Bab 4

1386 Words
Malika mendengar suara tapak sepatu yang berlarian menuju ruangan pengangkat, tangannya spontan menekan tombol membuka pintu agar orang itu punya waktu untuk mengejar. Orang itu adalah Nazmi yang berlari mengejar Malika. Pria tersebut masuk dan berdiri di samping wanita yang merubah sikapnya karena menurut Malika pekerjaannya telah selesai. Kini mereka seperti orang asing, hening tanpa percakapan apa pun. Profesionalisme Malika terjaga, itu yang membuat Nazmi senang. Nazmi menekan tombol lantai 12. Malika tahu, itu adalah lantai favoritnya untuk bermalam di hotel miliknya ini. Malika tidak menggubrisnya karena tujuannya adalah lantai 1. Begitu lift terhenti di lantai 12, Nazmi langsung menggendong Malika dan membawanya keluar. Wanita itu terkejut dan tersenyum kaku menatapnya. “Kau mau apa?” tanyanya. “Menghukummu,” jawabnya kemudian membawa Malika ke lorong menuju kamarnya. Malika kira dia sudah lupa pada kesalahan yang sempat dilakukannya tadi. Malika tertawa dan mengalungkan tangan ke leher Nazmi agar tidak jatuh dalam gendongannya. Pengawalnya sudah berdiri di depan pintu lalu pria itu mengambil kartu dari tangan salah satu penjaga pribadinya untuk membuka pintu. Setelah digesek oleh Nazmi, pengawalnya membantu bosnya membuka pintu dan memberikan kartu itu lagi pada Nazmi, Malika menariknya dan membiarkan benda itu sementara di tangannya. Nazmi menurunkan Malika kemudian menutup pintu. Malika berjalan ke arah jendela. Nazmi membuka botol anggur yang ada di lemari, menuang anggur tadi ke gelas yang ada di atas meja, kemudian membawanya mendekati Malika. “Kau mau?” tawarnya. “Ya, terima kasih.” Malika menerima gelas tersebut dan meneguk isinya. "Nenekmu sakit apa?" "Penyumbatan jantung. Dia sedang di ruangan gawat darurat sekarang." "Aku benar-benar tidak bisa membantumu." "Ya, tidak masalah. Aku akan cari ke tempat lain." "Berapa banyak?" tanyanya lagi meski sudah menolak membantu. "200 juta." Nazmi tersenyum miring. "Kau mau menjadi istri abangku?" Pertanyaan yang sangat mengejutkan. Malika malah tertawa mendengarnya. "Kau bercanda? Bagaimana bisa aku menikahi pria yang tidak kucintai?" "Bisa, demi uang." "Oh, ayolah! Kalau denganmu mungkin aku mau." Nazmi tersenyum lebar. "Aku tidak bisa mencintai wanita." "Kalau begitu aku menolaknya." "Maka nenekmu tidak akan tertolong nyawanya." Malika menelan anggur dalam rongga mulutnya yang baru saja diminum. Suaranya terdengar sangking terkejut mendengar ucapan itu. Malika tidak menyangka kalau pria di sampingnya salah satu spesies manusia paling tega di dunia. Uangnya sangat melimpah, tapi tidak mau membantu dirinya. "Aku harus pulang." Malika tidak berselera lagi melayaninya meski hanya sebagai teman. Menurutnya tidak ada manfaat dia tetap di sini bila Nazmi tidak membantunya. Malika menaruh gelas yang telah habis isinya itu ke meja dan segera beranjak pergi. Saat wanita itu berbalik, Nazmi menariknya dan menghempas Malika ke kaca jendela. Nazmi melihat kedua matanya yang indah, serta bibir yang lembab berwarna nude itu. Malika tidak tahu hal yang akan dilakukannya setelah ini. bibirnya bergerak-gerak kecil kemudian matanya memperhatikan balik wajah tampan Nazmi. “Aku belum menghukummu karena telah memutar mata saat bersamaku,” bisiknya. “Aku harus segera mencari pinjaman. Bisa kau lakukan dengan cepat? Hukuman apa yang akan aku jalani?” tanyanya. “Aku ingin mencium lehermu,” jawabnya. “Oke,” sahutnya kemudian menurunkan baju yang melingkupi lehernya itu, membiarkan pria tersebut melakukan keinginannya. Jika tidak, Malika tidak bisa keluar dari ruangan ini. “Aku tidak bisa leluasa.” Malika menelan ludah, memandang mata Nasmi dan mengetahui permintaannya. “Ada tambahan?” tanyanya. “Pasti,” jawab Nasmi. Malika membuka resleting pakaiannya dan membiarkan sisi atasnya terbuka. Hukuman yang diinginkannya adalah meniadakan penghalang di leher yang membuatnya geram. Setelah selesai menuntaskan kemauan Nazmi, Malika merapikan diri dan mengambil tasnya di meja. Nazmi menoleh dari tempat tidur, memperhatikan Malika mengambil tasnya. "Uangmu sudah kukirim saat berada di ruangan pengangkat tadi!" Malika terkejut, belum diceknya sejak masuk ke kamar ini. "Oke, terima kasih!" "Kau masih bisa hubungi aku jika kau berubah pikiran." Nazmi mengingatkan Malika akan tawaran menikahi abangnya. Malika berhenti tepat di belakang pintu karena ucapannya tersebut. Penawaran itu tidak semudah bibirnya mengucapkan kalimat yang telah terlontar. Pernikahan bukan hal yang patut dipermainkan. Malika hanya ingin semuanya terjadi sekali seumur hidup dan memastikan bahwa pria yang menemaninya adalah pria baik. Tidak berencana menyakiti hatinya dengan alasan apa pun. Malika keluar dari kamar, berjalan ke arah lift. Masuk ke dalam setelah pintu terbuka, lalu menekan tombol ke lantai satu. Dalam perjalanan, Malika menerima panggilan dari Tia bahwa neneknya siuman. Malika senang sekali mendengarnya dan mempercepat langkah untuk menghampiri neneknya tersebut. Sesampainya Malika di rumah sakit. Tia sudah menunggu di depan ruangan gawat darurat. "Siput! kau datang tepat waktu, Nenek sudah sadar. Kau bisa menjenguknya atas izin perawat." "Oke, aku akan meminta izin." Malika memberikan tasnya pada Tia dan mendatangi perawat yang bertugas. Mereka mengizinkannya walau hanya 10 menit paling lama. Malika menerimanya, ini kesempatan dia melihat neneknya. Tidak berapa lama kemudian suami dari nenek Malika datang. Tia menjelaskan keadaan istrinya. Syok sekali pria tua itu kala mendengar biaya yang diminta untuk melakukan operasi. "Dari mana kami uang sebanyak itu?" tanya kakeknya Malika. Tia sangat sedih sekali mendengarnya. Andai dia punya uang lebih, pasti dibantu dengan ikhlas. "Sabar, Kek! Semua akan ada jalannya. Malika duduk di kursi, tepat di samping tempat tidur neneknya. Menatap ke arah wanita yang setengah wajahnya tertutupi ventilator oksigen berbentuk mangkuk. “Malika,” sapa neneknya. “Oma, apa kabar?” Wanita itu tersenyum padanya. “Aku baik-baik saja. Kau jangan khawatir, Malika.” Malika mengangguk sedih, matanya berkaca-kaca menatap neneknya. “Oma, sehat lah! Aku janji akan membuatkan kue pai stroberi terlezat setelah Oma pulang,” katanya. “Haha, kau masih ingat makanan kesukaan aku?” Malika mengangguk. “Ya, aku ingat.” “Aku senang mendengarnya. Tetaplah ingat dan buat itu setiap bulannya, berikan pada opamu. Dia juga suka.” “Haha.” Malika tertawa ringan. “Ya, aku akan membuatkannya.” “Malika, jangan memikirkan penyakitku. Lepaskan saja dan jangan terlalu diperjuangkan.” “Tidak! Aku tidak akan membiarkan Oma terus di rumah sakit. Kita harus pulang,” sahutnya. Perlahan kondisi neneknya mundur karena mendengar semangat cucunya yang mustahil dilakukan dan mengeluarkan dia dari kata sakit, wanita itu tiba-tiba merasa sesak dan Malika segera mencari dokter atau perawat. Mereka berdatangan, Malika diminta menepi sebentar. Dokter memeriksa keadaan neneknya. Meminta perawat memberikannya beberapa obat agar sakitnya reda. Dokter menghampiri Malika. “Apa kau sudah mendapatkan biayanya? Kita harus melakukannya.” Malika menangis, dia kira ketika neneknya siuman, akan ada keajaiban untuk wanita itu sehat tanpa harus operasi. Ternyata dugaannya salah. Dokter masih terus mengatakan bahwa operasi adalah satu-satunya jalan. “Dok, jika saya bayar 50 juta di awal, apa bisa segera dilakukan?” “Kapan kau melunasinya?” “Secepatnya, aku janji!” jawab Malika yakin. “Baiklah. Segera bayar ke administrasi dan buat catatan atas namaku di sana sebagai orang yang menjamin pelunasan, tapi kau harus melunasinya.” “Ya, Dok! Aku janji,” sahutnya memegang leher dan mencubit sedikit bagian depannya sebagai bentuk kejujuran. “Oke.” Malika segera keluar dari ruangan dan menghampiri Tia. Kakeknya kebetulan ada di sana. Pria itu bertanya mengenai keadaan istrinya. Malika memeluknya dan mengatakan bahwa istrinya harus segera dioperasi. “Kita tidak punya uang sebanyak itu, Malika!” “Opa, aku akan mencarinya.” “Malika, jangan melakukan hal buruk!” “Tidak, Opa. Aku akan mencari jalan terbaik.” Malika minta izin membawa Tia menjauhi kakeknya. Malika mengatakan bahwa dia akan menerima tawaran dari sahabatnya itu untuk membayar 50 juta dengan uangnya. Tia setuju, demi nenek yang sudah dianggapnya juga seperti nenek sendiri, Tia akan mengirimkannya uang itu sekarang juga. Malika mengurus persetujuan operasi itu. “Mai, sisanya bagaimana?” tanya Tia. “Aku punya 52 juta di ATM. Besok aku ambil sebagai tambahan. Tia, aku tahu ini sangat gila, tapi hanya ini jalan satu-satunya,” jawab Malika. “Apa itu?” Tia merasa curiga. “Aku akan menerima tawaran dari Nazmi.” “Tawaran apa?” “Menjadi istri abangnya.” “HAH?” Tia kaget bukan main. “Kau sinting! Jangan Siput! Itu pasti sebuah jebakan,” lanjutnya. “Tia, demi oma, aku akan melakukannya.” “Siput, aku tidak setuju.” “Keong, percaya padaku.” Tia menggeleng, tetap tidak setuju pada keputusan sahabatnya. Namun, Malika pergi begitu saja dan berlari secepatnya setelah membayar uang depan operasi neneknya menggunakan kartu debit milik Tia. Tia melihat Malika sampai pelupuk matanya tak lagi mengikuti bayangannya. “Malika, kau tidak boleh melakukan itu!” ucap Tia ketika sahabatnya sudah pergi dan tak lagi bisa dilihatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD