Tahan Emosi

1356 Words
Renata menghela napas ketika melihat ponselnya berdering tanda panggilan masuk dari ibunya. Renata sudah menduga hal ini sebelumnya, karena dia mengabaikan pesan dan juga telepon dari adik pertamanya. Hari gajian masih empat hari lagi namun, adiknya sudah terus menghubunginya untuk meminta uang. Dari pada sakit hati, Renata memilih mengabaikan mereka. Dia saat ini sedang bersiap menuju tempat kerjanya. Setelah memoleskan lipstik tipis di bibirnya dia lalu keluar dari rumah. "Mau berangkat kerja, Ree?" Renata menoleh pada tetangganya yang sedang duduk santai di depan rumah. Renata cukup akrab dengan pria itu, mereka sering bertegur sapa. "Iya, Mas," jawabnya sopan. Kontrakan Renata berada di lantai tiga, pintu nomor tiga puluh tiga gedung A. Kontrakan milik Gabe memang didesain seperti rumah susun. Terbagi menjadi dua bagian. Gedung A dan gedung B. Masing-masing lima puluh pintu dengan lima tingkat. Pemiliknya bernama lengkap Gabe Maruli Silalahi, pria berusia tiga puluh tahun itu memang dikenal memiliki banyak properti yang dia sewakan. Selain rumah kontrakan, pria itu juga menyewakan beberapa apartemen miliknya. Dia terkenal sangat tegas pada setiap penyewa properti miliknya. Gabe tidak suka kalau ada orang membayar uang sewa menunggak. Dia biasanya meminta mereka mencari kontrakan lain kalau sudah menunggak lebih dari satu bulan. "Pagi, Bang Gabe," sapa Renata pada Gabe yang terlihat berkeringat pagi itu. Gabe menoleh sekilas lalu mengangguk membalas sapaan Renata. "Baru selesai olahraga, Bang?" tanya Renata basa basi. Gabe menatap tidak suka, tidak suka pada basa basi yang dilontarkan perempuan itu. "Apa kamu tidak punya mata?" Gabe bertanya sinis. Sudah jadi kebiasaannya berolahraga pagi dengan mengitari komplek kontrakannya. Rumah Gabe berada tidak jauh dari gedung kontrakan miliknya. "Punya, Bang." Renata menjawab polos. Gabe mendengus kemudian meninggalkan Renata kembali ke rumahnya. Sesekali dia masih masih melihat Renata yang berjalan menuju tempat kerjanya. Lokasi kontrakan yang dia bangun memang sangat dengan dengan pusat perbelanjaan tempat wanita itu bekerja. Gabe tidak pernah salah memilih lokasi yang ingin dia jadikan usaha. Gabe lebih memilih usaha properti daripada meneruskan usaha keluarnya karena dia tidak ingin tergantung pada keluarganya. Lagi pula dia masih memiliki adik perempuan yang sepertinya sangat tertarik dengan usaha keluarga mereka. Lagi pula kedua orang tua mereka tidak mempermasalahkan hal itu. Gabe bebas mengembangkan usahanya selama itu tidak melanggar hukum. *** Hari gajian tiba namun, wajah Renata tidak secerah wajah teman-teman kerjanya. Diantara semua rekan kerjanya dia memiliki gaji paling tinggi, hal itu terjadi karena penjualannya melebih target. Setiap bulan dia selalu berusaha keras agar setiap orang yang mengunjungi toko tidak keluar dengan tangan kosong. Renata sangat pandai berbicara dan mempromosikan barang yang mereka jual. Beberapa kali dia bahkan dinobatkan sebagai pegawai terbaik. Hanya saja penghasilannya yang terbilang tinggi tidak pernah cukup untuk keluarganya. Seperti saat ini. Dia baru saja tiba di rumah setelah pulang dari toko pakaian tempatnya bekerja. Sore ini dia tidak berangkat ke restoran karena hari ini adalah jatah liburnya. Dia sedang mendengarkan adiknya berbicara. "Uang kuliah sama biaya bulanan kamu sudah aku kirimkan," kata Renata. Dia terlalu bosan mendengarkan adik pertamanya yang terus mengoceh tidak jelas padahal tujuannya hanya satu yaitu, uang. "Kakak udah gajian? Bentar aku cek m-banking dulu." Renata tersenyum miris. Setiap anggota keluarganya menghubunginya, tidak sekali pun mereka menanyakan tentang kabarnya. Hanya uang selalu mereka bahas. Renata pernah sekali menghubungi ibunya lalu mengadu kalau dia sakit. Jawaban yang dia dapatkan saat itu cukup mengejutkannya. 'kalau sakitnya tidak parah, kamu masuk kerja aja, sayang kalau gaji kamu sampai dipotong karena kamu absen.' Ketika mendengar ucapan ibunya saat itu, diam-diam Renata menangis. Saat itu dia benar-benar sakit dua minggu setelah dia memutuskan mengambil dua pekerjaan. Bukan hal yang mudah bekerja di dua tempat. Saat itu kondisi fisiknya sangat lemah jadi, dia tidak bekerja selama dua hari. Dan sejak saat itu dia tidak pernah menghubungi orang tuanya lagi kalau dia sedang sakit. "Kakak cuma kasih segini?" Renata memejamkan matanya. "Aku ngasih kamu empat juta bulan ini, Ryan. Apa masih kurang?" "Kurang, dong, Kak." Ryan meninggikan suaranya pada Renata. "Uang semester kamu, kan dua juta. Sisanya buat uang makan dan sama uang kos." Renata ikut meninggikan suaranya. Dia paling kesal kalau berbicara dengan adik pertamanya. "Sekarang aku lagi dekat dengan seorang perempuan, Kak. Aku butuh uang lebih untuk bisa menjalin hubungan lebih dari teman." Renata tidak bisa untuk tidak tertawa mendengar penuturan adiknya itu. Bukan tawa bahagia namun, sejenis tawa miris. Ryan benar-benar tidak tahu diri. "Kamu masih bisa memikirkan tentang pacaran sementara uang jajan kamu saja kamu minta? Dengar Ryan, aku tidak punya uang untuk memenuhi kebutuhan kamu yang itu. Dan kalau pun ada, aku tidak akan memberikannya untuk kamu." Setelah mengatakan hal itu Renata menutup panggilan telepon adiknya itu. Lalu tidak lama setelahnya sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Aku butuh sekitar satu juta lagi, Kak. Aku tunggu transferannya sampai sore ini. Begitu isi pesan dari Ryan. Renata hanya mendiamkannya, dia sudah tidak punya uang lagi untuk dikirimkan pada lelaki itu. Bukannya hanya Ryan, Randy dan juga ibunya pun selalu minta uang setiap bulan. Tahun depan pasti lebih berat lagi karena, Randy adiknya yang bungsu juga mulai masuk kuliah. Renata harus lebih menghemat lagi. Setelah selesai dengan keluarganya, Renata kini membayar uang kontrakannya. Renata menutup aplikasi m-banking nya setelah selesai membayar uang kontrakannya. Renata tersenyum, rasanya lega karena dia tidak terlambat bayar kontrakan bulan ini berbeda dari bulan sebelumnya. Dia terlambat lima hari karena uangnya kurang dua ratus ribu. Beruntung dia mendapat tips dari customer jadi dia bisa menutupi kekurangan tersebut. Renata sedikit mengapresiasi dirinya dengan memesan makanan kesukaannya melalui aplikasi online. Jarang-jarang dia bisa makan enak seperti ini. Andai adiknya sedikit tahu diri dengan mengambil kerja part time untuk membantunya meringankan biaya makan dirinya sendiri. Ternyata Renata harus puas dengan sikap Ryan yang menggantungkan seluruh hidupnya di tangan Renata. Saat menikmati makan siangnya, ponsel Renata kembali berdering. Kali ini panggilan masuk dari nomor telepon ibunya. Renata menarik napasnya kemudian menghembuskannya perlahan. Dia ingin menikmati makannya lebih dulu sebelum mendengar ibunya berbicara. Dia sudah menebak apa yang ingin ibunya katakan. Hanya ada dua opsi, yang pertama minta tambah jatah uang atau yang kedua memintanya untuk menuruti permintaan Ryan. Sepanjang Renata menghabiskan makan siangnya, sudah ada lima panggilan tak terjawab dari ibunya. Renata meminum air putih lalu mengambil ponselnya. Dia menyentuh gambar telepon pada layar ponselnya. "Kamu dari mana saja?! Angkat telepon, kok, lama banget, sih!" Renata mengusap dadanya sembari membisikkan kata 'sabar' pada dirinya sendiri. "Halo, Bu. Bagaimana kabar di rumah?" Renata mencoba mengabaikan omelan ibunya itu. "Tidak perlu banyak basa basi! Ibu cuma mau tanya sama kamu. Kamu memang tidak punya simpanan lagi untuk diberikan untuk Ryan?" Tebakan Renata tidak meleset sedikit pun. Suara ibunya terdengar sangat marah mungkin karena dia lama menerima telepon dari wanita itu. "Enggak ada lagi, Bu. Uang yang aku pegang tinggal uang makan ku hingga satu bulan ke depan." Meski suara ibunya terdengar menggebu-gebu namun, Renata tetap berbicara dengan nada lembut. "Masa nggak ada, sih? Renata kamu jangan pelit-pelit sama adik kamu. Dia itu penerus keluarga kita. Setidaknya kamu bisa melakukan hal yang menyenangkan hati Ryan." "Renata memang tidak punya uang lagi, Bu. Kan, udah aku kasih sama Ibu. Sisa di aku cuma lima ratus ribu untuk uang makan, Bu." Renata tidak berbohong. Sisa uangnya memang hanya sebanyak itu. Uang gajiannya hanya singgah di atmnya selama tiga puluh menit, setelah itu mereka berpencar kemana-mana. "Iya sudah, lima ratus itu kamu berikan saja pada Ryan. Masalah uang makan kamu nanti gampang lah. Kamu bisa pinjam teman atau makan di tempat kerja kamu. Kamu kerja di restoran, kan?" Renata menahan diri untuk tidak berteriak pada ibunya. "Bu, aku kerja di restoran. Jatah makannya cuma satu kali. Aku nggak mungkin makan hanya satu kali dalam satu hari. Yang ada nanti aku bisa sakit ... Ibu tahu, kan Ryan butuh uang untuk apa?" "Tahu. Katanya buat deketin perempuan yang dia suka." Entah sudah berapa kali Renata menarik napas lalu menghembuskannya dengan pelan. Hal itu dia lakukan untuk mengatur emosinya. "Nah, Ibu sudah tahu. Jadi jangan paksa aku untuk memberikan jatah uang makan untuk dia buang-buang." Renata tahu tidak sopan menutup telepon ibunya lebih dulu. Hanya saja dia juga tidak mau berdebat lebih lama lagi dengan ibunya. Setelah mengakhiri percakapannya dengan sang Ibu. Renata mengirim pesan pada Ryan. Dia menumpahkan kekesalannya pada lelaki itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD