Bab 2

1049 Words
Setahun yang lalu. Klining! Suara bel berbunyi dari pintu masuk, pelayan menyapa ramah pembeli yang datang dan menghampirinya. “Mau bawa pulang atau menikmati menu kami di sini, Mba?” tanya seorang wanita berketurunan Rusia dengan wajah bundar itu. “Saya ingin duduk, teman saya sedang dalam perjalanan,” jawab wanita muda berumur sekitar hampir 30 tahun tersebut. “Silakan ikut saya,” ucapnya mengantarkan pembeli tadi ke meja kosong di lantai 2. Dia memberikan menu dan mencatat pesanannya kemudian meminta wanita itu menunggu selagi pesanannya dibuat. “Meja nomor 45, satu minuman moka krim dan roti panggang isi keju rosella seporsi, gak pake lama,” ujarnya tersenyum lebar, matanya sampai menyipit, tangannya menggulung kembali rambut yang keluar dari jepitannya. “Oke, Malika.” Suasana kafe sangat ramai. Hampir tidak ada tempat kosong sore ini. Mereka, para karyawan sangat sibuk melayani para pengunjung. Tiba-tiba saja, teleponnya berbunyi. Malika meletakkan papan pesanannya di meja dan mencari tempat sepi untuk menjawab panggilan tersebut. “Halo!” sapanya ramah. “Malika, nenekmu masuk rumah sakit!” ucap seorang wanita yang merupakan sahabat dekatnya. “Apa? Aku akan segera ke sana!” sahutnya kemudian mendatangi bosnya untuk minta izin ke rumah sakit. Pria itu mengizinkannya kemudian Malika segera ke ruang ganti, memasukkan celemek serta topinya dan mengambil tas dari dalam loker lalu langsung pergi. Malika berlarian menuju motornya dan pergi dari sana. Dengan kecepatan penuh, wanita itu melaju agar sampai ke rumah sakit dalam waktu singkat. Seperti orang kesurupan, Malika menerobos semua orang yang berdiri di tengah lorong yang menghalangi dia jalan. Tiba lah dia di depan ruang ICU. Malika melihat ke arah kaca, neneknya sedang tidak sadarkan diri, semua alat penyelamat sementara menempel di tubuhnya sedang aktif bekerja. Seorang wanita datang menghampiri dan memeluknya dari samping. “Siput, sabar ya,” ucap Tia, sahabatnya. “Keong, aku sangat sedih, hanya dia dan kakek yang aku punya sekarang. Mereka harta terbaikku.” “Iya, Siput. Aku paham. Kau harus kuat!” Malika mengangguk, menangis dalam pelukannya. Seorang perawat keluar dari ruangan dan memanggil keluarga pasien. Malika mendekat dan diminta ke ruangan dokter untuk mendengarkan penjelasannya. Malika dan Tia duduk di hadapan dokter tersebut. Wajahnya tidak senang, menatap ke arah lembaran hasil pemeriksaan dan melepas kacamatanya. “Nenek kamu harus segera dioperasi. Jantungnya bermasalah dan butuh penanganan.” Malika terkejut, wajahnya meringis sedih. “Ta-tapi, kami tidak punya biaya, Dok!” “Saya juga berat mengatakannya, asuransi mereka dari perusahaan sudah tidak menanggung pengobatan dalam jumlah besar. Untuk rawat inap dan obat, mereka bisa menanggungnya, tetapi untuk operasi, tidak.” Malika tidak mampu bicara rasanya, tapi dia masih ingin berusaha. “Be-berapa biaya operasinya, Dok?” tanya Malika. “Sekitar 200 juta,” jawab dokter itu. “Oh, tidak,” sahutnya lemas, tidak bisa berkata apa-apa lagi. “Kami akan mengusahakannya, Dok! Kami mohon izin.” Tia mengambil alih pembicaraan dan membawa sahabatnya keluar. Tia hanya bisa membantu sebanyak 50 juta, tabungannya ada dalam jumlah segitu. Malika tidak tahu harus ke mana mencari kekurangannya Wanita itu sementara hanya bisa duduk lemas dan tidak mau makan bahkan minum. Malika masih berada di rumah sakit, sendirian tanpa teman. Tia sedang menjalani sidang akhir kuliah dan kakeknya lagi berusaha mencari pinjaman ke sana ke mari. Ponselnya berdering, Malika menyeka sudut matanya dan segera menjawabnya. “Halo, Pak!” jawabnya. “Thara, apa kau masih butuh pekerjaan sampingan?” tanya pria yang menjadi lawannya berbicara. “Ya, Pak! aku sangat butuh.” “Aku tunggu nanti malam di hotel Rosieart jam 7. Aku akan mengirim orang untuk memberikan kau baju dan perlengkapan lainnya. Tampil memukau seperti biasa, aku butuh kau!” ujarnya. “Iya, Pak! aku akan laksanakan,” sahutnya kemudian panggilan terputus. Malika melihat jam tangannya, masih ada waktu sekitar tiga jam lagi sebelum waktu yang ditentukan. Ponselnya kembali berdering, dari nomor berbeda dan menanyakan keberadaannya. Dia adalah pengawal dari pria yang baru saja menghubunginya. Malika menemuinya di halaman parkir rumah sakit dan menerima dua tas kertas berwarna hitam. “Saya akan jemput jam 6 sore,” ucapnya. “Ya, Pak! Akan saya tunggu.” Malika segera menghubungi sahabatnya untuk menjaga neneknya selama dia pergi. “Kau mau ke mana?” tanyanya. “Aku dapat tugas baru, setidaknya ada tambahan untuk biaya pengobatan nenekku.” “Semangat, Siput!” “Makasih, Keong!” Malika segera pulang dan bersiap-siap untuk pekerjaan musimannya. Malika siap dengan tampilannya di balik gaun berwarna hitam berbahan kilau, pas dibadan, memperlihatkan bentuk tubuhnya yang sangat seksi meski tampilan depan cukup tertutup, gaya potongan di atas, menutupi leher jenjangnya yang mulus, lengannya hanya selebar empat jari dari bahu. Panjang gaun itu selutut, belahan yang lumayan tinggi di kanan membuat kaki Malika yang indah itu terlihat memukau. Bagian belakang cukup nakal. Ada tali yang menghubungkan sisi kanan dan kiri tubuhnya, jalinan tersebut membuat bagian tubuh belakang menjadi sangat indah. Terbuka sampai ke pinggul. Untuk rambut, Malika hanya menggulungnya ke atas, melilit rambutnya dengan pita mutiara. Beberapa helai dibiarkannya tergerai di sisi dekat telinga. Anting tusuk permata duduk manis di telinganya. Riasan wajahnya juga tidak terlalu berlebihan, bahkan bibirnya dia berikan sentuhan merah muda dengan polesan tebal, sedikit keluar dari jalur agar membuat bibirnya seperti Kim Kardashian. Ya, pria yang membayarnya mahal ini memang lebih suka pada gaya barat ketimbang oriental. Tak sulit bagi Malika mengikuti kemauannya. Sepatu tinggi keluaran merek terkenal dunia telah melindungi jari-jarinya, mengiringi langkah menghentak bumi dengan sombongnya. Malika sudah berada di bagian depan hotel, menunggu dekat meja resepsionis, pria yang memintanya datang untuk menemui dirinya sedang melihat layar gawai. Malika memperhatikan wajahnya di cermin, tidak akan ada yang mengenalinya di balik riasan ini. Dirinya seperti sedang berkamuflase menjadi orang lain, aslinya Malika adalah wanita polos yang lebih suka wajahnya menghirup udara bebas tanpa tumpukan riasan. Wanita itu menyandarkan kedua sikunya di meja resepsionis yang terletak di belakang tubuhnya. Menatap lampu gantung hotel yang sangat mewah, kristal yang menghiasinya pasti lah sangat mahal harganya. Malika bahkan berpikiran untuk mencurinya dan menjual benda itu untuk biaya pengobatan neneknya. Ah, harusnya dia tidak punya ide bodoh seperti itu. Malika akan memanfaatkan pria tampan ini sebagai ladang uangnya. Semoga berhasil! Malika harus mampu bekerja demi biaya neneknya. Hanya itu tujuannya saat ini. Malika menutup matanya, mengarahkan wajahnya ke depan. Rahangnya mendongak ke atas dengan sombongnya. Telinganya aktif mendengar suara pintu ruangan pengangkat berbunyi dan terbuka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD