Mulai Pindah

1604 Words
Arisha kira tidak akan mudah jika meminta izin pada kedua laki-laki posesif yang tengah duduk di ruang tamu itu untuk tinggal bersama Lastri, mengingat bahwa semenjak keduanya pisah pun memang sangat-sangat susah jika dia ingin berkunjung kemari. Apalagi menetap di sini? Namun, nyatanya perkiraan dia berakhir salah. Selepas berdoa bersama, Tio memberikan izin meskipun tetap terlihat ngerasa kehilangan. Dia tidak mau menahan Arisha lagi, apalagi Lastri yang nantinya akan tinggal sendiri. Dia takut kalau mantan istrinya berbuat nekat—menyakiti diri sendiri misalnya. "Aku mau tidur di kamar kakak aja." Ucapan terakhir sebelum Arisha benar-benar menutup pintu mengundang palingan wajah dari Fatur. Gadis yang masih memakai baju serba hitam tersebut menatap setiap sudut kamar. Banyak yang hanya menjadi sebuah butiran angan, asa yang telah mereka rangkai pun mendadak runtuh karena takdir yang sedang bermain lebih unggul. Mau bagaimanapun, dia tidak bisa menentang garis cerita yang telah Allah torehkan. Meskipun terkadang memang mendatangkan sakit teramat dalam, Allah hanya ingin dia mengambil hikmah dan menjadikan pembelajaran pada setiap kejadian. Waktu adalah dimensi paling berharga. Setiap orang dibagi siang malam untuk digunakan dengan sebaik mungkin, terbukti dengan Arisha yang merasakan penyesalan teramat dalam. Kenapa tidak memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin. Ingin sekali dia berandai, tapi qadarullah. "Meski sekarang kita telah terpisah oleh ruang alam yang berbeda, tapi suatu saat pasti akan bertemu di tempat terbaik yang telah Dia ciptakan." Mengalihkan kesedihan yang sedari tadi menggelayuti diri, dia berdiri di depan meja belajar Arshi. Mencoba mencari kegiatan kakaknya semasa hidup. Bilang saja kalau Arisha memang kepo. "Oh, kakak dulu suka organisasi?" Bibirnya tertarik sedikit seiring dengan tangan yang beralih membuka laci kecil yang biasanya Arshi gunakan untuk menyimpan bolpoin dan stiky notes. Namun, tunggu. Ada benda panjang yang lebih mencolok dan menarik dinding penasaran Arisha. Tentu dia tidak bodoh. Oleh karena itu lah sekarang gadis itu menarik benda panjang itu, meneliti semakin dekat dengan tangan gemetar hebat, bahkan sampai mendekatkannya pada bola mata takut dia salah lihat. Untuk apa kakaknya menyimpan benda ini? Tubuh Arisha semakin menegang, kala potongan kejadian seakan menghubungkannya pada benda tersebut. Akan tetapi, tidak mungkin rasanya kalau Arshi sampai nekat berbuat yang tidak semestinya. Tentu Arshi pasti lebih paham mengenai hubungan kedua insan lawan jenis yang belum sah. Memegang testpack, tungkai itu mengelilingi setiap sudut kamar untuk mencari barang bukti lain yang bisa membawa dia pada kebenaran. Nihil. Semuanya seakan telah disembunyikan dengan seapik mungkin. Keringat yang bercucuran menjadi akhir sebelum Arisha lebih memilih menyerah dan turun ke bawah. ••• Beberapa hari dia menetap di Kota Tahu, pada akhirnya membawa Arisha kembali ke sekolah. Hanya, bangunannya berbeda. Lastri mendaftarkan dirinya ke sekolah favorit pertama di sini yang letaknya lumayan memakan waktu dari rumah. Kurang lebih setengah jam. Menjadikan Arisha harus lebih gesit lagi. Bisa, yuk, bisaa. Gadis dengan rok span putih panjang dan seragam panjang pula itu menarik napas lebih dulu sebelum akhirnya memasuki lobi. Dia sedikit kebingungan mencari kelasnya. Kaki terbalut sepatu full hitam itu menuruni dua undakan anak tangga. Matanya menoleh ke setiap sisi. Kali saja ada seseorang yang baik hati untuk mengantarnya menuju kelas XI IPA 1. "Kak!" Seorang lelaki dengan pakaian sama sepertinya melintas, menjatuhkan kertas selembar seperti laporan raport dengan bentuk tabel. Lelaki jangkung itu tak mendengarkan ucapan Arisha sama sekali, mengharuskan dia berlari kecil untuk menyamai langkah. "Kak!" Sekali lagi, Arisha memanggilnya. Hingga menarik kerah Arian sampai tertarik ke belakang. Tidak sopan sebenarnya, karena mereka pun belum saling kenal. Namun, ya siapa suruh lelaki itu tidak menoleh sama sekali. "Sorry, kertas kamu jatuh," katanya sembari menyodorkan kertas selembar tersebut, sudut kertas tersebut ada pencapit yang hampir terjatuh. "Oh, makasih." Arian mengambilnya terburu-buru, kemudian pergi menuruni tangga kembali. Bentuk sekolahnya bagaimana coba? Ya Allah. Kenapa dia tidak tanya sekalian di mana letak kelasnya!? Arisha berdecak. "Kenapa nggak kepikiran, sih?" Dia kembali berbalik. Menggunakan insting untuk mencarinya sendiri. Dia anak yang mandiri, kok. "Kayaknya gue kepagian deh," lirihnya saat tidak mendapati satu orang pun di sekitarannya. Bisa jadi kalau yang tadi pun adalah hantu. Gadis itu kembali mengambil napas. Melirik setiap identitas kelas yang menggantung. Dia nyasar sepertinya. Ini hanya deretan kelas XII IPS saja. Sudah tahu nyasar, tetapi dia malah lanjut jalan. "Woy!" Dia kena karma. Tadi, Arisha menarik kerah orang yang belum dia kenal. Kali ini, ujung tasnya yang ditarik. Membuat Arisha harus berhenti sejenak karena tidak mau tali tasnya harus putus di hari pertama dia masuk sekolah. Arisha melirik orang di sebelahnya. Dari sepatu, hingga akhirnya melihat muka tembem yang tengah tersenyum padanya. Kalau tahu dia sekolah di sini, sudah dia teror tadi pagi untuk berangkat bareng. "Ih, Bambang. Tahu gini, jemput gue kek," gerutunya hingga mengundang delikan tajam dari lelaki di depannya. Arisha tidak berubah dari dulu. Namanya suka diganti mulu. "Babang, Sayang." "Najis!" Arisha memutar bola mata malas. Untung, lho, dia anaknya tidak suka bawa perasaan. Merasa sudah sering juga diperlakukan Babang seperti ini. "Heh, tak sopan lah kau anak baru. Senior ini, hey. Nggak gue anter ke kelas, bisa nyasar lo ke kesenian." Babang mulai berjalan, seakan menyuruh untuk Arisha mengikutinya. Dia sudah tahu kalau tetangganya dari jaman dulu ini akan satu sekolah bersamanya dari bunda tadi pagi. Sepertinya ibu Arisha cerita pada bunda Babang. Biasalah ibu-ibu, suka saling cerita anaknya. "Senior-senior. Tobat kau, Anak Muda. Nggak pandang baru atau lama, lo tetap satu angkatan sama gue," jawabnya memasukan tangan ke saku rok. Di ambang pintu kelas, Babang memukul ujung kerudungnya hingga letoy. Hih, padahal dia sudah sangat lama menyetrika kerudung supaya rapi. Bahkan, sampai menggosoknya ke pintu biar makin rapi. "BABANG!" "Dalem, Beb." Babang sengaja memiringkan kepalanya. Sedangkan Arisha membenarkan ujung jilbab sampai rapi kembali. "Najis banget gue sama lo." "Astaghfirullah. Nggak boleh kayak gitu, Cantik." Arisha semakin misuh-misuh. Dia lupa, kalau dirinya adalah anak baru yang harus menjaga sikap di hari pertama. Hancur semuanya gara-gara makhluk astral satu ini. "Kursi kosong yang mana?" tanyanya kemudian. Dia takut kalau menduduki kursi orang. "Sama gue aja." Tentu Arisha tidak mau. "No! Nggak boleh. Lo mau gue sleding?" Arisha menatap Babang tajam. Babang terkekeh kaku, mengangkat kedua tangannya. Ampun deh kalau sudah berurusan dengan anak bernama Arisha. "Bangku depan lo kosong, btw. Tapi—" Arisha mengangkat dagu, meminta jawaban lebih. Babang memberikan tatapan misterius. Lalu, membisikan sesuatu. "Kursi itu udah kosong enam bulan, biasanya suka ada penunggu yang duduk di sana, Sha." Dikira dia akan takut gitu? Tinggal baca ayat kursi, hantunya akan kabur, mungkin. Tanpa mendengarkan Babang yang masih berniat menakutinya, dia duduk di meja pertama dekat pintu. Di belakangnya ada tas yang sudah disimpan, tapi tidak orangnya. Sedangkan Babang duduk di meja barisan kedua. "Yang duduk di sana, udah meninggal karena bunuh diri." "Heh! Astaghfirullah. Pengen nyebut terus bawaannya." Dia tidak tahu akan bagaimana nasibnya ke depan saat satu kelas lagi bersama Babang. Iyuh. Beberapa menit kemudian, kelas semakin ramai. Banyak pasang mata yang menatap Arisha. Ada pula yang silih menanyakan pada Babang. Lelaki itu menjadi juru bicara untuknya, memperkenalkan Arisha layaknya orang yang mau cari jodoh. Mulai dari nama lengkap, alamat, tinggi badan, berat badan, meskipun ngasal. "Panggil aja Arisha, sukanya buah naga, makanya kelakuannya kayak naga. Kalian harus hati-hati kalau mau kenalan sama dia!" Itulah penutup dari Babang. Seenaknya menggiring mereka pada opini yang tak benar. "Najis—" "Najis banget gue sama lo!" nyinyir Babang menirukan perkataan Arisha dari tadi. "Em, maaf. Anak baru, ya?" Arisha yang semula ingin melempar Babang dengan topi mendadak urung. Dia beralih menatap perempuan di depannya. "Oh, nggak. Aku bukan anak baru. Udah jadi anak dari enam belas tahun yang lalu, kok." Tolong, maksud Intan bukan itu. Baru pertama kali ketemu, agaknya Intan sudah mulai tertekan. Gadis itu sampai menahan untuk tidak mengumpat. "Maksud gue teh, lo baru masuk sekolah ini?" tanya Intan sekali lagi. "Jangan kesel gitu dong mukanya. Santai." First impression yang membuat Intan mendadak darah tinggi. "Santai, kok. SANTAAAAI BANGET." Arisha mencebik. "Santai dari bunglon." Ah, sudahlah. Baru beberapa menit ngobrol, Intan sudah angkat tangan. Dia memilih untuk duduk di sebelah Arisha. Ya memang ini bangkunya yang sudah dibooking di grup kelas. Jadi, mereka tidak perlu datang pagi-pagi untuk memperebutkan meja. Sebelum guru datang, beberapa kali kedua gadis itu melemparkan tanya. Hingga Intan tahu kalau Arisha pindahan dari Jakarta. "Lo mau ikut ekskul apa?" Sebenarnya, dia sudah punya niat lumayan banyak. Namun, hanya niat. "Kamu ikut apa aja?" Barangkali dia bisa nebeng. "English Club, Karya Ilmiah Remaja, dan Pramuka." "Gue ikut aja." Dan gara-gara itulah, kali ini Arisha berdiri di kelas XII IPA 3. Kelas yang tadi dia lewati, untuk meminta formulir pendaftaran. Dia benar-benar mengikuti Intan. Daripada harus kebingungan sendiri nantinya, mendung ikut dulu dengan orang yang baru dia kenal. Toh, semua ekskul yang Intan ikuti pun, pernah dia ikuti di sekolahnya dulu. Mengingat sekolahnya yang dulu, Arisha menghela napas. Dia gagal dong jadi ketua OSIS, karena harus pindah ke sini. Tidak apa-apa lah, demi ibunya. Supaya bisa mengisi formulir dengan tenang, Intan mengajaknya ke taman depan manding. Baru saja dia turun tangga, mau loncat langsung ke rumput, dua orang laki-laki yang tengah berlarian tak sengaja mendorong Arisha sampai terjatuh tak berencana. Gadis itu mendengus, menggulung bajunya, masih duduk di rumput. "WOY LAH, SINI LO. PAKE MATA KALAU LARI!" teriaknya kesal. Dua lelaki tadi langsung berhenti, membalikan badannya. Salah satu dari mereka maju. "Lo emang mau loncat, kan? Setidaknya, gue udah bantu lo mendarat dengan sempurna." "Heuh, lihat nih pake mata. Mendarat sempurna dari apaan. Ngajak gelut, lo?" Intan menggelengkan kepalanya. Baru saja satu hari sekolah, nyali Arisha langsung gede. Padahal dia tidak tahu kalau orang tengah dia teriaki tuh siapa. "Udah lah, Wan. Anak baru." Intan memberikan interupsi. "Pantes. Malu-maluin!" kata Hadwan tersenyum mengejek sambil menaikan kedua alisnya sekali. Apa katanya tadi? "MINTA DIGULUNG, YA, LO, WAWAN."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD