3. Makhluk Astral

1500 Words
"Mbak Tika, ini materi buat meeting pagi nanti. Tolong dicek dulu, Mbak." Jill meletakkan ulasan yang baru diselesaikannya pada pukul lima pagi tadi. "Nggak usahlah. Taro aja di situ, nanti langsung gue bawa." Tika menjawab asal tanpa melihat ke arah Jill sama sekali, matanya hanya terfokus pada tangannya yang sedang sibuk memoles cat kuku. "Thanks, ya!" "Nggak takut ada yang salah, Mbak?" tanya Jill ngeri. Untuk kesekian kalinya, mentornya yang satu ini menolak memeriksa pekerjaannya. Kalau sampai ada kesalahan yang terjadi pada ulasan yang dikerjakannya, pasti dia juga yang akan mendapat masalah. Tika mengangkat wajahnya sepintas. "Lo bikin sesuai yang gue minta, 'kan?" "Iya." "Sesuai rincian yang gue kasih?" tanya Tika memastikan. "Iya. Semua poin yang Mbak Tika tulis saya masukin." "Aman kalo gitu. Gue percayalah sama bikinan lo." Tika mengedip yakin. "Yakin, Mbak?" "Yakin! Udah sana, lo kerjain yang lain lagi aja!" Tika mengibaskan tangannya dengan tidak sabar. Begitu Jill menghilang dari ruangan tim In-Time, Ratna langsung menggeser kursinya ke dekat meja Tika. "Lo serius gak bakal cek dulu kerjaan si Jill?" Ratna mengedik ke arah tumpukan kertas yang tadi Jill letakkan di atas meja Tika. Tika menggeleng. "Nggak perlu." "Lo yakin dia gak bakal salah bikin ulasan?" Ratna jelas menyangsikan hasil pekerjaan Jill. Memangnya apa yang bisa dikerjakan seorang anak magang sementara dirinya yang sudah menjadi jurnalis senior di sini saja kadang masih melakukan kesalahan. "Lo tenang aja. Jill ini rekomen banget pokoknya." "Tau dari mana lo?" "Lo tau Vira?" Tika balas bertanya. "Temen SMA lo?" "Yup! Nah si Vira ini jadi mentornya si Jill pas dia lagi di femme. Vira yang bilang kalo kerjaan si Jill ini oke punya. Otaknya kinclong banget. Dia bisa ngulas topik apa pun dengan perfect. Topik yang boring juga bakal jadi menarik sama dia. Dia bisa liat sisi-sisi yang nggak diliat sama orang lain. Pokoknya anaknya jeli banget." Meski sulit dipercaya, namun Ratna tertarik juga dengan info yang Tika beberkan mengenai Jill. "Enak banget kalo semua anak magang kayak gitu." "Enaklah! Selama dua minggu dia sama gue, berasa punya asisten. Bisa nyantai gue." "Envy gue." Ratna mencibir sebal. "Tenang aja, lo juga bakal kebagian." "Maksud?" "Lo juga bakal ngerasain jadi mentornya dia." "Gimana ceritanya? 'Kan tiap dua minggu di-rolling." "Harusnya gitu. Tapi anaknya sendiri yang request. Dia minta waktu lebih lama di In-Time. Anak itu seneng banget di news. Dia mau cobain semua bagian di sini. Jadi next, abis dari gue, dia bakal keliling ke yang lain." "Manteplah kalo gitu! Gak sabar gue nunggu giliran punya asisten pribadi." *** "Hei! Anak magang, ya?" Rayya berdiri sambil menatap angkuh ke arah Jill yang tengah makan siang bersama dengan Tika, Ratna, Rustan, dan Teguh, para jurnalis senior di In-Time. "Iya." Jill membalas dengan ramah. Rayya menunjuk angkuh ke arah Jill. "Mulai hari ini lo jadi asisten gue. Oke?" "Eh? Tapi ...." Seketika Jill kebingungan. Ia menoleh cepat ke arah yang lain untuk bertanya. "Kenapa? Mau protes?" tantang Rayya tidak suka. "Bukan begitu, Mbak. Tapi saya dikasih tahu kalau mentor saya selanjutnya itu Mas Teguh." Rayya mendengus. "Lo yakin mau belajar sama mereka terus? Nggak nyesel?" "Memangnya kenapa, Mbak?" tanya Jill polos. "Denger baik-baik, oke?" Rayya menumpukan kedua tangannya di atas meja. "Gue ini penyiar berita, kalo mereka-mereka ini cuma jurnalis doang. Lo ngerti nggak bedanya?" "Ngerti, Mbak." Untuk anak dengan otak secemerlang Jill, mana mungkin ia tidak tahu perbedaan antara jurnalis dengan penyiar berita? "Nah, jadi harusnya lo tau, kalo jadi anak buah gue, lo punya kesempatan belajar lebih banyak," ujarnya angkuh. "Buat saya belajar sama siapa pun sama saja, Mbak," balas Jill tenang. "Eh, songong lo!" Rayya menggebrak meja. Ia kesal dengan ucapan Jill. "Udah, udah. Jill, lo ikutin aja maunya dia." Teguh segera mencegah perdebatan lebih jauh yang akan merugikan Jill pada akhirnya. "Tuh! Dia aja nggak masalah. Jadi mulai sore ini, lo stand by ngikutin gue ke mana pun gue bergerak. Paham?" Jill menghela napas sebelum menjawab. "Oke, Mbak." Setelah memastikan kemenangannya, Rayya melenggang pergi meninggalkan mereka. "Udah, lo sabar-sabarin aja, Jill." Ratna yang duduk di sebelah Jill menepuk bahu gadis itu. "Jangan cari gara-gara deh sama dia. Repot urusannya." "Emangnya dia siapa sih, Mbak?" tanya Jill lesu. Membayangkan memiliki orang semacam itu sebagai mentor, belum apa-apa perutnya sudah mulas. "Lha? Emang lo nggak tau dia siapa?" tanya Tika heran. "Tau, sih. Mbak Rayya itu penyiar di In-Time. Tapi maksud saya, selain itu dia siapa? Kenapa kayaknya Mbak Rayya berkuasa banget, sampe bikin kalian pada takut." "Dia deket sama Cakra," ujar Teguh tenang. "Cakra produser In-Time?" Jill membelalak. "Yup!" Rustan menjentikkan jarinya. "Maksudnya pacaran gitu?" Jill meringis. Keempatnya saling berpandangan. Entah bagaimana caranya menjelaskan kenyataan pada anak magang yang polos ini bahwa sebenarnya, Cakra yang menyandang status sebagai duda keren itu, mendapatkan status dudanya berkat kelakuan Rayya. Rayya menyukai Cakra tanpa peduli bahwa pria itu sudah beristri. Rayya bahkan berhasil membuat Cakra meninggalkan istrinya demi dirinya. Benar-benar wanita ular. "Emang boleh, ya, pacaran di satu bagian gitu?" "Mereka nggak pacaran. Hubungan mereka nggak pake status. Tapi semua takut sama Rayya. Kalo ada yang berani urusan sama dia, siap-siap aja bakal ngalamin kejadian yang nggak enak," ujar Tika. "Siap-siap urusan sama Cakra," imbuh Ratna. "Ohh ...." Jill mulai paham sekarang. "Orangnya juga rewel banget, banyak maunya. Serasa artis beken aja dia." Tika mencibir sebal. "Padahal awalnya juga cuma jurnalis biasa kayak kita-kita," sambar Ratna lagi. "Makasih, ya, Mbak buat infonya." Jill tersenyum manis. "Kalo ada apa-apa, bilang aja sama kita. Biar kita nggak bisa bantu, tapi seengaknya lo nggak stres sendiri," ujar Teguh. "Iya, Mas." "By the way, thanks udah bantuin gue selama dua minggu." Tika tersenyum tulus pada Jill. "Sorry kalo lo ngerasa dikerjain." "Gapapa, Mbak. Saya juga senang bisa belajar banyak selama bantuin Mbak Tika. *** "Dari mana aja lo? Lama banget!" sentak Rayya begitu melihat Jill muncul. Sejak tadi ia menunggu kedatangan Jill, tapi baru di break ke empat In-Time Morning ia melihat penampakan gadis itu. "Maaf, Mbak. Tadi saya dipanggil sama Mas Seno, diminta serahin laporan selama dimentorin sama Mbak Tika." Jill tidak berbohong. Tadi dalam perjalanan menuju studio 3 tempat untuk live In-Time Morning, dirinya dicegat oleh Seno, kepala tim peliputan di In-Time. "Gue nggak peduli lo mau ngapain! 'Kan udah gue bilang, stand by! Jadi kalo gue butuh apa-apa, lo selalu siap deket gue. Kalo kayak gini, gue jadi repot!" Nada bicaranya semakin dan semakin meninggi. "Maaf, Mbak." Tidak ada yang dapat Jill lakukan selain meminta maaf. "Lo kira maaf lo itu guna?" Rayya tertawa sinis. "Tetep aja schedule gue udah terlanjur kacau gara-gara lo!" "Iya, saya benar-benar minta maaf kalau sudah mengacaukan jadwal Mbak Rayya. Mbak memangnya tadi mau minta saya ngapain?" "Gue tadi cari lo mau nyuruh lo beliin gue makan. Gue itu tiap pagi harus breakfast dulu sebelum live In-Time. Gara-gara lo, perut gue jadi kosong! Kalo gue kenapa-napa, lo yang salah!" Jill rasanya mual seketika. Perempuan di hadapannya ini mencarinya sedemikian rupa hingga marah-marah dengan begitu berapi-api, hanya untuk urusan membelikan makanan? Padahal tadinya Jill mengira urusan yang benar-benar penting sedang menunggunya. "Maaf, Mbak." "Maaf lagi!" Rayya membanting skrip di tangannya. "Sekarang cepetan lo beliin makan buat gue! Dua puluh menit lagi gue beres, itu makanan udah harus ada. Nggak pake salah!" "Mbak mau makan apa?" tanya Jill datar. Ia berusaha sebaik mungkin mengendalikan gejolak dalam hatinya. "Lo pikir aja sendiri!" sembur Rayya sambil bangkit berdiri dan melenggang pergi meninggalkan Jill. "Tapi Mbak sukanya apa? Nanti saya salah beli Mbak marah juga." "Lo cari tau sendiri aja. Gue nggak ada waktu jelasin ke lo!" balas Rayya tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Tinggallah Jill yang baik hati ini, termangu sendiri dengan perasaan tidak karuan. Antara bingung, cemas, dan kesal berbaur bersama.  Tika melambaikan tangan di depan wajah Jill yang berjalan setengah melamun. "Kenapa lo kayak orang linglung gitu?" Jill mengerjap beberapa kali. "Saya lagi bingung, Mbak." "Gara-gara Rayya?" tebaknya. "Kok, Mbak tau?" tanya Jill lesu. Tika menggeleng. "Manusia itu kerjaannya emang bikin orang susah aja. Kalo nggak bikin orang repot sehari aja, nggak lengkap idupnya." "..." Jill diam saja. Tidak berminat menanggapi ucapan Tika. "Cerita, deh! Lo disuruh ngapain?" "Saya disuruh beliin sarapan buat Mbak Rayya." "Terus?" "Mbak Rayya nggak bilang mau makan apa. Nggak kasih tau juga sukanya apa. Tapi Mbak Rayya bilang saya nggak boleh salah beli." "Pake marah-marah?" tanya Tika sengit. "Iya." "Setan emang tuh makhluk satu!" maki Tika geram. "Mbak tau nggak saya harus beli apa baiknya?" Dia tidak peduli apakah Rayya seorang setan atau iblis atau wewe gombel sekalipun, yang ia pedulikan, makanan apakah yang disukai perempuan sejenis makhluk astral tersebut? "Sini deh, ikut gue! Kita tanya sama OB yang biasa jadi hambanya dia." Tika menyeret Jill entah ke mana. "Gaya banget dia, serasa lo itu asisten pribadinya kali. Gak nyadar apa lo ini anak magang, bukan jongos." "Aslinya Mbak Rayya punya asisten pribadi nggak sih, Mbak?" "Mana ada! Nggak ada yang tahan sama dia. Maunya banyak, ngasih gaji kecil! Kabur semua orang yang pernah jadi asisten dia. Lagian cuma penyiar berita aja sok-sokan pake aspri. Kayak artis gede aja lagaknya!" *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD