Pulang

1551 Words
Senja melambai sebelum tertelan sang malam. Goresan jingga menampakkan diri dengan elegan, menyapa cakrawala yang sudah sangat sering terkena polusi kendaraan. Arisha memasukan beberapa pakaian dari lemari ke dalam koper dengan tangan yang satunya lagi dia gunakan untuk menahan ponsel dekat telinga. Fatur–abangnya–terus bertanya mengenai dia yang jadi menemui Lastri–ibu mereka–di Sumedang atau tidak. Padahal dari beberapa bulan yang lalu pun dia sudah bertekad bahwa ingin pulang ke Sumedang dulu, mumpung libur semester. Lagipula liburan idul fitri pun dia gunakan untuk mengikuti Fatur ke Medan, mengunjungi kerabat yang lain. Mungkin, kalau dia menginap beberapa hari di sana, Fatur takut kehilangannya. Positif thinking saja dulu. "Kalau kamu pergi, enggak ada yang masak di rumah. Abang sama papa mau makan apa?" Arisha berdecak mendengar penuturan konyol Fatur. Zaman sekarang sudah serba canggih, tanpa mengangkut asisten baru pun mereka sudah bisa memesan makanan lewat go food atau sejenisnya. Fatur seakan hidup di antah berantah saja, padahal sudah jelas mereka tinggal di ibukota. "Makan odol." Tangan lentik Arisha bergerak pelan menutup lemari, "Ayolah, Bang. Banyak aplikasi lain yang bisa antar makanan langsung ke rumah. Please, don't hold me back from seeing mom and Kak Arshi. Cukup satu tahun aku enggak ketemu sama mereka. I really mis mom and Kak Arshi, tahu!" Dia berjalan menuruni undakan anak tangga dan mengambil botol minum dalam kulkas. Terdengar helaan napas panjang dari Fatur di seberang sana. Sebenarnya, dia tidak bermaksud untuk melarang. Hanya saja, Fatur tidak mau kalau Arisha sampai berubah pikiran ingin tinggal di sana ketika merasa nyaman. "I just–" "Nyenye." Selepas menuangkan air dan menyeruputnya sedikit, dia beralih duduk di meja makan sembari mendengarkan omongan Fatur yang lebainya tidak ketulungan. Padahal di sana dia hanya menginap dua hari, karena satu hari setelahnya harus masuk sekolah lagi. "Emang kenapa? Abang enggak kangen sama mereka? Durhaka, ih." "Bukan gituuuu. Di sini masih banyak tugas, Sha. Dikira minta libur gampang apa." "Ya, sih." Sebelah tangannya melingkari perut, pipi mengembung dengan segala pikiran yang menyenangkan. Kalau dia di sana, pasti rasanya menyenangkan. Apalagi bisa bermain lagi bersama sang kakak. "Berangkat kapan?" Suara Fatur kembali menyapa indera telinga. Arisha menarik napas lebih dulu sebelum menjawab. "Kata Kak Jefan, sih, jam enam—waalaikumussalam." Kepala Arisha mendongak sedikit untuk melihat pintu—sampai ujung jilbabnya sedikit tertarik ke belakang, padahal benda itu tak akan terbuka jika pemiliknya masih duduk di sini. "Bentar, ya, Bang. Ada tamu." "Hm. Bukannya sekarang udah jam enam?" "Eh, demi apa?" Arisha kontan mendongak menatap jam dinding yang menggantung besar di tengah rumah. What the hell!? Beneran jam enam malam! Namun, mana mungkin dia bawa koper dulu dan membiarkan tamu di luar. Setelah pintu terkuak sepenuhnya, Arisha menyengir kuda. "Sekarang?" "BESOK!" Duh, garang sekali kakak sepupunya ini. Dengan terbirit-b***t, Arisha mengambil barang yang akan dia bawa ke Sumedang. Rasanya seperti latihan militer, saat Jefan mengatur waktu agar dia bisa mati berlari! ••• Rasanya, Arisha sangat tak sabar saat mobil telah melewati tol. Apalagi dengan lapangan bola yang kerap mereka gunakan untuk main badminton telah tampak. Senyumnya terbit terus-menerus menyaksikan pemandangan yang menggugah kenangan. Duh, Arisha sangat senang sekarang. Rasanya, mendapat emas ribuan pun kalah dengan kebahagiaan bertemu keluarga. Pernah mendengar lagu Bunga Citra Lestari? Harta yang paling berharga adalah keluarga. Di manapun dia berada, keluarga merupakan nomor satu yang paling diutamakan. Mereka tetap mendukung saat dunia menunjukan kekejaman yang teramat menyakitkan. "Makasih, Kak Jef!" "Kakak juga mau masuk dulu kalik." "Oh, kirain mau langsung pulang." Arisha menurunkan koper dari bagasi dengan gampang membuat Jefan yang melihat pun merasa heran. Adik sepupunya itu sebenarnya manusia tulen atau titisan Superman? Koper tadi berat, lho—tapi Arisha mengangkatnya bagai bawa kapas. Tak mau memusingkan itu karena tidak mau susah tidur gara-gara Arisha, Jefan melangkah lebih dulu ke depan pintu rumah bergaya klasik dengan nuansa kayu yang diutamakan—tampak elegan saat lampu menerangi dengan keindahan. "BIBI." Arisha berdecak mendengar suara melengking milik Jefan—percis emak-emak. Apa dia tidak telah? Padahal waktu tempuh dari Jakarta ke Sumedang mencapai delapan jam. Dia juga tidak yakin kalau Lastri masih bangun sebenarnya. Mengingat sekarang sudah jam dua pagi lebih—hampir menuju jam 3. "Aku nggak yakin, sih, kalau ibu udah bangun, Kak." "Terus? Kamu mau tidur di luar gitu?" Arisha menggigit bibir bawahnya. "Nggak juga." Matanya mulai mengerling mencari akal. "Aku ikut kakak aja dulu." "Kamu, sih! Bukannya kasih tahu Bi Lastri kalau mau pulang, tuh. Jangan diam-diam kayak gini." Iya, salah dia saja terus. Istilah cewek selalu benar itu tak berlaku sepenuhnya saat berhadapan dengan Jefan. "Assalamu'alaikum, Bibi!" Jefan berulang kali menekan bel. Bukannya dia tidak mau membawa Arisha pulang bersamanya, tapi status yang mereka miliki memang tidak memungkinkan untuk Arisha menginap di rumah. Menimang bahwa Jefan juga sendirian tinggal di sini. "Ikut teriak juga, kek." "Hm." Arisha menarik napas panjang lebih dulu agar tenaganya lebih besar. "IBUUUUU—EH!" Klontang! "Astagfirullah, punya ibu jahat bener." Arisha memegang lengannya yang menjadi sasaran lemparan kaleng kosong oleh Lastri dari kamarnya. Wanita setengah baya itu terlihat sangat keletihan, hingga matanya pun masih terpejam berulang kali. "Nggak dikunci, masuk aja." "Kenapa nggak cek dari tadi," gumam Arisha merasa jengkel dengan dirinya sendiri. Saat Jefan sudah membukakan pintu, gadis yang memakai kemeja putih hitam dan celana kulot plisket hitam pula itu merebahkan diri di sofa ruang tamu begitu saja. Badannya remuk parah. Ingin memeluk Lastri pun, ibunya sedang mode marah. "Kakak pulang dulu." Arisha langsung mendongak dan duduk secara spontan. Dia kira Jefan—setidaknya mau minum atau istirahat sebentar dulu. "Beneran? Yakin? Nggak takut?" "Ngeledek!" Jefan melempar tatapan tajam. Bukannya takut, Arisha malah terkikik. "Pindah ke kamar sana. Istirahat dulu." Lastri mengikat rambutnya yang tergerai seraya melangkah pelan—duduk di samping Arisha. Kemudian, menatap sang keponakan setelahnya. "Kamu beneran mau langsung pulang? Mending nginep di sini dulu aja. Sebentar lagi juga subuh." "Nggak, Bi. Langsung pulang aja. Kasihan si baby Momo ditinggal," jawab Jefan sembari menarik tangan Lastri untuk dikecup pelan. "MOMO? Kakak udah punya anak? Inalillahi." Arisha menutup mulutnya yang menganga kaget. Matanya membola seakan ingin keluar dari tempat semestinya. "Iya, udah." Jefan rasanya ingin menimpuk kepala Arisha sekarang. "Banyak malah. Ada tujuh." "Bu! Macem-macem dia di rumah!" "Hus!" Lastri menatap anaknya tajam sembari mengibaskan tangannya geram. "Ya udah, kalau mau pulang. Hati-hati." "Ih, Buuu. Sidang dulu lah!" Jefan menjitak kepalanya begitu saja sebelum pamit pergi. Setelah Jefan benar-benar menutup pintu kembali, Lastri beralih menatap si bungsu. "Anak kucing itu, Sha!" Hah? Kucing? Lastri menyuruh Arisha untuk cepat masuk kamar agar istirahat dengan nyaman. Namun, yang namanya Arisha—si gadis susah diatur ini—malah merebahkan sebagian tubuhnya ke kursi. "Disuruh ke kamar. Nurut gitu, lho." Arisha tertawa mendengar gerutuan sang ibu. Meskipun Lastri suka marah-marah, ya setidaknya inilah yang dia rindukan ketika mereka tidak bertemu lama. "Malah ketawa. Kena virus apa di jalan, hm?" "Virus ... kangen." Bibir Arisha tertarik sedikit. "Aku kangen sama ibu tahu." Meskipun tomboi, kalau sudah berurusan dengan orang tua itu ... tetap saja membuat Arisha lemah. Matanya berkaca-kaca menatap Lastri yang merasa bersalah. Andai saja dulu dia mampu berjuang. Ibu tiga anak tersebut mendekat perlahan, memeluk Arisha hangat saat gadis itu perlahan bangkit. Pelukan ini begitu Arisha rindukan. Satu tahun saja rasanya satu abad. Sesekali, Lastri mengecup surai yang tertutup jilbab hitam tersebut. "Tadinya aku mau nanya kabar, ibu sehat atau nggak. Tapi setelah mengalami kejadian tadi lagi, mendadak pikiran Arisha berubah." Lastri menggelengkan kepalanya pelan sembari tersenyum tipis. "Jadi mikir gini; ibu capek, ya? Ibu ngapain aja, sih, di rumah. Capek, ya, kalau beresin rumah sendirian?" "Anak ibu satu ini selaluuuu aja." "Selalu apa?" Arisha mendongak sembari tersenyum pongah. "Ngangenin, ya? Selalu care juga, kan?" Senyum Lastri perlahan luntur, berubah menjadi tatapan datar. "Menyebalkan." "Ibu suka gitu. Jangan membohongi diri sendiri, Bu. Nggak baik." "Udah, tidur sana. Ibu juga ngantuk, nih." Arisha mengangguk pelan. Memilih mengangkat koper ke kamar atas. Kamar yang selama ini kosong. Ini juga, entah sudah dibersihkan atau tidak. Dia sempat melirik kamar Arshi sebentar, sepertinya gadis itu masih tidur, terlihat dari kamarnya yang gelap sedari tadi. Menyimpan koper di sudut kamar, gadis itu melepas sneakers dan loncat ke kasur setelahnya. Tidak memikirkan kalau bisa saja kasur itu jebol nantinya. Dia melirik foto di atas nakas depan lampu kamar. Di sana ada dua anak kecil dan dua anak laki-laki yang tersenyum. Yang paling membuat Arisha malu, dia sendiri yang masih ompong. Tersenyum geli mengingat kejadian di foto waktu lalu, Arisha menatap langit kamar. Perlahan demi perlahan, matanya terpejam lelah. ••• Sinar Bagaskara perlahan muncul pada peraduannya. Semilir angin menusuk kulit Arisha, menyadari bahwa di kota ini begitu dingin saat pagi hari. Berbeda dengan rumahnya di Jakarta, karena tingkat suhu dan keadaan alam yang berbeda. Sempat terusik, apalagi dia tidak memakai selimut, gadis itu menggigit bibir bawahnya kedinginan seraya beranjak dari kamar. Kalau di sini, dia jadi suka malas mandi. Oleh karena itu, bukannya masuk kamar mandi untuk sekadar cuci muka, dia malah turun ke meja makan. "Kak Arshi mana?" tanyanya kala melihat Lastri hanya duduk sendirian. "Masih di kamar. Mungkin dia kecapean." Tidak biasanya, jam enam pagi Arshi belum keluar kamar. Tanpa bicara apapun, Arisha segera menaiki tangga kembali, lantas mengetuk pintu sang kakak dengan tempo yang sangat cepat. Mengerling jahil, Arisha membuka pintu perlahan, kemudian menyalakan lampu kamar hingga terlihat Arshi yang— "KAK ARSHI!" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD