Another - 2

1746 Words
Hari ini, Liora sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Keadaannya pulih begitu cepat. Liora berdiri di depan sebuah rumah bercat cokelat itu. Begitu asing bagi Liora. Tadinya, Liora ingin pulang bersama Amel. Tapi Amel mengatakan, Liora harus pulang bersama suaminya. Ah, sangat disayangkan. Entah kenapa dia merasa rindu sekali dengan kamarnya, seperti sudah lama tidak ke sana. Apa mungkin setelah menikah dia tidak pernah pulang? “Liora,” panggil Jean membuyarkan lamunannya itu. “Ya?” “Ayo, masuk. Kenapa berdiri di situ?” Liora menarik kopernya, kemudian berjalan mengikuti Jean di belakang. Langkahnya sangat pelan, tentu saja untuk melihat-lihat rumah yang katanya pernah dia tinggali ini. “Gue masih enggak percaya gue pernah tinggal di sini. Gue juga enggak percaya kalo gue lupa ingatan. Gue justru ngerasa roh gue bangun di tubuh yang salah.” Liora menatap dirinya lewat kaca jendela, memeriksa wajahnya takut apa yang tadi dipikirkannya memang benar. “Tapi mukanya tetap muka gue,” gumamnya sambil mengelus pipinya itu. “Ck. Tapi gue tetap enggak percaya kalo gue udah nikah,” katanya sambil menghentakkan kakinya. “Saya akan buat kamu percaya,” kata Jean yang sejak tadi memerhatikan Liora dan tingkahnya berbicara di depan kaca jendela itu. Liora menghela napas pelan, kemudian berjalan masuk melewati Jean yang berdiri diambang pintu. Ketika menyentuhkan kakinya ke dalam, Liora melongo melihat betapa besarnya rumah itu. Padahal dari luar terlihat kecil seperti rumah biasa. Ketika masuk, Liora bisa melihat foto di bingkai raksasa yang ada di ruang tamu. Itu fotonya dengan gaun pengantin berwarna putih, dengan buket bunga di tangannya, serta Jean yang berdiri di sampingnya. Jika melihatna, Liora sudah tidak bisa mengelak lagi bahwa dia memang sudah menikah. Liora menghela napas berat. “Oke. Itu cukup jadi bukti kalo gue memang udah menikah.” Wanita itu berbalik ke belakang dan menatap Jean yang juga menatapnya. Keduanya tidak mengatakan satu kata pun. Hanya saling menatap. Liora pikir, Jean sudah mengerti hanya dengan tatapannya saja, tapi ternayata tidak.”Maksudnya, tuh, di mana kamar gue?” kata Liora menjelaskan tatapannya tadi. Ya, tidak bisa dibilang salah Jean karena tidak mengerti. “Jangan ‘gue’, tapi ‘aku’.” Wanita mengangguk. “Iya, kamar aku di mana?” “Kamar kita,” koreksinya lagi. Pria itu mengambil koper Liora kemudian membawanya menaiki tangga. Tentu saja Liora mengikutinya. Sampailah mereka di lantai dua, kemudian masuk ke dalam sebuah kamar yang begitu luas, dua kali lipat dari kamarnya di rumah. Sebuah tempat tidur king size menyapa matanya. Sofa dan sebuah meja kerja berada di dekat pintu yang menuju balkon. Kamarnya tdak terlalu ramai dengan perabotan, hanya ada beberapa vas bunga dan bingkai foto. “Oh, ya. Bibi yang kerja di sini lagi pulang kampung karena anaknya sakit, jadi untuk sementara kita berdua yang urus rumah, ya. Kamu enggak keberatan?” Liora menggelengkan kepalanya. “Biasa aja, sih. Gue … eh, aku udah biasa jadi babu di rumah. Kecuali masak. Aku enggak bisa masak.” “Iya, saya tahu.” “Tahu apa?” “Kamu enggak bisa masak.” Seketika Liora berpikir, apakah selama enam bulan pernikahan itu dia tidak pernah memasak untuk suaminya? Sungguh kasihan sekali Jean. “Saya mau buat makan malam, kamu bisa mandi dulu kalau mau.” “Oke.” Jean tersenyum, kemudian keluar dari kamar dan turun ke bawah. Jean menyentuh cincin pernikahannya, mengusapnya pelan. Dalam hati pria itu bersyukur Liora bisa kembali ke rumah ini. “Saya enggak akan membiarkan kamu meninggalkan rumah ini lagi, Liora. Enggak akan selama saya masih hidup di dunia ini.” *** Liora keluar dari kamar mandi, dengan rambut basah dan wajah yang lebih segar. Dia melirik ke arah jam di dinding kamar. “Waw, rekor terbaru gue mandi enggak sampe dua jam. Gue harus abadikan,” katanya mengambil ponselnya di atas tempat tidur kemudian melakukan selfie. Hasil jepretan itu dia kirimkan ke dalam grup chat yang berisi dirinya, Fania, dan Hellen. Di bawah foto yang dia kirim, Liora juga menambahkan caption. Rekor terbaru, gue mandi Cuma 50 menit. Tolong kasih gue tapuk tangan. Begitulah captionnya. Fania membalas beberapa menit setelahnya. Fania Tepuk tangan Hellen Iyain aja, deh, Terserah lo, Ra. Liora tertawa pelan. Wanita itu menaruh ponselnya kembali ke atas tempat tidur. Setelah menyisir rambutnya, ia turun ke bawah. Ketika melangkah menuruni tangga, aroma lezat menyapa indera penciumannya. Liora mempercepat langkahnya, kemudian melongo melihat meja makan sudah penuh dengan beberapa piring berisi lauk. Matanya berbinar, kemudian duduk di kursinya. “Waw, ini Kak Jean yang masak semuanya?” tanya Liora takjub. Jean tersenyum. “Iya.” “Serius? Dari wajah Kakak kelihatannya ambis banget, kaya orang-orang sibuk. Enggak nyangka bisa jadi orang dapur juga.” “Memangnya kalau orang sibuk, enggak bisa masak, ya?” “Biasanya, sih, gitu.” “Tapi saya bukan salah satunya.” Jean menaruh piring dengan nasi ke meja did depan Liora. “Dan, jangan panggil saya Kakak.” “Terus, saya harus panggil apa? Abang? Pak? Mas? Aa?” “Jean, panggil aja pakai nama saya. Umur kita Cuma beda tiga tahun, jadi enggak masalah.” “Justru karena beda 3 tahun jadi harus dipanggil lebih sopan,” kata Liora sambil menyendokkan sayur ke atas piringnya. “Saya enggak mau jadi istri durhaka, meskipun sampai sekarang saya masih enggak percaya kalo udah jadi istri.” Jean terkekeh. “Kalau gitu, terserah kamu aja mau panggil saya gimana.” Liora mengangguk. Wanita itu langsung melahap makanan yang ada di piringnya. Bohong jika Liora bilang makanan yang dimasak Jean tidak enak. Benar-benar sesuai dengan seleranya. Melihat Liora makan dengan lahap, dia jadi mengingat kenangan ketika pertama kali Liora mencicipi masakannya kala itu. Ekspresinya benar-benar mirip. Meskipun Jean mengakui bahwa sikap Liora hampir berubah. Liora yang dulu menikah dengannya sangat pemalu dan jarang bicara. Bagaimanapun Liora sekarang, Jean tetap mencintai wanita itu. “Pelan-pelan, Ra. Nanti kesedak.” “Ini enak banget,” ungkapnya setelah menghabisi setengah piring. “Tapi aku enggak sanggup habiskan. Perutku udah penuh. Kakak enggak makan?” tanya Liora yang melihat Jean hanya duduk menatapnya. Jean mengambil piring Liora, kemudian menaruhnya di wastafel. “Saya sudah kenyang,” katanya sambil mencuci piring. Liora jadi tidak enak melihatnya. Rasanya seperti Jean sedang ia jadikan pembantu rumah. Akhirnya, wanita itu berjalan, merebut piring yang ada di tangan Jean kemudian melanjutkan mencucinya. “Biar aku aja yang bereskan. Kan tadi kakak udah masak. Cuci piring doang, aku bisa.” Jean tersenyum lagi. Tidak bisa dipungkiri bahwa kebersamaannya dengan Liora lagi benar-benar seperti mimpi. “Nanti lauk-lauknya di tarus di kulkas aja. Kalau kamu lapar bisa dihangatkan. Untuk sayurnya, taruh aja di meja. Nanti saya makan.” “Oke, siap. Ya udah, aku bisa ditinggal, kok, enggak perlu dilihatin. Dijamin piringnya bersih,” kata Liora. Jean akhirnya meninggalkan istrinya itu dan duduk di sofa sambil membuka ipad nya untuk memeiksa dokumen-dokumen kantor yang tidak dia baca kemarin. Perusahaannya memang sempat jatuh, namun dia berhasil membangkitkan kembali Unicon—perusahaannya. Jean membenarkan letak kacamatanya yang semakin lama semakin turun. “Kak Jean, ini punya siapa?” teriak Liora dari arah dapur. Jean menoleh, melihat sebuah es krim strawbei di tangan Liora. “Kamu makan aja. Itu punya saya.” Liora tersenyum, kemudian membuka bungkus es krimnya. Wanta itu berjalan menghampiri Jean di sofa. Liora duduk di sofa satunya, melahap es krimnya dengan senang, sambil sesekali melirik Jean yang sibuk menatap layar ipad. Dalam hati, Liora ingin sekali mengingat bagaimana mereka bisa menikah. Jujur saja, untuk seukuran wanita yang tidak terlalu cantik sepertinya, agak mengejutkan bisa mendapatkan suami tampan dan mapan seperti Jean. “Kak, boleh aku tanya?” Jean mendngak menatap Liora sebentar, kemudian mengangguk dan menaruh ipadnya. “Tanya apa?” “Bisa sambil lihat ipad nya, kok. Enggak usah lihat ke aku.” “Enggak apa. Saya mau lihat kamu.” Liora menyilangkan kedua tangannya, menatap wajah tampan Jean beberapa menit, sebeum akhirnya wanita itu berbicara. “Gimana bisa aku nikah sama Kak Jean? Aku, tuh, bukan tipe orang yang mau menikah muda kalau enggak ada satu alasan yang memang terpaksa bikin aku melakukannya.” Senyum Jean menghilang. Dia tidak tahu harus mengatakannya bagaimana, tapi jika disembunyikan pun, suatu saat Liora akan mengingatnya. “Eng, karena kita dijodohkan.” “Selain itu?” “Enggak ada.” Liora mengernyit. “Seriusan? Sepasrah itukah aku dulu sampe dijodohin aja mau nikah?” Jean mengangguk. “Kita enggak punya pilihan saat itu, Ra. Jadi kita harus menerima perjodohannya.” “Kenapa enggak punya pilihan?” “Karena ayah kamu. Sebelum ayah kamu meninggal, dia minta aku menikahi kamu.” “Ayah aku?” Liora ingat, ayahnya meninggal satu tahun lalu. Tapi tidak ingat pernah memintanya menikah dengan seseorang yang telah dijodohkan dengannya. “Ayah aku meninggal setahun lalu. Kita menikah enam bulan lalu. Enam bulan sebelumnya, Kakak ke mana?” “Memikirkannya.” “Tentang pernikahan itu?” “Ya.” “Terus gimana bisa aku terima? Enam bulan itu aku ngapain? Harusnya, sih, kalo melihat prinsip hidupku, aku pasti kabur.” Jean tersenyum simpul. Kamu memang kabur, Ra. Dan karena itu saya harus ninggalin perusahaan untuk cari kamu. “Kamu juga memikirkannya, sama seperti saya. Tapi dengan cara berbeda.” “Oke, kita ganti pertanyaannya. Kenapa saya bisa kecelakaan?” Jean mematung. Bagaimana dia harus mengatakannya soal itu? Jika mengatakannya sama seperti membiarkan Liora membencinya lagi, maka satu-satunya pilihan adalah tetap menyembunyikannya. Sebuah telepon mengalihkan keduanya. Ya, ponsel Jean berbunyi. Dion meneleponnya. Untuk kali pertama dalam hidupnya, dia sangat bersyukur Dion meneleponnya. Itu bisa memberinya waktu memikirkan cerita apa yang harus dia katakan untuk menutupi kenyataannya. “Saya terima telepon dulu. Kamu istirahat duluan aja.” Liora akhirnya mengangguk patuh. Sebenarnya dia memang penasaran kenapa dia sampai bisa kecelakaan. Tapi, untuk saat ini tidak terlalu. “Eh, tunggu. Jadi gue harus tidur bareng dia?” Liora terdiam selama beberapa saat, memikirkan dari kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika dia tidur dengan Jean. Tapi kalau dipikir-pikir, harusnya dia dan Jean, pernah melakukannya, kan? Mungkin bagi beberapa orang, terbangun dari koma dan tiba-tiba memiliki suami tampan adalah sebuah berkah. Tapi bagi Liora, itu seperti sesuatu yang tidak bisa diterima otaknya. Liora juga merasa sangat aneh tentang amnesianya. “Kenapa gue Cuma lupa soal Kak Jean? Kenapa yang lain enggak?” gumamnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Harusnya itu jadi hal penting yang gue ingat. Ini pernikahan, loh. Enggak lucu banget yang gue lupain malah pernikahan gue.” Liora memutuskan kembali ke kamar meskipun di otaknya penuh sekali dengan hal-hal yang sampai detik itu belum dia mengerti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD