TIGA

1170 Words
 Star High School, New York. "Mereka membunuhku, Isa!" Gadis dengan gaun berwarna putih gading itu mendekat, menatap netra biru milik Isabella dengan pandangan marah. Matanya memerah dan tampak sinis. Ada desakan tertahan pada sorot matanya yang hijau. "Mereka membunuhku!" Isabella tercenung. Napasnya seolah tercekat di tengah-tengah tenggorokannya ketika melihat Alisa memandanginya dengan penuh harap. Ia tidak bisa membuka suara, mengatakan bahwa Isabella dan Alisa kini telah berada di alam yang berbeda. Namun tubuhnya bergerak mundur dan menghindar saat Alisa mengarahkan kedua tangan kepadanya, hendak mencekiknya. "Tidak, Alisa. Jangan lakukan ini." Tubuh Isabella jatuh dan berguling ke lantai karena kakinya tersandung sesuatu. Dahi gadis itu menabrak keramik hingga menyebabkan kepalanya berdenyut nyeri, telinganya berdengung, menimbulkan perasaan yang tak nyaman seketika. Perlahan, Isabella membuka matanya dan netra birunya yang terang berpendar liar ke sekeliling. Namun sosok Alisa tidak ada dimana-mana. Isabella lantas menyadari bahwa tubuhnya baru saja jatuh dari kasur dengan selimut masih menutupi sebagian tubuhnya. "Aku bermimpi?" tanyanya pada diri sendiri. Peluh telah jatuh membasahi keningnya yang sedikit lebar dan bibirnya tampak pucat seperti mayat hidup. Mimpi tentang Alisa terasa begitu nyata di matanya. Ia ingin percaya bahwa kemunculan Alisa bukanlah efek halusinasi, tapi gadis itu langsung teringat tentang obat tidur yang diminumnya ketika ia baru saja tiba di kamarnya. Semua yang dilihatnya, termasuk yang dikatakan Alisa kepadanya, tidak benar-benar ada. Isa kemudian menghela napas berat dan memijit pelipisnya yang terasa perih, tangannya meraba goresan di sana. "Baru hari pertama sudah sial. Bagaimana aku bisa bertahan di sini? Benar-benar menyebalkan!" gerutunya. Gadis berambut panjang itu hendak bangkit, berdiri dari dinginnya lantai yang sejak tadi menjadi pijakannya duduk. Namun, sesuatu menarik perhatiannya. Isabella menemukan sebuah kotak merah muda berukuran sedang dengan pita besar berwarna putih yang mencolok di kolong ranjangnya. Ia yakin bahwa kotak itu bukanlah miliknya karena Isabella tidak menyukai pita ataupun warna merah muda. "Kotak apa itu? Bukankah Alisa hanya tidur sendirian di kamar ini dan belum ada satupun siswa yang mau menempatinya sejak dia meninggal?" Isabella menoleh, melihat kolong ranjang satunya. Ranjang bertuliskan nama Alisa pada bagian kayunya. "Kalau ini milik Alisa, kenapa ada ... di sini?" Rasa penasaran berkecamuk di dadanya. Dan tanpa menunggu lama, Isabella memberanikan diri untuk menarik kotak tersebut keluar dari kolong kasur. Ia memerhatikan bagian luar kotak, tidak ada yang aneh, hanya kotak biasa berbahan kardus tebal dan pita putih besar menempel di atasnya. Isabella tidak bisa menemukan sesuatu yang mengarah pada sang pemilik kota, meski gadis itu memutar benda itu beberapa kali. Membuatnya semakin percaya diri untuk memeriksa, karena tak ada satu orang pun yang akan marah padanya hanya karena gadis itu membuka sesuatu tanpa izin sang pemilik. Isabella lalu menarik napas pendek dan membuka penutup kotak dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu. Matanya membulat tak percaya ketika gadis itu menemukan sebuah jurnal kecil berwarna merah muda di dalam kotak. Warnanya sedikit lebih muda jika dibandingkan dengan warna yang melapisi bagian luar kotak. Namun bukan soal warna yang menjadi poin pentingnya, melainkan sebuah nama yang tertera di bagian depan jurnal. "Buku ini milik Alisa Harrison." Isabella membaca lamat-lamat tulisan itu. Kedua alisnya sontak bertaut dalam. "Milik Alisa? Tapi, apa mungkin?" Suara ketukan dari luar membuat Isabella panik. Ia buru-buru menutup kotak merah muda itu dan kembali mendorongnya ke dalam kolong ranjangnya. Dan dengan segera, gadis itu berlari kecil menuju pintu untuk kemudian membukanya. Sosok anak laki-laki dengan seragam yang sama dengannya berdiri di sana. Rambut dan pakaiannya sedikit urakan, tampak seperti murid yang tidak disiplin. Ia bahkan membiarkan seluruh kancing seragamnya terbuka dan memakai kaus hitam yang tidak sesuai dengan peraturan asrama. Laki-laki itu mengangkat tangan kanannya di udara, melambai canggung dan mengangkat satu alisnya penasaran ketika Isabella menatapnya datar. "Hey, apa kau baik-baik saja di dalam?" "Ya." "Aku mendengar suara teriakan tadi," kata laki-laki itu kikuk. "Aku tidak berteriak." Isabella yang tidak sedikitpun memunculkan ekspresi pada parasnya yang cantik dan menimpali pertanyaan anak laki-laki itu dengan singkat, membuat sosok bernama Bryan Hanks itu merasa aneh. Pasalnya, Bryan adalah sosok idola di asrama. Dia tampan, kaya dan memiliki segalanya. Semua orang yang mengenalnya, akan mendekatinya seperti magnet. Namun kebanyakan dari mereka, tidak benar-benar ingin berteman, melainkan hanya berniat mencari keuntungan dari Bryan. Terutama kaum hawa, mereka akan menghampiri Bryan untuk bisa menggali sebanyak-banyaknya harta dari putra bungsu pemilik asrama Star High School itu. "Aku yakin kau berteriak," ulang Bryan, mencari pembenaran. "Tidak." "Tapi aku mendengar sesuatu terjatuh, seperti benda keras yang berat, mungkin?" Isabella mengembuskan napas jengah dan menatap lurus-lurus ke arah Bryan. Ia lantas menyilang kedua tangannya di d**a dan menggeleng. "Tidak ada sesuatu yang terjadi di dalam. Benda keras dan berat yang kau duga jatuh itu adalah aku. Aku baru saja jatuh dari kasur dan aku sama sekali tidak berteriak," katanya cepat. Ia bahkan tak memberikan sedikit jeda saat mengatakannya. Bryan tampak mendengus geli dan mengatup bibirnya yang gelap. Gadis ini menarik. "Jika tidak ada urusan lagi, aku akan menutup pintunya sekarang," lanjut Isabella dengan nada ketus, berbeda sekali dengan seluruh gadis di asrama yang ditemui Bryan. Isabella sama sekali tidak tertarik dengan anak dari pemilik asrama itu. "Sampai jumpa." Tangan kokoh Bryan dengan cepat menahan daun pintu di hadapannya. Tidak peduli dengan eskpresi Isabella yang semakin dingin seperti udara di kutub utara. Gadis itu tampak kaget dengan sikap Bryan, tapi lagi-lagi Isabella berhasil mengontrol dirinya sendiri. "Ada apa?" Bryan diam, tetapi kakinya melangkah maju. Perlahan dan penuh kewaspadaan. Ia berhenti tepat di depan Isabella yang masih menatapnya dengan datar. Jarak mereka kini hanya beberapa senti saja, tapi Isabella sama sekali tidak goyah. Bahkan ketika Bryan mengangkat satu tangannya, menyentuh pelipis Isabella yang sedikit bengkak dan merabanya pelan, Isabella sama sekali tidak bergeming. "Kau terluka." Namun reaksi yang ditunjukan oleh Isabella membuat Bryan terkesiap. Gadis itu dengan cepat menepis tangan Bryan dari wajahnya dan mendorongnya sampai kedua kaki anak laki-laki itu melewati ambang pintu, "Bukan urusanmu." dan pintu ditutup dengan keras oleh Isabella. Isabella buru-buru mengunci kamarnya dan segera berjongkok untuk mengambil kembali kotak berwarna merah muda yang tadi ditemukannya. Gadis itu mendekap dan meletakkannya di atas ranjang, Isabella lalu duduk di sebelahnya. Ia mengeluarkan jurnal bertuliskan nama sahabatnya dan memberanikan diri untuk membuka halaman pertama sendirian. Untuk Isabella, sahabatku tersayang. Isa, aku tahu kamu pasti terkejut ketika menemukan dan membaca buku milikku. Untuk pertama kalinya aku menulis sesuatu untukmu dan rasanya benar-benar mengagumkan. Ini seperti mengirim surel, tapi sensasinya sungguh berbeda. Aku berharap kau bisa secepatnya menemukan buku ini karena aku ingin memberi tahumu segalanya. Ada banyak rahasia yang tidak bisa kubicarakan secara langsung denganmu dan itu sedikit menggangguku. Ditambah, mungkin kau akan membaca buku ini setelah aku tidak ada. Aku tidak yakin, tapi aku merasa mereka mengikutiku akhir-akhir ini. Perasaanku buruk dan aku merasa tragedi akan segera terjadi. Jadi, aku menuliskan semuanya di buku jurnal ini. Peraturannya adalah, jangan berhenti membacanya walau kau mungkin merasa ragu. Jangan pernah berhenti di tengah jalan atau aku akan sangat marah padamu, Isa. Baiklah, aku akan mulai menceritakan semuanya sekarang. Bagaimana jika kita memulainya dari Chloe Winchester? Primadona sekolah yang selama ini tidak menyukaiku, atau membenciku. Apa kau sudah siap mengetahui kebenarannya, Isabella?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD