Sembuh dan Sehat

2125 Words
Sukanti menghentikan kegiatannya mencuci gelas begitu melihat wanita muda berpakaian lusuh mendekat ke arahnya dengan takut-takut. Stroller bayi yang bentuknya juga sudah compang-camping seperti sang pemilik masih setia menemani dengan beraneka ragam isi, entah apalagi sekarang. Lebih menggunung daripada minggu lalu. Sukanti tahu apa isi yang tertutup terpal bekas berwarna biru. Sudah sekitar 6 bulan ia memberikan makan dan minum pada wanita muda yang ia temukan dikeroyok warga itu. Setelah jarak mereka yang dekat Sukanti kembali tersenyum, walau berpakaian lusuh tetapi tampaknya sudah lebih bersih dari sebelumnya. Kaos merah muda dengan rok berwarna hijau tua yang dipakainya saat ini. Sukanti mengenali bahwa baju itu adalah salah satu pemberian dari sang anak kemarin. Penampilan luarnya memang masih berantakan tetapi kondisi mentalnya sedikit lebih baik dan tentu saja sudah lebih bisa diajak bicara. "Mau makan sekarang?" Wanita berpakaian lusuh yang ternyata adalah Radjini itu mengangguk. Radjini berjongkok dan mengambil sebuah kaleng bekas s**u anak-anak membukanya dan mengulurkan selembar uang sepuluh ribu rupiah kepada Sukanti. "Apa ini?" tanya Sukanti menatap uang itu tanpa menerimanya. "Gaji," jawabnya singkat. "Kamu dapat gaji dari mana?" "Dari jual kardus." "Oh hasil jualan. Ya sudah simpan saja, nanti untuk beli sabun ya." "Sudah beli." "Beli sabun?" Radjini mengangguk. "Di mana?" "Di sana," ujarnya seraya menunjuk kios kelontong tak jauh dari pom bensin. "Mereka tidak mengusirmu?" Radjini menggeleng. "Tadi ada Kakak yang belikan. Ini uang untuk Ibu," ujarnya kembali mengulurkan uang selembar itu. "Buat kamu saja," ujar Sukanti dengan mata berkaca-kaca. Sukanti yang bersikukuh untuk merawat Radjini kini bangga bahwa wanita yang dikata gila oleh orang-orang mulai membaik. Walau setiap malam masih terdengar dengan jelas Radjini menangis seraya mendekap boneka teletabis merah itu dengan bersenandung di teras belakang rumahnya. Ia yakin wanita cantik ini akan kembali sehat. "Ibu belum bawa dia ke RSJ?" tanya pria muda yang tiba-tiba bergabung dengan mereka. "Lihat nih Mas. Dia sudah lebih sehat. Ibu saja dikasih uang nih." Radjini kini menulurkan uang tersebut pada pria yang masih membuatnya takut. Pokoknya Radjini takut dengan laki-laki. Radjini memberikan uangnya supaya pria yang tinggal satu atap dengannya itu tidak marah dan menyuruhnya ke rumah sakit. Radjini tidak mau kembali ke sana. Dokter Laras sudah tidak ada. Dokter itu sudah pindah ikut dengan suaminya. Radjini tidak suka rumah sakit. "Ini Mas. Jangan marah ya, takut." "Siapa yang marah?" tanya Willy bingung. "Mas marah suruh Ini ke rumah sakit," ujarnya terbata-bata. Syukur dirinya sudah bisa mengingat Namanya sendiri karena kemampuan membacanya tetap ada. "Cuma diperiksa supaya kamu bisa minum obat dan cepat sembuh. Kamu mau seperti ini terus?" Radjini menunduk melihat penampilan dirinya sendiri. "Ini baju baru. Ibu beri." "Bukan baju baru itu bekasnya Sarah. Baju bersih." "Kamu tuh cantik. Tapi biar cepat sembuh harus ke Dokter. Nanti mas temani mau?" Radjini cepat-cepat menggeleng begitu kilasan masa lalu di mana tubuhnya terdorong dan kemudian terguling ke jurang kembali hadir. Ia pun memijit kepalanya yang tiba-tiba nyeri. "Nah gini yang mas maksud supaya kepalamu nggak sakit," ujar Willy kini dengan suara yang lebih lembut. "Jangan dipaksa," ujar Marwan yang kini menggapai tangan Radjini dan mengajaknya duduk di bangku bambu. "Tapi Pak, mas sudah hubungi teman yang psikiater." "Bisa dilakukan besok. Dia masih takut sama kamu. Nanti biar Bapak sama Ibu yang antar." Radjini yang sudah mulai percaya dengan Marwan hanya diam tidak lagi mendengarkan argumentasi ayah dan anak tersebut dan memilih untuk berkonsentrasi dengan makanannya. "Makan yang banyak," ujar Sukanti seraya meletakkan segelas teh hangat di samping piring Radjini. Radjini mengangguk dan meneruskan makannya. Baru beberapa suap yang masuk ia pun tersedak saat namanya disebut oleh seseorang. "Radjini ... kamu Radjini 'kan? Ke mana saja? Bang Agha mencarimu." Radjini mendongak setelah tersedaknya teratasi dan mendongak kepada sosok yang bicara itu. Sosok wanita cantik yang tidak ia kenali. "Kamu ... siapa?" DUA PULUH TIGA TAHUN SEBELUMNYA "Mila. Kamu mau punya adik?" tanya Agha. Anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu mendekati Mila yang lebih muda dua tahun darinya itu seraya mengulurkan ice cream. "Mau nggak?" "Mau apa?" tanya gadis kecil kebingungan menjawab yang mana dulu ia pun meletakkan bonekanya. "Mau ice cream?" Radmila melirik ice cream dalam genggaman Agha dengan sorot mata berbinar. "Mau." "Jawab dulu pertanyaan mas." "Yang mana?" tanyanya tanpa melepaskan pandangan dari ice cream cone yang hampir meleleh sampai membuatnya menelan ludah karena aroma ice cream coklat yang menggoda. "Itu, mau adik nggak?" Mendung menggelayut di wajah gadis cilik itu. "Bunda sudah nggak bisa punya adik lagi. Gimana mau punya lagi?" "Itu ada bayi baru digendong Bundamu." "Bayi?" "Iya. Tadi Mama bilang kalau Adiknya Tante Laras mau jadi adikmu." "Hah! Bunda nggak bilang apa-apa." Radmila terkejut karena setahunya diajak ke rumah Eyang karena ada acara arisan keluarga kenapa jadi punya adik baru? "Itu Bundamu lagi ngobrol katanya mau ambil adiknya Tante Laras." Perkataan itu membuat Radmila melupakan ice cream yang ia inginkan. Kecemasan baru muncul. Selama dua tahun sejak sang bunda kehilangan adik kecil yang saat masih di dalam perut saja sudah membuatnya tidak mendapatkan perhatian. Apalagi jika ada bayi lain yang kini di luar perut dan apa tadi kata Mas Agha, Bunda gendong adik bayi. Bisa-bisa ia tidak lagi mendapat perhatian, kasih sayang dan lebih parahnya lagi ia dilupakan seperti sebelumnya. "Loh, kok nangis! Tunggu, Mil," protes Agha mengejar Radmila yang sudah lari menuju ruang keluarga dari taman samping dengan menangis kencang. "Mila nggak mau punya adik!" jeritnya disusul tangis yang lebih kencang. "Kenapa nggak mau?" tanya Agha yang keheranan kini sudah bisa meraih pergelangan tangan kanan Radmila. Radmila meronta dari cekalan Agha. "Nggak mau, nanti Bunda nggak sayang sama Mila." "Nggak mungkin lah. Aku aja punya adik, nyatanya Mama masih sayang." "Beda. Bunda itu beda. Nanti kalau ada adik, Bunda nggak sayang lagi." "Enggak mungkin begitu, Mil. Punya adik itu enak, kamu bisa punya teman di rumah," bujuknya. Radmila bukannya mereda tangisnya tetapi semakin menjadi dan begitu Agha lengah, ia pun bisa melepaskan diri dan lari menuju dalam rumah. Tiga puluh menit sebelumnya. "Bagaimana kabarmu, Nak?" tanya Sundari seraya merengkuh kedua tangan Nimala yang duduk di tepi ranjang kayu berukiran jawa kuno. Sejak calon kelima cucunnya meninggal anak keempatnya ini baru menginjakkan kaki lagi di kediaman Adiningrat. "Sekarang sehat. Saya sudah sembuh, Bu." "Ibu mau minta tolong, demi adikmu, Laras." "Kenapa dengan Laras, Bu?" Seketika wajah Nimala memucat karena yang ia ketahui sang adik sepupu sedang hamil tua, tanpa suami yang entah pergi ke mana. "Dia sudah melahirkan. Tapi ...." "Tapi apa?" desak Nimala. "Bayinya tidak ada yang mengurus." Nimala tahu seharusnya ia sedih mendengar hal itu, tetapi saat ini yang dirasakannya adalah kebahagiaan. Ini adalah momentum yang pas agar ia bisa kembali mendengar tangis bayi di rumahnya. "Bu. Boleh tidak kalau bayi itu untuk saya?" "Kamu tidak mau dengar dulu alasannya kenapa bayi itu ditinggalkan?" "Alasannya tidak penting, yang penting saya punya anak lagi." Pintu kamar terbuka dan Lastri ibu dari Laras bergabung bersama dengan mereka. "Maaf kalau buliksempat menguping. Kamu benar-benar mau mengurus anaknya Laras? Bulik nggak enak nanti kalau jadi masalah." "Masalah apa, Bulik?" tanya Nimala yang mulai merasakan firasat tidak enak dari perkataan sang bibi. Jangan-jangan sang bibi masih berpikir jika dirinya belum sehat. Sementara Nimala benar-benar merasa sudah normal sangat siap menjadi seorang ibu kembali. Bahkan hari ini saja anaknya Radmila yang sudah berusia delapan tahun saja ia yang mengurusi. "Masalah dengan suamimu," ujar Lastri. "Urusan Mas Bayu gampang itu. Dia pasti setuju, Mas 'kan sayang banget sama saya, Bulik. Saya pikir Bulik akan berpikir karena aku baru saja sembuh." "Sebetulnya ..." ujar Lastri sungkan tidak melanjutkan ucapannya seraya saling melempar pandangan dengan Sundari. "Bulik ragu?" tanya Nimala dengan nada mulai meninggi. Lastri buru-buru mengelus lengan kanan atas Nimala menenangkan. Ia cemas jika sang keponaan tiba-tiba mengamuk. Orang gila 'kan umumnya begitu, emosinya bisa naik turun tak terkendali dengan sedikit saja pemicu. Terlebih permasalahan sang keponakan bisa menjadi gila karena berurusan dengan keberadaan bayi. Lastri sejujurnya tidak setuju dengan usulan Karto tapi protesnya tidak didengar dengan alasan nama baik keluarga. Padahal jelas Lastri masih sangat mampu mengurus cucunya itu. Apalagi dengan penghasilan dan kedudukan Karto Adiningrat di rumah sakit Harapan Kasih. Semua karena Laras, andai putri sulungnya itu tidak berhubungan dengan b******n itu, semua ini tidak akan pernah terjadi. Putrinya yang cerdas dan bertanggung jawab sudah kabur entah ke mana. Setelah laporan orang hilang selama satu minggu ini belum ada kabar dari pihak kepolisian. "Tidak bukan begitu," balas Lastri cepat. "Kenapa Bulik?" "Jujur bulik merasa terlalu cepat. Si Bayi masih umur 1 Minggu dan bulik masih berharap Laras akan segera kembali. Benar-benar bulik berharap hal itu akan terjadi," ujarnya dengan wajah yang kini sedikit pucat. Lastri masih benar-benar berharap ini semua hanya mimpi buruk. Sementara bagi Nimala kejadian ini merupakan kabar paling membahagiakan. Bolehlah ia sedikit egois kali ini merasa bahagia dengan kemalangan yang menimpa keluarga sang bibi. Inilah kesempatannya bisa merasakan mendekap seorang bayi lagi. Tadi, saat datang ia sudah melihat rupa bayi cantik yang sedang menyusu dari botol dalam gendongan Mbok Sar. "Ada saya, Bulik. Saya janji akan menjaganya dengan baik dan kalau Laras kembali, tentu saya akan dengan senang hati mempertemukan mereka." "Benarkah?" "Bulik bisa pegang omongan saya." "Percayalah pada Nimala, Dek Lastri," ujar Sundari turut menyakinkan. * Bayu Prawiro berdiri bersandarkan pada pilar kayu di pendopo rumah mertuanya seraya menatap sang istri yang sedang menggendong seorang bayi. Wajah anak itu tidak seperti anak melayu, lebih banyak campuran seperti Asia Tengah atau Timur. Ia pun menyunggingkan seulas senyum begitu keberadaannya diketahui sang istri yang kini membalas senyumnya. Bayu tentu sangat bahagia. Baru dua bulan ini sang istri dinyatakan sehat setelah keluar dari Panti Rehabilitasi Seger Waras karena kehilangan janin calon anak kedua mereka apalagi yang membuat sang istri lebih terpuruk, rahimnya harus diangkat bersamaan dengan janin mereka. Depresi karena hal itu membuatnya harus berada di panti tersebut selama dua tahun ini. Selama rentang waktu tersebut, Nimala larut dalam dunia ciptaannya sendiri, seperti patung dan tidak pernah berbicara jika bukan dirinya yang mengajak ngobrol. Kadang bisa mengamuk dan bisa membahayakan dirinya sendiri. Sekali mencoba mengakhiri hidup sudah lebih dari cukup untuk Bayu memutuskan bahwa istrinya sangat membutuhkan pertolongan walau berat berpisah ranjang dalam rentang waktu itu. Putri sulung yang kala itu masih berusia enam tahun pun tidak bisa menyembuhkan luka batinnya padahal dahulu mereka agak lama bisa memiliki sang buah hati. Memang benar kehadiran setiap anak pasti berbeda dan kemalangan kehamilan keduanya itu sangat mengguncang. "Sini Mas, lihat dedeknya cantik banget." Bayu menjauhi pilar dan bergabung dengan Nimala yang duduk pada bangku besi bercat putih di taman penuh mawar peliharaan sang ibu mertua. "Iya cantik. Seperti gadis India ya," ujarnya. "Gadis Turki," ralat Nimala dengan ceria. Bayu menatap wajah istrinya yang ceria itu dengan tersenyum tanpa membalas lagi ucapannya, sayang senyum itu tak lama bertahan sebelum kembali murung. "Ada apa?" tanyanya seraya mengusap bahu Nimala. "Sayang. Orang tuanya kabur. Mas...." "Ya?" tanya Bayu lembut begitu melihat gurat wajah istri tercintanya ragu meneruskan perkataan. "Boleh kita saja yang mengasuh?" "Kamu sanggup?" Itu pertanyaan pertama yang diajukannya mengingat sang istri baru saja sembuh. Ia pun sebetulnya ragu jika nanti keluarga besarnnya akan merestui. "Sanggup Mas. Aku 'kan sudah sembuh. Mas lupa kata Dokter Enggar waktu ini? Apalagi aku sudah nggak bisa hamil lagi. Mending anak ini jadi anak kita." Kemudian Nimala menambahkan setelah mengedarkan pandangan memastikan tidak ada orang lain lagi selain mereka berdua. "Jika diantara kami tidak ada yang mau mengasuh dia akan ditaruh di panti asuhan." "Baiklah mari kita bicarakan." * "Bagaimana dengan keluargamu, Bayu? Apa tidak sebaiknya kamu bicarakan dulu?" Pardi ayah mertua Bayu bertanya, setelah Nimala dan Bayu mengungkapkan keinginan mereka untuk mengadopsi bayi mungil itu. "Saya sudah memiliki keluarga, Yah. Apapun keputusan dalam keluarga saya, terutama keluarga besar saya sudah tidak berhak mengintervensi. Terlebih ini semua demi kebahagiaan istri saya," jelas Bayu seraya merangkul Nimala yang menimang bayi dalam pelukan tersenyum penuh kebahagiaan. Apapun akan Bayu lakukan demi sang istri walau ia tahu pasti jika keluarga besarnya sangat menentang. Waktu tahu sang istri kehilangan kewarasan saja, dirinya sudah dipaksa untuk menceraikan Nimala dan akan dijodohkan dengan wanita lain. Apalagi ini anak angkat. "Kalau begitu rawatlah anak ini sebaik mungkin. Perlakukan dia seperti anak kandung kalian sendiri." "Tidak! Aku nggak mau punya adik! Mala nggak mau punya adik. Nanti Bunda nggak sayang sama Mala, Bunda bisa lupa sama Mala!" jerit protes gadis kecil itu seraya berhambur hampir menubruk sang bunda jika tidak dihalau oleh Bayu yang lebih dulu menangkap tubuh kecilnya. "Bunda ...!" jerit Radmala dengan sebelah tangannya berusaha meraih sang bunda yang duduk beringkut menjauh supaya Radmala tidak menyakiti yang mulai terganggu dengan suara tangis saudaranya. "Bunda akan tetap sayang dengan Mala. Cinta Bunda tidak akan berbeda. Kalian berdua akan menjadi kesayangan, Bunda." Begitulah janji Nimala. Namun lagi-lagi hanya semesta yang tahu bagaimana isi hati dan kepala seorang anak manusia bisa sangat berubah saat apa yang didambakan tidak sesuai dengan yang dibayangkan. *Bulik adalah sebutan untuk adik dari ayah atau ibu. tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD