Ada Rasa yang Lain

1918 Words
Dalam sebuah kamar berukuran sedang dengan hanya sebuah lampu redup di atasnya, sesosok tubuh perempuan tengah terbaring dalam kondisi tidak sadarkan diri. Dara Nagisa, seorang gadis berusia dua puluh tahun yang baru saja diambil paksa dari suaminya, Anton, oleh para pengawal Bram. Dosis bius yang diberikan oleh para lelaki gagah itu memang rendah, membuat Dara pun terbangun tak lama setelah dimasukkan ke dalam ruangan kamar tersebut. Mengerjapkan kedua matanya, beradaptasi dengan penerangan yang sedikit minim, Dara mengumpulkan nyawa yang sempat hilang. "Ya Tuhan, ini di mana?" Ia masih belum menyadari jika saat ini dirinya sudah menjadi korban dari kebiadaban sang suami. Lelaki lima puluh tahun, yang dengan tega menukar istrinya sendiri ketimbang harus masuk ke dalam penjara karena hutang yang tidak sedikit. "Apakah aku benar-benar diculik atau memang semua karena ulah suamiku sendiri," lirih Dara dengan suaranya yang pelan. Air mata mengalir di kedua pipinya. Sungguh buruk nasibnya, yang hanya menjadi manusia penebus hutang. Dari kedua orang tuanya pertama kali, dan sekarang dari suaminya sendiri. "Tuhan, mengapa Engkau begitu kejam padaku?" tanya Dara kepada Penciptanya. Lelah mikirkan nasibnya yang tidak baik, Dara memilih untuk mencoba bertahan dan beradaptasi. Seperti halnya saat ia dijadikan istri oleh Anton karena hutang yang dimiliki sang ayah. Gadis itu memindai semua yang ada di ruangan itu. Ruangan yang tampak sederhana dengan perlengkapan yang juga sederhana. Sebuah ranjang yang hanya bisa dipakai untuk dirinya sendiri, sebuah meja di samping tempat tidur, dan sebuah lemari kecil yang terletak di dekat pintu kamar. Tak ada yang istimewa di ruangan kamar itu. Hanya sebuah jendela yang menjadi pusat perhatiannya, sebab terlihat tidak dikunci atau dipaku selayaknya kamar-kamar para korban penculikan. Ah, sepertinya ia begitu terkesan dengan film-film yang berkisar tentang penculikan, sehingga membuatnya begitu menjiwai perannya saat ini. Dara mulai beranjak dari posisinya, berjalan mendekat ke arah jendela, yang tertutup gorden. Begitu kain penutup itu di buka, tampaklah suasana gelap di luar dengan sebuah pemandangan yang sepertinya adalah area taman luas. "Ini tidak dikunci. Masih bisa dibuka. Tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya jika akan merasa terkurung di sini. Orang yang sudah menculikku sepertinya bukanlah orang jahat. Tapi, tadi Pak Anton mengatakan jika aku sudah menjadi milik Tuan Bram. Apakah Bram yang Pak Anton maksud adalah Bramantyo Aldebart, seorang yang ia tahu adalah lelaki menyeramkan, sadis dan dingin? Dara tahu jika suaminya memiliki hutang karena sifat tamaknya itu. Berkali-kali lelaki paruh baya itu mengeluh karena belum bisa mengumpulkan uang demi membayar hutangnya yang sangat banyak tersebut kepada sang pengusaha kaya itu. "Ya, Pak Anton memang sering bilang kalau ia frustrasi sebab harus mencari uang yang begitu banyak, dan dalam tempo yang sangat singkat. Apakah orang ini yang Pak Anton maksud adalah benar Tuan Bram, Bramantyo itu?" Seketika aura ketakutan hadir di jiwa dan raganya. Mendapati dirinya menjadi korban penculikan dari seorang laki-laki maniak. Sepengetahuan dangkal gadis itu, Bramantyo adalah seorang laki-laki tua yang memiliki hobi yang gila. Hobi sebab menyukai wanita lebih dari apapun juga. "Apakah aku menjadi salah satu korban yang akan laki-laki itu nikmati tubuhnya?" Bergidik ngeri, perasaan yang saat ini memenuhi seluruh jiwanya. Di tengah rasa takut yang kini hadir dan menguasai tubuh Dara, tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Sesosok tubuh tinggi dengan tubuh yang tidak terlalu besar —tidak seperti para lelaki yang membawanya semalam, dengan penampilannya yang masih saja rapi, berjalan mendekat ke arahnya. Tampan, itula kata yang Dara tangkap begitu lelaki tersebut berdiri tepat di depannya. Wajah yang dingin dengan garis wajah tegas, tampak berdiri menatap Dara. Tak bisa mengerti gadis itu, apa yang tengah lelaki itu lakukan sebab hanya bediri di sana. "Apakah benar kamu adalah istri Anton?" Suaranya yang berat terdengar begitu menakutkan di telinga Dara. Membuat gadis itu menganggu cepat, respon atas pertanyaan si lelaki. "Apakah kamu tahu kenapa kamu ada di sini sekarang?" Lagi lelaki itu bertanya dengan penuh keangkuhan. "S—saya hanya tahu j—jika suami saya sendiri, menjaminkan saya kepada orang yang ia hutangi." "Apalagi yang kamu tahu?" Dara bingung. Pertanyaan macam apa yang lelaki di depannya ajukan. "M—maaf, Tuan. Saya tidak tahu apa-apa lagi. Pak Anton hanya menyuruh para lelaki bertubuh besar itu membawa saya semalam. Tak ada yang suami saya jelaskan, hanya berkata kalau saya akan tinggal di sini selama empat bulan, selagi beliau mencari uang untuk melunasi semua hutangnya." "Lantas, kamu percaya?" "Maksudnya, Tuan?" Dara mengernyitkan keningnya, tak mengerti. "Ya, apakah kamu percaya jika lelaki b******k itu akan mencari uang untuk menembus dirimu dalam waktu empat bulan?" "Hah? Mengapa Anda berkata seperti itu, Tuan? Apakah Pak Anton tidak akan melakukannya?" "Hahaha, kamu ini terlalu lugu, Nona. Apakah kamu pikir suamimu itu akan bersusah payah mencari uang lima ratus juta rupiah demi membebaskanmu? Apakah kamu tidak berpikir jika ia lebih rela kehilanganmu ketimbang harus merelakan uang sebesar itu kepada Tuan Bram?" "A—apa? L—lima ratus juta, setengah milyar?" Dara terkejut, ternyata uang yang suaminya salah gunakan adalah sebesar itu? Ternyata proyek yang lelaki paruh baya itu abaikan bernilai sekian? Atau malah itu hanya sebagian kecilnya saja yang Pak Anton ambil? Seketika banyak pertanyaan berseliweran di dalam pikirannya. Membayangkannya saja Dara sudah tak sanggup. Lelaki di depannya benar kalau ia bukanlah orang yang istimewa bagi kehidupan Anton. Suaminya itu tak akan mungkin mau mengeluarkan uang sebanyak itu untuk menebusnya. Ia benar-benar tamat sekarang. "Anda benar sekali, Tuan. Suami saya itu tidak mungkin membebaskan saya," lirih Dara berkata. "Lantas, apa yang Anda atau Tuan Bram akan lakukan kepada saya?" Akhirnya ia memberanikan diri bertanya. Kepasrahan adalah satu-satunya jalan yang ia pilih saat ini. "Kamu akan tahu nanti. Tuan Bram sedang memikirkannya saat ini, kira-kira hal yang pantas apa yang akan kamu terima atau harus kamu lakukan untuknya." Setelah bicara seperti itu, laki-laki itu pun beranjak meninggalkan Dara yang masih mematung di dekat jendela. Namun, belum sampai pintu, ia kembali berbalik dan bicara. "Satu yang harus kamu ingat, pernikahan siri antara Anton dan kamu sudah berakhir semalam. Lelaki itu sudah menceraikanmu. Oh ya, satu lagi, jangan sekali pun berpikir untuk kabur dari sini, sebab kemana pun kamu pergi, kami akan dengan mudah membawamu kembali." Kini, lelaki itu benar-benar pergi. Meninggalkan Dara yang seketika melemas. "Ya Tuhan, ternyata Engkau begitu menyayangiku. Lepas dari mulut buaya, Engkau membawaku masuk ke dalam mulut harimau sekarang." Anton, lelaki tua yang sudah tiga bulan berstatus suaminya itu, tak pernah sekali pun menganggapnya sebagai istri. Dan sekarang, ia harus masuk ke dalam perangkap seorang lelaki yang sepertinya tidak jauh berbeda. Lelehan air mata kini kembali mengalir seiring tubuhnya yang ambruk jatuh duduk di lantai. *** "Bagaimana, Lian?" tanya seorang lelaki yang duduk di atas sebuah sofa besar di dalam ruangan kerja, sembari tangannya yang memegang sebuah tablet. Mengamati gambar yang menyala di depannya tanpa menoleh sedikitpun ke arah sang pengawal pribadi, yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu. "Sepertinya gadis itu tidak tahu sama sekali mengenai rencana Anton, Tuan Bram." "Begitukah kesimpulanmu?" tanya Bram lagi. "Benar, Tuan!" jawab Lian dengan tegas. Bram, lelaki yang Lian panggil tuan tersebut, melepas kacamata baca yang bertengger di hidungnya. Kemudian menaruh tablet di atas meja dan menatap sang pengawal. "Duduklah, Lian!" Lelaki muda dengan tubuh yang begitu gagah dengan lekukan otot di beberapa titik, membuat ketampanannya terpancar, duduk di dekat sang tuan di sofa yang berbeda. "Awasi dia sampai dua hari ke depan. Kita lihat akan sejauh apa dia bertahan. Aku percaya padamu jika memang menurut kamu perempuan itu tidak ada hubungannya dengan aksi licik Anton." "Baik, Tuan. Saya mengerti." Bram adalah lelaki yang mengambil keputusan aneh dengan menerima tawaran Anton. Lelaki yang sebetulnya ingin ia jebloskan ke dalam penjara karena ketamakannya memakan uang proyek yang tengah ia awasi. Jangankan Lian, Bram sendiri tidak mengerti kenapa ia mau membawa istri lelaki itu ke dalam rumahnya. Bram hanya merasa ada sesuatu yang lain terasa aneh di dalam hatinya, begitu melihat wajah gadis itu dari poto yang Anton tunjukkan kemarin. Namun, demi menghindari keputusannya yang tiba-tiba, dan tak ingin dilihat betapa ia tertarik pada sosok gadis dua puluh tahun tersebut, Bram mengalihkan dengan menaruh gadis itu di dalam ruangan khusus pembantu. Sejatinya, Lian sendiri tahu jika sang tuan ada ketertarikan pada sosok gadis yang baru saja ia temui tadi. Sang tuan yang sudah lama ditinggal pergi oleh mantan istrinya sebab berselingkuh dengan salah satu pengawal, mungkin saat ini hatinya tengah terketuk oleh sosok gadis itu. Hanya saja Lian tidak terlalu setuju sebab gadis itu adalah istri orang. Istri dari lelaki kurang ajar yang sudah berani main-main dengan mereka. "Lian, bagaimana rupa dan penampilan gadis itu?" Lihat bukan, tuannya itu begitu penasaran. Meski gayanya dibuat angkuh dan dingin, tetapi pengawal pribadi itu tahu jika sang tuan begitu tertarik dengan gadis yang saat ini berada di dalam kamar pembantu. "Semua info sudah saya berikan pada Tuan." "Saya sudah baca, semuanya. Tapi, dari semua info yang kamu berikan mengenai gadis itu, tak ada satu pun gambar atau poto dirinya." Bram menatap kesal sang pengawal. Sejujurnya Lian hanya becanda. Ia tahu maksud dari Bram menanyakan hal itu. Dengan sedikit tersenyum, Lian menjelaskan. "Wajahnya cantik. Rambutnya panjang dan hitam. Kulitnya putih, dan sepertinya mulus, saya tidak tahu pasti karena tidak menyentuhnya. Tubuhnya, jujur saja sangat bagus dengan lekukannya yang begitu sempurna. Saya sangat yakin jika Anton pun sangat menyukai tubuh istrinya tersebut." Terdengar gemeretak gigi yang berasal dari mulut Bram ketika Lian menceritakan hubungan Dara dan suaminya. Lian tahu itu karena ia memang sengaja melakukannya. Ia begitu ingin tahu sejauh mana rasa tertarik sang tuan pada gadis itu. "Menurutku, gadis itu sempurna. Hanya saja penampilannya yang kampungan dengan pakaian yang sepertinya tidak Anton urus. Dan penampilan wajahnya yang terlihat terlalu alami tanpa polesan make up atau perawatan wajah sama sekali. Entah bagaimana bisa Anton memperlakukan hal itu pada istrinya itu. Hanya ingin 'memakai' tubuhnya tanpa mau mengurus." Lian pura-pura geram. "Sudah cukup, Lian. Aku bertanya padamu mengenai wajahnya, tetapi kamu malah menjawab kemana-mana." Terlihat ketidaksukaan di wajah Bram. "Maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud begitu. Hanya ingin menjelaskan saja apa yang aku lihat dan aku tahu." "Ya, sudah cukup. Aku sudah memiliki gambaran. Lantas, apa yang dia katakan ketika melihatmu tadi? Apa dia minta dibebaskan?" "Tidak! Sepertinya dia pasrah dengan kondisinya yang hanya dijadikan alat penebus hutang, dari kedua orang tuanya dan sekarang oleh suaminya sendiri. Ia hanya merasa jika dibawanya ia oleh kita, hanya berlaku selama empat bulan saja seperti yang suaminya katakan ketika para pengawal membawanya semalam." "Lalu?" "Lalu, aku memberinya jawaban yang sepertinya membuat ia syok dan terkejut." "Apa itu?" "Hanya sebuah kalimat yang membuatnya berpikir, apakah ia yakin jika suaminya akan membayar hutangnya pada kita sebagai penebus dirinya itu." "Begitu?" "Iya, Tuan." Keheningan tercipta setelah keduanya tak lagi bicara. Hingga jam di pergelangan tangan Lian berbunyi, membuat lelaki itu menolehnya sebentar, kemudian menatap sang tuan. "Ini sudah larut malam. Sebaiknya Tuan istirahat. Mengenai gadis itu, biar para asisten rumah tangga yang mengurusnya." "Ehm, sepertinya bukan ide buruk. Tapi, kamu pastikan ia mendapat pekerjaan selayaknya para pembantu yang lain. Aku ingin tahu sejauh mana ia bertahan dengan keadaannya di rumah ini." "Siap, Tuan." "Jangan lupa, beri tahu Bu Sita sebelumnya jika gadis itu adalah milikku." "Tentu saja. Aku tahu pasti, Bu Sita akan mengerti maksud Tuan." Percakapan kedua orang itu pun berakhir dengan Lian yang mengantar sang tuan masuk ke dalam kamarnya yang berada di lantai dua. "Selamat istirahat, Tuan." Lian membungkukkan sedikit badannya ke arah Bram. "Terima kasih. Kamu juga, Lian. Untuk malam ini, tidurlah di sini. Aku rasa kamu pun sudah cukup lelah hari ini." "Baik, Tuan." Bram pun masuk ke dalam kamarnya yang luas. Hatinya terasa berbeda malam itu. Seolah ada sesuatu yang menghidupkan hatinya yang sudah lama padam. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD