Part 2

1758 Words
Jelita hanya mendesah keras melihat Megan yang selama beberapa hari ini menghabiskan waktu lebih banyak berbarimg di tempat tidur. Menangis diam-diam, melamun, dan tak berselera makan. Mereka bahkan sudah membatalkan beberapa jadwal pemotretan karena keadaan wnaita itu yang tak memungkinkan. Sekali lagi Jelita menunduk. Menatap sedih foto pernikahan yang masih tersimpan di dompet Megan dan tergeletak di nakas. Semalaman wanita itu pasti tak bisa tidur memandangi foto tersebut dan menangis melihat bengkak di kedua mata Megan yang semakin parah. ‘Aku jatuh cinta, semua terasa begitu indah, tapi aku tak menyangka bahwa pernikahan bisa terasa begitu menekan diriku.’ ‘Saat itu aku masih begitu mudah dan aku tak pernah tahu bagaimana cara menjadi seorang ibu.’ Jelita teringat ucapan Megan, untuk pertama kalinya wanita itu sedikit membuka tabir kehidupan yang selama ini terpendam dalam-dalam. Tujuh tahun lalu, jadi ini alasan Megan tak menyelesaikan kuliah dan meninggalkan keluarga untuk pergi ke luar negeri. Melepaskan suami dan seorang putra karena impian masa muda. “Megan.” Jelita menyentuh pundak Megan yang berbaring miring memunggunginya. Menggoyang pelan membangunkan wanita itu. Perlahan kelopak mata Megan terbuka, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya matahari yang begitu terang. Sebelum kemudian menemukan wajah Jelita yang duduk si pinggir ranjang dan aroma bubur ayam berasal dari nampan di nakas. Enggan bangun, Megan menarik selimut kembali menutupi pundak. “Aku tidak ingin ke mana pun,” katanya kembali memunggungi Jelita. Jelita mendesah pelan, membuka selimut Megan hingga kaki. “Bangunlah, Megan. Kau tidak bisa seperti ini terus menerus.” Megan bangun, hanya untuk mengambil selimut di ujung tempat tidur. “Sampai kapan kau akan berbaring seperti ini, huh?” Suara Jelita lebih keras. Megan bergeming. “Hanya karena kesalahan di masa lalumu, sekarang kau ingin kembali menghancurkan hidupmu, huh?” Megan tetap bergeming. Menutup selimut hingga ke kepala dan meringkuk seperti bola. Jelita tak kehilangan akal. Sekali lagi ia menarik selimut, saling tarik dan akhirnya ia berhasil mengalahkan kekuatan Megan yang sudah beberapa hari kekurangan gizi. Melempar selimut itu jauh dari tempat tidur. Megan bangkit, tetapi melihat selimut yang berada jauh dari jangkauan tangannya membuatnya menatap Jelita dengan kesal. “Aku tidak butuh semua ini!” teriaknya. “Lalu apa kau akan membuang semua pencapaianmu seperti kau membuang suami dan anakmu, huh?” Megan membeku, kata-kata yang dihujamkan Jelita tepat mengenai dadanya. Tubuh Megan meluruh, membekap wajah dengan kedua telapak tangan dan terisak. Mata Jelita terpejam, menyesali kata-katanya tetapi tak ada cara lain untuk menghentikan Megan menghancurkan dirinya sendiri. Ia kembali duduk di pinggiran ranjang dan memeluk Megan. Membiarkan wanita itu melanjutkan tangisan hingga puas. “Aku tak tahu apa yang terjadi di dalam sini,” isak Megan menurunkan kedua tangan dari wajah dan menepuk-nepuk dadanya yang terasa dicenngkeram. “Dia begitu nyata. Aku ingin menyentuhnya, tapi … bahkan keingian sekecil itu membuatku merasa malu pada diriku sendiri.” Jelita mengangguk pelan, merangkum wajah Megan dan menyeka air mata wanita itu dengan kedua ujung ibu jarinya. “Aku mengerti rasa bersalahmu.” “Apakah keinginan itu terlihat sangat tidak tahu malu?” Isakan Megan semakin tersedu. “Apakah aku tidak berhak menyentuhnya?” Jelita menggeleng. “Shh … dia darah dagingmu. Kau adalah ibunya dan kau berhak merindukan dia.” “Itu membuktikan bahwa aku menjilat ludahku sendiri.” “Tidak, Megan.” Jelita menggeleng. “Itu menandakan bahwa kau masih mempunyai hati. Bukankah itu baik? Itu membuktikan bahwa kau memanglah ibunya. Darah memang selalu lebih kental dari air.” Isakan Megan terhenti. Menyelami kata-kata Jelita dalam-dalam. Tangannya terangkat dan menyentuh dadanya. “Temuai Mikail. Kalian bisa bicara baik-baik dan meminta dia mempertemukanmu dengan putramu. Aku yakin dia pun tak ingin memisahkan kalian.” “Dia tidak mengenaliku. Bukankah itu berarti selama ini Mikail tidak pernah memberitahu tentangku padanya?” Jelita terdiam. Tampak berpikir sejenak. “Dia pasti punya alasannya.” Megan teringat kata-katanya tujuh tahun yang lalu pada pria itu. ‘Aku tidak ingin melihat wajahnya.’ Ya, Megan tak ingin melihat wajah bayi yang baru ia lahirkan beberapa jam yang lalu. Sekali lagi tumpahan air mata membasahi wajah Megan ketika ingatan itu kembali terputar di benaknya.   ***   Megan menatap gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Bersamaan pertanyaan muncul di benakanya. ‘Bagaimana jika Mikail belum memaafkannya?’ Megan menggenggam kedua tangannya yang mulai gemetar. Menghela napas panjang. Setidaknya ia patut mencobanya. Ia pun menurunkan kaca mata hitamnya sebelum menaiki tangga menuju teras gedung, melintasi lobi yang luas dan menanyakan pada resespsionis ruangan CEO. Yang langsung mengarahkannya menuju lantai teratas. Beruntung nama besarnya cukup membantu kelancarannya untuk menemui sosok Mikail Matteo. Perjalanan selama lima menit itu berlangsung begitu lama, dengan kegugupan yang tak henti-hentinya menghentak jantungnya. Tangannya yang berkeringat kembali turun dari gagang pintu di depannya. Hembusan kasar terhempas dari kedua bibirnya sambil menggosokkan basah di telapak tangannya di samping tubuhnya. “Apakah Anda butuh bantuan, Nona Ailee?” tawar sekretaris Mikail yang beranjak bangkit melihat Megan hanya berdiri membeku di depan pintu. Megan tersentak pelan dan menoleh, lalu menggeleng dengan cepat. Sekali lagi menghela napas panjang, menguatkan hati dan mendorong pintu di depannya. Satu langkah pertama, tatapannya langsung bertemu dengan ketajaman manik Mikail yang menyambut kedatangannya. Namun pandangan pria itu terlihat begitu ramah dengan seulas senyum di kedua ujung bibir. Bahkan pria itu menyempatkan diri untuk berdiri sejenak. Terlihat setenang air danau. Berbanding terbalik dengan air muka Megan yang dipenuhi kegugupan, karena tak tahu harus menampilkan ekspresi seperti apa. Ia terus melangkah hingga berdiri di depan meja Mikail. Menolak tawaran Mikail untuk duduk di kursi. Rasanya berdiri lebih memudahkannya jika sewaktu-waktu ia ingin melarikan diri seperti terakhir kali. Mikail kembali duduk. “Manager Anda tidak menghubungi saya untuk pertemuan mendadak ini, Nona Ailee,” ucapnya penuh keformalan. Megan menelan ludahnya. Merasakan Mikail yang memperjelas jarak yang sengaja pria itu bentangkan di antara mereka. Seolah tak pernah ada masa kelam yang pernah keduanya lalui. Ya, ia tahu Mikail pasti hidup dengan baik dan melupakan semuanya dengan begitu mudah. Dan fakta itu membuat tangan tak kasat mata mencubit hatinya. “Aku ingin bicara.” Megan berjuang keras mengeluarkan suaranya yang kering tak terdengar seperti cicitan. Raut muka Mikail berubar datar. Mencermati setiap inci wajah cantik Megan. Wanita itu masih terlihat begitu cantik dan menawan. Ia mengerti kenapa kamera begitu menyukai wanita satu ini. Sebagai pria dewasa pun, ia tak akan bersikap munafik untuk menyangkal semua fakta itu. “Well, apakah masih ada urusan pribadi yang perlu kita bicarakan, Megan?” Mikail menyandarkan punggung dan menautkan kedua tangan di depan d**a. Mata Megan mengerjap. Semudah itu Mikail memutus dan melupakan apa pun yang pernah terjadi di antara mereka. “Aku ingin bertemu dengannya.” Tentu saja Mikail tahu dengan siapa yang dimaksud oleh Megan. Setelah begitu mudahnya Megan mencampakkan dirinya dan Kiano, kini dengan sikap arogannya wanita itu kembali muncul. Tanpa sedikit pun kata maaf terucap. “Aku ingin bertemu dengan anakku?” ulang Megan dengan suara yang lebih keras karena Mikail hanya terdiam. “Bolehkah aku mendengar kata terakhir yang kauucapkan, Megan?” Mikail menyentuhkan telunjuk di daun telinganya. “Hanya untuk memastikan aku tidak salah dengar?” Mata Mikail mengamati Megan dari atas ke bawah dengan pandangan mencemooh. Megan menangkap cemooh yang tersungging arogan di ujung  bibir Mikail. Menelan rasa tidak tahu malunya. “Dia memang anakku, Mikail. Kau tak bisa menyangkal fakta itu.” “Anakmu?” decih Mikail. “Bagaimana tidak tahu malunya dirimu mengatakan pengakuan semacam itu, Megan. Tidakkah kau ingat apa yang sudah kau lakukan pada kami tujuh tahun lalu?” Megan tak ingin diingatkan. Ia tak perlu diingatkan akan ingatan menyedihkan tersebut disaat penyesalan berjumbal-jumbal di kepalanya. Yang tidak ada artinya. Ditambah cara Mikail mengingatkannnya yang bertekad memastikan kepedihan itu harus menjadi berkali-kali lipat lebih besar. “Bukankah tujuh tahun lalu kau sudah menyerahkan anak itu untukku?” Mata Megan terpejam dan setetes air matanya jatuh. “Bahkan tak sekali dua kali aku berusaha meyakinkanmu, suatu hari kau akan menyesali keputusanmu. Dan berkali-kali pula kau menolak mendengarkan. Sekarang penyesalanmu sama sekali bukan urusanku, Megan,” desis Mikail dengan emosi yang bergejolak di dalam hatinya. “Aku memintanya dengan cara baik-baik,” ucap Megan dengan suaranya yang rapuh. “Untuk apa? Untuk membuatnya tahu bahwa dirinya begitu tak berarti hingga ibu kandungnya membuangnya?” “Kumohon, Mikail.” Mikail diam sejenak. “Lalu apa yang membuatmu tiba-tiba begitu ingin bertemu dengan anakku, Megan?” “Apakah aku tidak berhak menemui anak kandungku sendiri?” “Kau sudah melepaskan hakmu tujuh tahun lalu, ingat?” Air mata Megan mengalir. Kehilangan kata-kata untuk membalas. Hening sesaat. “Aku mohon, Mikail. Ijinkan aku bertemu dengannya. Satu kali saja.” “Satu kali saja?” Salah satu alis Mikail terangkat. Megan mengangguk tanpa daya. Permohonan tersirat jelas dalam kedua pandangan wanita itu yang rapuh.  “Bukankah aku sudah melakukannya?” Air mata Megan jatuh. Suaranya tertelan oleh harapan yang dipupus habis tanpa sisa. Sampai kemudian suara dari interkom membuat Megan terpaku. ‘Tuan, tuan Kiano sudah datang,’ beritahu sekretaris dari seberang. ‘Katakan untuk menunggu satu menit,’ jawab Mikail. Lalu kembali menatap Megan yang membeku di tempat. “Hapus air matamu, Megan. Jika kau benar-benar peduli dengannya, akan jauh lebih baik jika kau tak memperkenalkan dirimu sebagai ibunya. Aku takut kau akan menghancurkan perasaannya mengetahui bahwa kau telah membuangnya, demi impian yang kini sudah berada dalam genggamanmu.” Kata-kata Mikail menohok tepat di jantung Megan. Kedua tangannya terangkat, menghapus air matanya dengan segera. Bagaimana pun ia ingin membantah ucapan Mikail, ia tetap tak bisa menyangkal kalimat pria itu. Mikail benar, ia tak bisa tiba-tiba merangsek masuk di kehidupan putranya begitu saja dan membuat kebingungan. Menghancurkan perasaan putranya. “Papa!” Suara riang yang Megan kenali dan tak akan ia lupakan seumur hidupnya itu membuat seluruh tubuh Megan membeku. Langkah kaki yang semakin mendekat. Megan tak  bisa menahan dorongan kepalanya untuk berputar. Tak hanya kedatangan Kiano yang membuat Megan terkejut. Tetapi keberadaan seorang wanita cantik yang datang bersama Kianolah yang kini menjadi pusat perhatian Megan. Terutama ketika pandangan Megan jatuh ke perut si wanita yang tengah buncit. “Pelan-pelan, Kiano,” ucap wanita cantik itu dengan lembut. “Maafkan aku, Mikail. Dia tak bisa menunggu.” Megan menahan gelombang kepedihan yang menerjang dadanya. Di antara kehampaan dan kekosongan hidupnya selama tujuh tahun terakhir, ternyata Mikail hidup dengan sangat baik. Bahkan pria itu tengah menyambut anak kedua dengan wanita lain. Rasanya tak ada lagi remahan-remahan yang tersisa dari hatinya yang sudah hancur lebur. Dan ia benci perasaan itu masih begitu memengaruhi dirinya bahkan setelah sekian lama keduanya berpisah. Mikail hanya mengangguk pada wanita itu, sambil membungkuk dan menangkap tubuh mungil Kiano yang mencoba memanjat ke pangkuannya. “Hai, jagoan papa.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD