Tidak Berdaya

1513 Words
Arisha terpaku sejenak, tangannya sangat gemetar ketika melihat mulut Arshi yang mengeluarkan busa. Dia berteriak memanggil sang ibu agar segera naik ke atas membuat Lastri yang baru menyuapkan sepotong lontong pun berlari tergesa ke kamar Arshi. Dengan segera, Arisha naik ke atas ranjang dan menepuk pipi sang kakak berharap kalau Arshi masih bisa sadar. Namun, kenapa sangat lemah? Mendadadak dadanya terhimpit, sampai susah bernapas. Kening Arisha mengernyit dalam, kemudian memegang lengan Arshi tepat di urat nadi. Hancur. Semuanya berantakan. Ini tidak mungkin. Arshi hanya istirahat, bukan meninggalkan dia untuk selamanya. Nadi Arshi pasti nge-prank Arisha sekarang. Semuanya bohong, bukan? Kakaknya masih hidup pastinya. Napas Arisha kian memburu, apalagi saat menyadari deru napas Arshi tak terasa lagi. Mimpi. Pasti mimpi. Semuanya hanya mimpi belaka. Dia masih tertidur di kamar atau bahkan dia masih di Jakarta dan ketiduran di meja makan. Ya, kan? Tolong bangunkan Arisha sekarang. Dia tidak mau mengalami mimpi seburuk itu. "KAK! KAKAAAK! KAAAK!" Untuk kesekian kalinya, Arisha menepuk pipi Arshi cukup keras. Akan tetapi, masih sama. Tak ada pergerakan sama sekali. Tubuh Arshi saja sangat dingin, tak ada aliran darah yang mengalir lagi. "KAKAAAK!" Buliran bening kian berjatuhan membasahi pipi mulus Arisha, bahkan sampai terjatuh mengenai rambut panjang Arshi. "Kak, aku mohon. Jangan tinggalkan aku sekarang. Aku belum siap untuk kehilangan kakak di dunia ini. Kakak udah janji, lho. Kalau setiap aku ke sini, kakak akan ngajak aku ke pasar malam, main badminton, ngajarin aku ngaji, main bola, jalan-jalan keliling Sumedang, kan? Kak! Kakak bangun lah. Aku mohon, Kak. Kakak jangan tidur." Air mata Arisha semakin mengalir deras. Suaranya tersendat sembari memanggil nama Arshi terus-menerus. Dia belum siap kehilangan. Dia tidak akan mau ditinggal kakak sebaik Arshi. Dia tidak mau. "Kak Arshi paling nggak mau, bukan, jadi pengkhianat? Kalau kakak istirahat sekarang, kakak bohong sama aku. Ayo, Kak. Bangun, ayo. Kita pergi ke lapangan sekarang. KAKAK BANGUN! JANGAN TINGGALIN AKU, PLEASE. STAY WITH ME." Arisha mengguncang tubuh sang kakak pilu. Arshi pasti bangun lagi, terus menanggapi ceritanya kembali. Dan setelah ini Arshi pasti langsung tertawa karena merasa berhasil menjahili adik satu-satunya ini. Arisha sangat yakin itu. "Kenapa?" tanya Lastri risau. Hingga dia menatap Arshi yang berada di atas ranjang, badannya membeku seketika. Aliran darah seakan berhenti saat itu juga. Bumi mendadak berhenti berotasi mulai detik ini. Matanya memanas dengan pening yang menghampiri lama. "Ar–shi." "Bu, Kak Arshi, Bu!" Kaki Lastri bagai jelly, untuk sekadar melangkah ke arah kedua putrinya pun terasa sangat lemah. Dengan susah payah, Lastri mampu duduk di samping Arshi. "Shi! Arshi!" "Kak Arshi .... " Napas Arisha tiba-tiba tercekat. Dia tak sanggup mengungkapkan kenyataan ini. "Kak Arshi ... udah nggak ada, Bu." Merasa tidak percaya, dengan tangan gemetar, Lastri pun meletakan telunjuk tangannya tepat di bawah hidup sang putri. Mendadak, pertahanan Lastri semakin runtuh. Tangisnya ikut pecah mengisi ruang kamar yang menjadi saksi bisu kepergian remaja cantik tersebut. "Ibu lagi dalam ilusi, ya, Sha?" Tatapan Lastri begitu kosong nan rapuh. Dia tidak tega melihat ibunya seperti ini. Hal itu menambah pilu dalam relung hati yang terluka parah. Arisha saja tak yakin luka ini akan sembuh. "Ibu hanya halusinasi karena nggak mau kehilangan Arshi, ya? Iya. Ibu pasti cuma halusinasi aja, Sha." Tangisan Arisha semakin pecah melihat ibunya seperti itu. "Kak, kakak lihat, kan? Ibu terluka, Kak. Aku juga terluka. Kenapa kakak tinggalin kita? Kakak kenapa jadi jahat gini, sih!? Jangan berlagak jadi Joker dulu dong. Kak Arshi masih bisa bangun, kan? Iya, kan?" Di sisi lain, Fatur dan Tio yang merasa tak enak hati pun masih berada di perjalanan. Semalam, mereka memutuskan untuk ikut pergi ke sana. Mereka takut kalau Arisha kenapa-kenapa. Namun, saat Fatur telah tiba dan terus-menerus menekan bel, tak ada seorang pun yang menyahut atau bahkan membukakan pintu. Saat mendengar teriakan melengking Arisha, keduanya silih tatap sejenak, kemudian kompak berlari mencari keberadaan Arisha di mana. Detik itu juga, saat Tio menemukan punggung istrinya yang bergetar hebat dengan sang putri yang menangis histeris, pun melihat Arshi yang terbujur kaku, mata Tio membelalak. "Sha." Arisha mendongak, terpancar perasaan kaget di sana. "Pa, Kak Arshi." ••• Dalam pelukan Fatur, tangis Arisha tak mampu berhenti melihat kakaknya yang digotong masuk keranda. Dia masih belum bisa menerima kenyataan yang secara tiba-tiba terjadi. Apalagi saat melihat Lastri begitu terpukul. Hatinya bagai dipecahkan oleh palu yang sangat kuat. Ditancapkan oleh paku dan diserang oleh samurai. Remuk, tak terbentuk. "Kenapa nggak aku aja yang ngalamin ini, Kak?" lirihnya sendu. Fatur segera mengusap puncak kepala sang adik penuh sayang. Bukan hanya Lastri dan Arisha saja yang terpukul. Dia dan Tio juga sama halnya. Akan tetapi, keduanya lebih memilih berusaha tegar karena ada hati yang harus dikuatkan. Untuk menebus rasa bersalahnya, Tio ikut mengangkat kendaraan yang ditumpangi Arshi sekarang. Sedangkan Lastri masih terbaring tidak berdaya di kamar. Selepas menangis histeris, wanita itu langsung limbung. Untung saja, kerabat yang dekat langsung berdatangan dan silih menghubungi satu sama lain. "Semuanya bakal ngalamin, Sha. Tinggal tunggu waktunya aja." "Kenapa harus Kak Arshi yang duluan? Harusnya aku dulu aja yang meninggal." Fatur beristighfar dalam hati. Jangan sampai emosinya tercuat hingga menimbulkan keributan. Arisha kembali menarik napasnya dalam, kemudian dibantu berdiri oleh Fatur untuk mengantarkan jenazah Arshi ke rumah barunya. Di sisi lain, Lastri langsung menegakan tubuh dengan napas berburu. Tatapannya sangat layang, membuat Fitri amat kasihan. "Arshi di mana sekarang?" Fitri melihat sekilas ke arah pintu yang terbuka. "Dia baru akan dikuburkan sekarang." "Aku mau ikut, Fit." Fitri mengangguk sembari membantu Lastri untuk berjalan, pun dengan Dian yang di sisi kiri Lastri. Sembari memeluk Fatur, Arisha berjalan paling belakang disusul dengan sang ibu. Namun, Lastri langsung berjalan tepat paling depan, di belakang keranda dengan kedua adiknya. Dia tidak tahu lagi, setelah ini kehidupannya akan bagaimana. Semuanya pasti hancur dan pasti terpukul. Sanggupkah Arisha untuk bangkit? ••• Dengan lemah, Arisha menaburi bunga di tanah yang masih basah itu. Meskipun air mata tak keluar lagi—mungkin juga sudah letih—tapi dadanya masih sangat sesak melihat ukiran nama Arshi di batu nisan yang tengah dipeluk Lastri sekarang. "Kak Arshi, baik-baik, ya, di sana!" ucapnya polos. Fatur menitikan air mata melihat kedua wanita yang tampak rapuh, tapi segera dia tepis secepat kilat. Hingga Tio menepuk pundaknya pelan, lantas berangsur berubah menjadi sebuah usapan lembut menenangkan. Padahal Tio juga butuh penguat, tapi pria itu masih saja memikirkan anak serta mantan istrinya. "Papa oke, Fatur." Seakan tahu arti tatapan sang putra, maka Tio pun berucap demikian. "Fatur dan Arisha pasti akan selalu ada untuk papa." Fatur tersenyum tipis menatap Tio sekilas, kemudian melihat Arisha kembali. "Iya, papa percaya itu." Fatur berangsur ikut berjongkok di samping sang adik. Dia menarik kembali Arisha dalam dekapan. Kemudian, meremas tanah dengan tatapan nyalang. Dia hanya berharap, semoga dia dan Arshi mampu dipertemukan di jannah-Nya. Aamiin. "Kita pulang, ya." Arshi mengangguk pelan. Sedangkan Lastri tetap kekeuh, ingin menemani Arshi di sini karena takut kalau Arshi sendirian. Namun, Fitri dan Diandra dengan sigap membujuk. Berbeda dengan mereka, Tio hanya terdiam. Kemudian, beranjak lebih dulu dari sana. "Kak Lastri, Arshi pasti sedih melihat kakak seperti ini. Pulang, ya, Kak? Kita doakan Arshi di rumah. Semua orang pasti sudah menunggu." Dengan segala bujukan, pada akhirnya Lastri mengangguk. Arisha menatap lamat lebih dulu papan nisan tersebut. Tersenyum tipis—seakan melihat Arshi yang melambaikan tangan—Arisha pun perlahan bangkit dibantu Fatur. "Aku bisa sendiri, Kak." Gadis itu melepaskan cekalan Fatur. Namun, satu langkah dia maju, saat itu juga tubuhnya hendak limbung ke depan. Untungnya, Fatur dengan sigap menangkap Arisha. "Ck! Jangan ngeyel dulu, Sha." Bukannya menggandeng lengan Arisha kembali, Fatur malah menggendongnya. Dengan kesal, dia melingkarkan kedua tangan pada leher sang kakak. "Ya Allah, adik abang satu ini, kok, berat banget, ya!" Arisha langsung menjitak kepala Fatur saat itu juga. Ada untungnya dia digendong di punggung Fatur sekarang. "Enak aja." Fatur perlahan menarik bibirnya tipis. Meksipun hanya hal kecil, setidaknya jiwa Arisha telah kembali pada semula. Dia tahu, Arisha anak yang kuat, seperti orang yang makan kue macan. "Nanti kalau udah balik lagi ke Jakarta, abang bawa ke museum lagi. Janji, deh, lebih lama dari waktu itu." Bukannya antusias seperti biasa, Arisha malah terdiam membuat Fatur sesekali mendongak, bersusah payah melihat wajah gadis itu. "Beneran janji, lho, ini. Bahkan, kalau kamu mau ke Yogyakarta juga abang temenin. Abang bisa atur jadwal demi kamu. Nanti kita pelesir bareng. Atau mau di Sumedang a—" "Aku mau menetap di Sumedang. Boleh, ya, Bang?" Fatur yang tampak antusias mengatur jadwal mereka pun mendadak bungkam. Sebenarnya, Arisha takut kalau akan izin perihal ini, tapi dia kasihan kalau Lastri sendirian di sini. Tidak ada salahnya, bukan? Lagipula di Jakarta, Tio ditemani oleh Fatur. Sekarang, mereka dibagi dua. "Abang marah?" Fatur tetap tak menjawab. Namun, kepalan tangan yang mampu Arisha rasakan menjawab semuanya. Dia salah kali ini. Harusnya Arisha bicara saat keadaan mulai reda saja. "Ya udah, nggak papa. Bang Fatur pikirin baik-baik aja dulu. Diskusi sama papa, ya, gimana baiknya," ucap Arisha pada akhirnya. Memilih mengalah untuk tidak mengungkit keputusan yang dia buat secara tiba-tiba. Meskipun begitu, Arisha sangat tidak yakin kalau Tio dan Fatur akan memberi izin. Namun, yang namanya usaha. Lebih baik telat, daripada tidak sama sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD