2. Kehidupan Perkacungan

1464 Words
"Gimana magang lo?" Luna langsung bertanya begitu melihat Jill mendaratkan bokongnya di kursi. Sudah hampir dua bulan mereka tidak bertemu, itulah yang membuat Luna begitu penasaran dengan perkembangan Kerja Praktik temannya. Mereka tidak bisa bertemu bukan karena Luna sibuk, tapi justru karena Jill. Jill begitu sibuk sampai hampir tidak memiliki waktu untuk bernapas. Lebay! Baru siang ini Jill bisa melarikan diri sejenak untuk menyempatkan diri makan siang bersama Luna. Itu pun hanya di tempat yang dekat dengan Forty Media dan dengan waktu yang terbatas. "Seru, Lu. Tapi capek." Jill tersenyum manis. Selalu manis. Meski lelah, meski kesal, meski penat, Jill selalu penuh senyum. "Ngapain aja emangnya?" Luna masih tidak mengerti maksud kata sibuk yang Jill keluhkan, karena bagi dirinya sendiri, magangnya sama sekali tidak ada sibuk-sibuknya. "Banyak banget yang harus aku kerjain, Lu. Aku tuh tiap dua minggu pindah bagian gitu." "Ngapain? Kenapa nggak di satu bagian aja, sih? Ribet amat." "Kan di Forty Media banyak banget programnya. Jadi katanya biar aku banyak pengalaman, mending pindah-pindah ke berbagai program." Jill juga tidak tahu kalau akan seperti ini jadinya. Dia hanya mengajukan permohonan untuk dapat magang di Forty Media selama satu tahun, tanpa bayangan sama sekali teknisnya akan seperti apa. Pada kenyataannya, Jill ternyata ditugaskan dalam berbagai program berbeda dengan mentor berbeda setiap dua minggu. Hal positifnya adalah, pengalaman yang dapat Jill gali memang jadi sangat banyak. "Udah nyobain program apa aja lo?" "Waktu pertama banget aku di femme, Lu." Jill tidak akan melupakan minggu pertamanya di Forty Media, di femme tepatnya. Ketika ia masih sangat polos dan bodoh hingga semuanya berjalan kacau. Namun bersyukur Jill dipertemukan dengan Vira, tim kreatif femme yang berbaik hati membimbingnya dan memberitahu segala macam seluk beluk penting di industri ini. "Acara apaan tuh?" Jill menghela napas geli. Ia paham. Sangat paham dengan kondisi temannya ini. Luna sama sekali tidak memiliki bayangan tentang program-program pertelevisian, karena gadis ini memang buta terhadap segala sesuatu yang muncul di televisi. Coba tanyakan padanya siapakah Farah Quinn? Maka kemungkinan besar gadis itu akan menjawabnya dengan sepupu Harlequin. Jangan juga merasa heran kalau gadis itu tidak dapat membedakan antara Glenn Fredly dengan Glenn Alinskie. Apalagi kalau diminta membedakan Roy Marten dengan Roy Suryo, karena baginya keduanya sama saja. Sama-sama tua. "Acara yang mengulas seputar kehidupan perempuan, Lu. Bahas fashion, bahas treatment, bahas tempat spa, salon, pokoknya semua yang menarik buat perempuan," tutur Jill sabar. Luna mengangguk tidak peduli. Penjelasan Jill sama sekali tidak bermakna baginya. "Terus udah di mana lagi?" "Di Rasa." Luna mengernyit mendengar nama-nama program yang terdengar aneh di telinganya. "Program apaan?" "Yang ini acara kuliner, Lu. Seru, lho!" ujar Jill bersemangat. Meski hanya dua minggu, tapi Jill sudah merasakan diajak berkeliling bersama tim Rasa untuk hunting tempat-tempat kuliner yang menarik. "Terus aku juga udah nyobain di Light. Acara infotainment, cuma sejujurnya aku kurang suka. Ngurusin gosip-gosip artis." "Masih di situ?" Luna tertawa geli. Jangankan Luna yang memang pada dasarnya tidak peduli dengan dunia keartisan, Jill saja bergidik ditempatkan di program infotainment. "Nggak. Minggu ini udah pindah ke In-Time. Program berita." "Lo paling suka yang mana?" "Sejauh ini aku paling suka di In-Time. Seru bahas berita-berita seputar kejadian di tanah air. Bahasannya luas. Ada soal kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, kriminal juga ada." Luna menggeleng tidak mengerti. Selera sahabatnya ini memang luar biasa. "Selera lo emang aneh, Jill." "Ih, ini beneran seru tau! Cuma di sini capek banget aku, Lu. Mentornya nyuruh-nyuruh mulu." "Emang lo disuruh ngapain aja?" Luna mengangkat sebelah alisnya. Siap menunggu senista apa kehidupan perkacungan yang Jill alami. "Aku disuruh cari materi untuk tayangan dan buat ulasannya sendiri." "Buset!" Ini di luar bayangan Luna. Ternyata mentor Jill ini lebih kejam dibanding mentornya di Ten FM. "Susah amat! Emang lo bisa?" "Yah, lumayan. Bingung sih awalnya, tapi dicoba aja. Lumayan jadi banyak belajar juga." "Tapi gitu-gitu juga, ya, lo masih beruntung tau. Masih seru magangnya. Lah gue?" desah Luna pasrah. "Emang kamu kenapa?" "Bosen gue! Nggak ngapa-ngapain." "Masa? Maksudnya bengong tiap hari?" "Ya nggak bengong juga, Jill. Maksudnya nggak ngapa-ngapain tuh, nggak ngerjain hal yang berhubungan sama Ten FM. Tapi yang ada, gue dijadiin jongos sama mereka. Kerjaan gue ngurusin fotokopian, bikin kopi, beliin makanan, pokoknya yang remeh-remeh nggak jelas! Kampret bangetlah!" seru Luna berapi-api. "Kok kamu kayak office girl?" ujar Jill polos tanpa dosa. "Jill! Lo malah bikin gue tambah hina aja!" sungut Luna kesal. "Maaf, Lu. Aku bercanda." Jill terkekeh geli. "Kamu kenapa nggak protes, Lu?" "Udah." Luna memberengut kesal. "Terus?" "Mereka cuma bilang, kalo mau jadi orang besar, harus mulai dari awal," ujar Luna sinis. Kemudian menambahkan dengan lebih sinis lagi. "Dari bawah! Dari nol! Ngerangkak! Ngesot! Ngerondang yang ada!" Jill harus setengah mati menyembunyikan tawanya agar Luna tidak sampai mengamuk padanya. "Kamu sabar-sabarin aja, ya? Mungkin bulan-bulan selanjutnya kamu dikasih tugas yang bener." "Harus itu! Kalo sampe begini-begini terus, gue mending out! Males banget setahun penuh jadi jongos!" *** Kai mematikan sambungan ponselnya. Matanya menatap tanpa fokus pada pemandangan dini hari Jakarta yang terpampang dari jendela di Fantastic Room. Tiba-tiba ada sesuatu yang membuatnya merasa terganggu. Entah mengapa, perasaannya berkata bahwa ada orang lain di sini selain dirinya, meski tidak terdengar pergerakan sama sekali. Seketika Kai teringat dengan gadis tukang nguping yang semalam ada di sini mendengarkan seluruh pembicaraannya. Perlahan ia berjalan ke sudut tempat tadi malam ia menemukan gadis itu. Setelah dekat, ia dapat memastikan bahwa kecurigaannya terbukti. Gadis itu tengah duduk diam di dalam bubble chair, terlihat tenggelam dalam pekerjaannya. Kai mendekatinya dan mengetuk bubble chair tempat gadis itu duduk. Ketika gadis itu tidak menunjukkan reaksi apa-apa, Kai melambaikan tangannya di depan wajah gadis itu. "Hei!" panggil Kai. Perlahan gadis itu mengangkat wajahnya. Ekspresinya jelas terkejut. Kemudian seperti menyadari sesuatu, gadis itu melepaskan sebelah earphone dari telinganya. "Kamu di sini lagi?" tanya Kai datar. "Hai!" Jill membalas dengan ceria. "Kamu dengar pembicaraan saya lagi?" tuduh Kai langsung. Jill tersenyum bangga sambil menggeleng. "Kali ini aman. Saya udah jaga-jaga kalau-kalau kejadian kayak kemarin terulang lagi. Sekarang saya selalu pakai ini." Ditunjuknya earphone yang tergantung di lehernya dengan bangga. Kai berdecak tidak suka. Apa jadinya kalau ada sesuatu yang berbahaya terjadi dan gadis ini tidak mendengar apa-apa akibat sumbat di telinganya? "Kamu ini. Perempuan. Sendirian. Tengah malam. Kamu tidak takut?" "Takut apa, ya?" tanya Jill polos. "Kalau makhluk halus saya nggak takut. Kalau makhluk berwujud, tergantung bentuknya." "Bentuk yang seperti apa yang buat kamu takut?" tanya Kai asal. Perlahan ia menarik kursi terdekat dan mendudukinya. "Nggak tahu. Saya belum pernah ketemu yang berwujud di sini." Jill mengangkat bahunya santai. "Kecuali Bapak." "Kamu tidak takut sama saya?" "..." Jill menggeleng. Tertawa. Kemudian menunjukkan sesuatu di tangannya. Kai mengernyit. "Apa itu?" "Kejut listrik. Bubuk merica." "Ya, Tuhan!" Kai terbahak tiba-tiba. "Kamu pikir yang seperti ini bisa untuk melumpuhkan orang jahat?" "Nggak juga, sih. Tapi setidaknya ini bisa kasih saya cukup waktu buat kabur. Saya bisa lari secepatnya." Jill membela diri. "Lari?" Kai kembali ingin tertawa. Gadis di hadapannya ini, entah mengapa terasa begitu lucu kelakuan dan kata-katanya. Hingga tanpa sadar membuat Kai tertawa. Padahal entah kapan terakhir kalinya ia dapat tertawa seperti ini, Kai sendiri bahkan tidak ingat. "Jangan remehin saya, Pak! Gini-gini dulu saya atlit lari cepat waktu sekolah." "Terserah kamu!" Kai mengibaskan tangannya dengan geli. "Tapi saya penasaran, kamu ini kenapa senang sekali diam di sini gelap-gelap sendirian?" "Kerja." "Buat materi untuk In-Time lagi?" "Betul sekali!" Jill mengacungkan satu ibu jarinya ke arah Kai. "Disuruh lagi sama mentor kamu?" tebak Kai lagi. "Tepat!" Kini dua ibu jarinya teracung untuk Kai. "Dan kamu mau?" tanya Kai setengah tidak percaya. "Saya senang-senang aja, sih. Lumayan buat portfolio saya nanti setelah lulus." Jill bukan tidak tahu kalau ia dikerjai oleh Tika, sang jurnalis senior yang menjadi mentornya. Jill bukan tidak tahu jika Tika memanfaatkannya. Tapi bagi Jill sendiri, ini peluang bagus yang sayang jika dilewatkan. "Kamu tahu? Untuk ukuran anak magang, kamu itu terlalu rajin." "..." Jill mengedik santai. "Semoga kamu tidak kecewa kalau sampai ulasan kamu diaku sebagai karya orang lain." Kai mengingatkan. "Saya udah antisipasi hal semacam itu," balas Jill tenang. Jill bukan orang bodoh. Dia adalah tipe orang yang selalu melakukan pencegahan sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan. Kai jadi merasa penasaran. Pencegahan bodoh macam apa yang dipikirkan oleh seorang mahasiswi magang. "Caranya?" "Di setiap ulasan yang saya buat, saya selalu cantumkan inisial nama saya. Di tiga paragraf secara berurutan, awal katanya akan dimulai dengan huruf J, C, dan L." "J, C, L? Itu nama kamu." "Betul sekali. Jillian Christabelle Law," ujarnya bangga. Dalam hati Kai harus mengakui kalau apa yang gadis ini lakukan memang cerdas. Tidak mencolok, namun jelas menunjukkan ciri khasnya. "Ternyata kamu cerdas juga." "Terima kasih." Jill tersenyum manis. "Baiklah. Karena kamu tidak mendengar apa-apa malam ini, saya akan meninggalkan kamu dengan tenang. Selamat melanjutkan pekerjaan kamu. Hati-hati dengan makhluk tidak berwujud." Kai melenggang pergi meninggalkan Jill sendirian. *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD