EMPAT

1228 Words
 Golden Hospital, New York. Suara langkah kaki yang saling bertumpang tindih terdengar di telinga Zach ketika tubuhnya memasuki koridor rumah sakit. Dengan kemeja hitam berbalut jaket berbulu tebal dan topi baseball bertuliskan NYPD di bagian depannya, Zach masuk ke area ruang autopsi. Tempat dimana jasad Alisa dibedah, diperiksa untuk dipastikan penyebab kematiannya. Mereka bilang autopsi adalah sebuah prosedur untuk mencari tahu sebab, cara, kapan dan bagaimana orang meninggal. Namun bagi Zach, autopsi hanyalah awal pekerjaan untuknya. Karena setelah proses autopsi pada korban yang ditangani oleh Zach selesai, tim forensik biasanya akan memberikan hasil dan dugaan kematian pada tim penyelidik seperti Zach untuk kemudian menemukan pelaku yang bertanggung jawab demi tuntunan keadilan dan peraturan hukum yang berlaku di negaranya. Zach masuk ke dalam sebuah ruangan setelah mengetuk pintunya sebanyak tiga kali. Ia kemudian berjalan masuk, menghampiri seorang dokter yang sibuk menuliskan sesuatu pada papan kecil di tangan kirinya. Di atas papan itu, terlihat beberapa lembar kertas dengan tabel-tabel yang dipenuhi angka dan data yang diisi oleh sang dokter. "Sudah selesai?" Dokter dengan papan nama bertuliskan Paul Molins di d**a sebelah kanannya itu mendongak, menatap sang detektif antusias. Ia kemudian mengangguk dan memberikan papan berisi catatan miliknya kepada seorang wanita berpakaian putih di sebelahnya. "Ya. Kematian murni karena kehabisan darah. Organ vital tidak berfungsi karena banyaknya darah yang keluar." Zach melihat kain putih yang menutupi seluruh bagian tubuh Alisa di hadapannya. Hanya rambut pirang milik gadis itu yang menyembul keluar, sementara seluruh bagian tubuhnya sama sekali tidak terlihat. Ia kemudian mengangguk paham dan kembali beralih pada Paul. "Bagaimana dengan lukanya?" "Melihat dari sobekan dan dalamnya sayatan, kemungkinan alat yang digunakan adalah pisau berukuran 12 senti. Biasanya pisau ini digunakan untuk mengupas kulit buah, sayur dan berguna juga untuk menyayat udang." Pria bertubuh kurus dengan kumis tipis di atas bibirnya yang tipis itu lantas menganggukkan kepalanya. "Atau dengan kata lain, gadis ini menyayat tangannya dengan pisau yang biasa kita temukan di dapur. Cukup mudah mendapatkannya." Zach mengangguk lagi. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya yang tebal dan mengamati tubuh yang berbalut oleh kain putih di depannya dengan gamang. "Ya, kau benar. Kami menemukan pisau dapur berukuran kecil di dekat mayatnya," katanya menimpali. "Apakah ada luka lain yang menandakan bahwa gadis ini mungkin mengalami kekerasan sebelumnya?" Paul mengerjapkan matanya dua kali sebelum menyilang kedua tangannya di d**a. Wajahnya berubah menjadi sedikit sedih ketika Zach menatapnya. "Ada beberapa bekas luka di tangan dan kakinya. Tapi setelah kuperiksa, sepertinya itu adalah luka yang didapatnya beberapa bulan sebelumnya. Aku bisa meyakinkanmu bahwa bekas luka itu tidak ada hubungannya dengan kematian Alisa." "Apakah itu bekas luka akibat benda tumpul?" "Jika maksudmu adalah kemungkinan bahwa Alisa dipukuli oleh seseorang, maka jawabanku adalah tidak. Bekas luka ini tampak seperti goresan ketika kau jatuh dan kakimu mendarat di aspal atau bebatuan tajam." Paul mengangkat kedua bahunya dan mengalihkan pandangannya pada jasad Alisa yang kini terbujur kaku di atas meja autopsi. "Alisa mungkin jatuh dengan keras sampai bekas lukanya sulit hilang sampai sekarang." Gumaman terdengar dari Zach. Ia lantas mengernyitkan keningnya dan berasumsi. "Bagaimana dengan perundungan?" Paul menoleh, balas menatap Zach yang kini tampak penasaran. Sebelum akhirnya pria berusia lima puluh tahun itu menganggukkan kepalanya, memberi tanda persetujuan pada pertanyaan yang justru terdengar seperti sebuah pernyataan dari Zach. "Aku tidak bisa menyangkalnya, perisakan itu bisa saja terjadi dan menimpa Alisa. Mentalnya mungkin tertekan karena adanya aksi perundungan dari teman-teman atau lingkungannya, itu bisa menjadi alasan kuat kenapa gadis cantik ini memilih untuk mengakhiri hidupnya." Zach terdiam. Mencoba mengingat kembali kesaksian Lily dan Andrew yang notabenenya memang orang terdekat Alisa di asrama. Dari awal, Zach sudah curiga bahwa ada sesuatu yang janggal dalam kematian Alisa Harrison. Namun semuanya masih tampak samar bagi Zach, belum ada titik terang untuk memperkuat kecurigaannya. "Omong-omong, orang tua Alisa menunggumu di ruanganku, Zach. Aku berkata kau akan datang untuk mereka, jadi aku meminta mereka menunggu di sana," sambung Paul. Pria berusia 27 tahun itu lantas terbangun dari lamunannya dan segera menganggukkan kepala. "Aku akan menemui mereka dahulu kalau begitu." Lalu tubuhnya yang tinggi dan atletis berlalu keluar dari ruang autopsi untuk menemui kedua orang tua kandung Alisa di ruangan Dokter Paul. Paul dan Zach sudah cukup dekat. Hubungan mereka bahkan bisa dibilang lebih dari sekadar rekan kerja. Paul dan Zach sering pergi keluar dan minum kopi bersama di sela-sela jam makan siang mereka untuk membicarakan hobi. Mereka sudah seperti teman dekat, jadi wajar jika Zach langsung tahu dimana ruang pribadi Paul tanpa perlu menanyainya lagi. Ketika pintu dibuka, Zach mendapati seorang pria dan wanita dewasa duduk di balik meja Paul. Mereka tidak saling bercengkrama seperti orang tua pada umumnya. Zach lantas berdeham pelan sehingga kedua orang itu langsung menoleh padanya. "Selamat siang," sapa Zach sopan. Ia kemudian menjabat tangan pria dan wanita itu bergantian, lalu duduk di kursi yang biasa digunakan oleh Paul, tepat berada di hadapan kedua orang tua Alisa. "Maaf sudah membuat kalian menunggu lama." "Aku William dan ini Emily, istriku," ujar William memberi tahu. Namun wanita yang menggulung rambutnya ke belakang itu buru-buru mengoreksi. "Mantan istrinya." Sehingga William menoleh tak suka pada Emily. Memandangnya dengan ekspresi-apakah-wanita-itu-sungguh-harus-membahasnya-dalam-situasi-ini. "Kami ... sudah tidak lagi bersama." dan helaan napas jengah, akhirnya terdengar dari William. "Bagaimana dengan hasil autopsinya?" tanya William, berusaha mengalihkan pembicaraan. "Mereka bilang bahwa Alisa meninggal karena kehabisan darah," terang Zach dengan suara yang tenang. Ia meminimalisir ekspresi pada wajahnya agar tidak menimbulkan spekulasi di depan William maupun Emily. "Ada beberapa bekas luka, tapi tampaknya itu terjadi beberapa bulan ke belakang." Emily lantas memotong, "Tapi putriku tidak pernah memiliki bekas luka." "Apa yang terjadi, Detektif?" timpal William tak kalah penasaran. Dan Zach melihat William, lalu ke Emily bergantian sebelum kembali melanjutkan kata-katanya. "Kami menduga adanya tindak perundungan yang menimpa Alisa, tapi kami tidak memiliki bukti yang cukup untuk menguatkan pernyataan kami. Bekas luka ini bisa saja didapat Alisa ketika ia terjatuh di aspal atau semacamnya." Meski ragu, tangan Emily menggapai punggung tangan William dan wajahnya berubah sedih. Mata wanita itu berkaca-kaca, ada sesak yang tertahan di dadanya ketika ia berkata, "Alisa tidak pernah terjatuh, William." dan tangisnya pecah seketika. Dalam situasi ini, William dan Emily seolah melupakan masalah rumah tangga yang baru saja menimpa mereka. William merengkuh lembut tubuh Emily dan wanita itu menangis di dalam pelukan pria yang pernah menjadi suaminya. "Kita akan mencari tahu semuanya. Jangan menangis, Emily," tuturnya menenangkan. Dan setelah tangis itu mereda, William merenggangkan jarak di antara mereka agar tangan pria itu dapat menyeka kedua pipi Emily yang basah. Ia lantas tersenyum kecil dan menatap intens wanita di hadapannya. "Jika Alisa memang mendapatkan hidup yang tidak adil, kita akan mencari tahu kebenarannya." Ia lalu beralih pada Zach yang masih memandangi adegan menyedihkan antara sepasang mantan suami istri di depannya dengan prihatin. "Detektif, aku memintamu untuk mengusut dengan tuntas kematian putriku. Jika dia memang dibunuh, pastikan kau menemukan pelakunya dan bawa orang itu ke hadapanku." "Tapi, Tuan Harrison--" "Aku akan membayarmu lima kali lipat, jika kau bisa menangkap pelakunya dan merahasiakan ini dari media." William menatap Zach dengan serius. "Apakah kau bersedia melakukannya untukku dan Emily, Detektif?" *** Halo semuanya... aku muncul lagi ehehehe aku cuma mau kasih tahu buat kalian yang mungkin masih bingung, jadi di cerita ini, aku akan menggunakan alur maju dan mundur. akan ada adegan flashback juga jadi kuharap kalian bisa memahami situasinya karena aku sengaja ga menuliskan tanggal atau harinya hahaha Oke deh kalau begitu, selamat membaca ya. Terima kasih. Salam, penulisnya hehe

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD