ini, pria itu begitu berisik dan banyak bertanya. "Saya sudah melakukannya, Tuan. Jadi, Anda jangan khawatir terhadap apa yang saya lakukan. Semuanya aman, Tuan," jawab Jordan kembali setelah menghentikan tawanya. Jordan tidak pernah canggung dengan Xerdan walaupun mereka berbeda status. Mungkin karena sedari kecil Jordan dan Xerdan bersahabat, sehingga keduanya begitu akrab, tidak seperti atasan dan bawahan. "Baiklah. Oh iya, tolong jangan panggil aku tuan, Jordan. Itu sungguh menggelikan, sekaligus menjijikkan," sahut Xerdan sambil bergidik ngeri. Pria itu melangkah keluar dari ruang ganti. Di belakangnya ada Jordan dan dua orang pengawal lain. Mereka akan menuju ke sebuah gedung yang di mana akan dijadikan sebagai tempat aksi pembunuhan dan kebrutalan Xerdan. Setelah sampai di pelataran parkir dan mendekat ke arah mobil, lalu seorang pengawal membukakan pintu mobil yang akan membawa Xerdan ke tempat itu. "Apa Tuan ingin membeli makan dulu, sebelum kita tempat itu? Aku takut Tuan sakit?" tanya Jordan yang tengah menyetir mobil. Xerdan menggelengkan kepala. "Kau sudah seperti mamaku ya? Cerewet sekali. Aku tidak makan pun, tidak akan mati. Apalagi sakit, kau melupakan Tuhan yang sudah menciptakan manusia. Hanya dia yang bisa menentukan hidup dan matinya kita," jawab Xerdan dengan kesal. Kedua pria itu berada di dalam mobil yang sama. Di mana Jordan sebagai supir dan duduk di kursi kemudi, sedangkan Xerdan mendudukkan bokongnya di kursi penumpang bagian belakang. Di belakang mobil mereka, terdapat sebuah mobil yang dikendarai oleh pengawal. Beberapa saat kemudian, mereka sampai di halaman belakang bagian gedung yang tinggi dan besar. Gedung itu sepertinya masih beroperasi, karena bisa dilihat dari kondisinya. Saat Xerdan dan Jordan akan memasuki gedung, tiba-tiba seorang pria berpakaian serba hitam menghampiri keduanya seraya membungkukkan sedikit badannya. "Tuan," panggilnya kepada Xerdan. "Apa semuanya aman?" tanya Xerdan, membuat Jordan memutar bola matanya malas. Rasanya dia benar-benar ingin mencekik Xerdan yang terasa cerewet dan banyak bertanya. Seperti seorang bocah. Tadi dia menghina Jordan cerewet seperti sang mama, tetapi bukankah dia yang sedari tadi banyak bicara? Pria dingin, datar, dan kaku seperti keduanya ternyata bisa cerewet juga di waktu tertentu. "Kau ingin mencekik ku? Boleh, tapi sebelum itu aku dulu yang mencekikmu," ucap Xerdan seraya melangkah memasuki gedung. Jordan membelalakkan matanya. "Kenapa aku lupa, tuanku kan bisa mendengar apa yang ada di pikiran serta hatiku. Dasar bodoh," gumam pria itu, lalu melangkah menyusul Xerdan. Pengawal itu menatap bingung ke arah Jordan. Tentu. Siapa yang tidak bingung? Pria itu berbicara panjang lebar dengan raut datarnya. Sungguh aneh. *** Xerdan masuk ke sebuah ruangan yang terdapat papan menggantung di atas pintu, bertuliskan CEO. Ruangan itu berada di lantai 9. Karena terlalu fokus pada berkas-berkas, membuat pria yang tengah duduk di kursi kebesarannya tidak menyadari kedatangan Xerdan, musuh terbesarnya. Prok! Prok! Prok! Xerdan menepuk kedua tangan sebanyak tiga kali, membuat pria itu terlonjak kaget. Dia pun mengalihkan pandangan dari berkas-berkas yang ada di meja kerjanya ke arah orang yang menepuk tangan. Dia terkejut melihat Xerdan berdiri sambil menampilkan senyum mautnya. "Xerdan?" beo pria itu. "Halo, Mr Antonio Conte," sapa Xerdan dengan nada mengerikan. Pria bernama Antonio Conte itu berdiri dari duduknya, lalu melangkah dengan angkuh mendekati Xerdan, hingga keduanya hanya berjarak beberapa langkah saja. "Mau apa kau ke sini, Tuan Xerdan?" tanya Antonio. "Memberikan kejutan, sekaligus menjengukmu," jawab Xerdan dengan santainya. Antonio Conte mengulas senyum miring mendengar jawaban dari Xerdan. "Kejutan seperti apa, Tuan? Dan aku tidak sakit, jadi tidak usah repot-repot untuk menjengukku. Terima kasih sudah baik sekali," sahut Antonio dengan tenang. Menghadapi manusia berhati iblis seperti Xerdan, harus dengan santai dan tenang. Jika dia melihat ada raut ketakutan dari lawannya, maka itu akan membuat dia sangat bahagia dan senang. Karena itu yang dinantikan oleh seorang psychopath seperti pria itu. Raut ketakutan dan jerit kesakitan menjadi objek kegembiraannya. "Aku memang sangat baik, karena itu kau masih hidup. Jika tidak, mungkin kau sudah mati dengan mengenaskan, sama seperti dia." Mendengar itu Antonio langsung emosi. "Jangan mengusikku, Xander! Kau hanya anak kemarin sore, yang belum paham akan dunia gelap dan sisi iblisku!" bentak Antonio yang memang sudah terpancing emosinya. Xander menaikkan sebelah alisnya. "Anak kemarin sore? Kau yakin, Mr Antonio? Bagaimana bisa anak kemarin sore membunuh secara brutal, dan tanpa meninggalkan jejak?" Antonio merogoh saku celananya tanpa sepengetahuan Xander dan Jordan. Dia langsung mengangkat pistol yang memang sudah dipersiapkan, karena takut jika tiba-tiba ada musuh yang menghampirinya. Pria itu menembak tepat ke arah jantung Xander, tetapi meleset. Pria muda itu berhasil menghindar. Terlalu fokus pada Xander, dia tidak menyadari ada Jordan di sana. Hingga akhirnya pria itu terkena tembakan di bagian lengan. "Ho ho, terlalu fokus dalam menghabisi Tuanku, tetapi tidak melihat ada orang lain di sini?" ujar Jordan dengan nada mengejek. "Sialan!" Antonio marah besar, ia kembali mengacungkan pistolnya ke arah Xander. Namun, saat akan menekan pelatuknya, tiba-tiba dia mendengar suara jeritan dari seseorang yang sangat dia cintai. "Antonio, tolong aku!" jerit orang itu dengan suara serak yang hampir menghilang karena tangis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD