02 - Merajuk

1029 Words
Vean berdecak singkat sembari tidak mengalihkan fokus matanya pada layar ponsel. Ia menunggu chat balasan dari Rezel, entah sudah berapa lama Vean duduk sendiri di parkiran sekolah. Ia merasa bodoh berdiam diri di tempat yang sudah mulai sepi ini. Jelas sekali, sekolah sudah dibubarkan sejak tadi. Dan dengan bodohnya Vean mengharapkan sesuatu yang belum pasti, jika bukan karena bermodal kasihan kepada Rezel, mungkin sejak lima menit sesudah bel pulang berdering, Vean sudah tancap gas meninggalkan area ini. Untung saja raganya sudah dipasoki oleh kesabaran yang ekstra, oleh karena itu menunggu Rezel yang tidak datang menemui dirinya tidak terlalu merepotkan. Vean menghela napas cukup panjang sebelum akhirnya ia tergelak kecil, mengecek layar ponselnya yang tiba-tiba saja menyala, dan itu sudah menjadi tanda apabila ada pesan masuk. REZEL: Vean, lo di mana? Dugaan Vean rupanya sama sekali tidak meleset bahwa pesan tersebut berasal dari Rezel. Tanpa menunggu lebih lama lagi, jempol tangan Vean langsung menari di atas papan keyboard untuk mengetik pesan balasan. VEAN: GUE DI PARKIRAN LAH, LO DI MANA? GUE UDAH NUNGGU LO LAMA BANGET ANJIR, GUE TUNGGU LO LIMA MENIT KALO NGGAK DATANG KE SINI, GUE BAKAL TINGGALIN LO, BODO AMAT! REZEL: Nggak usah pake capslock segala anjir. Gue lagi di ruang guru, bentar lagi gue nyampe. Kalo lo sampe ninggalin gue, nanti di rumah bakal gue sunatin lagi lo!" Di atas bodi motornya, Vean langsung bergidik ngeri sehabis membaca sederet pesan dari Rezel yang terpampang dengan jelas di layar ponselnya. Bodo amat jika dibilang alay, tapi itulah kenyataannya. Vean segera menggeleng, empat kata terakhir yang Rezel kirimkan sukses membuat bulu kuduk Vean meremang dalam kurun waktu yang begitu singkat. Benar, tidak lama setelah itu dapat Vean lihat seorang cewek berambut panjang sepunggung bewarna peach tengah berlari menuju ke arahnya. Itu Rezel. "Lo nunggu gue udah berapa lama emang?" tanya Rezel tidak lama kemudian. Ia berdiri tepat dihadapan Vean dengan kedua tangan yang memegang tali ransel. Vean mendengus, menatap malas ke arah manik Rezel, kemudian dilanjutkan memutar bola matanya dengan jengah. "Dari ratusan triliun abad yang lalu, waktu jaman dinosaurus masih berkeliaran di mana-mana dan manusia purba masih asik-asiknya bikin alat berburu pake batu," omelnya secara sarkastis dan dramatis. Dalam satu hentakan, Rezel mencebikkan bibir, lalu ia menampol pipi bagian kiri milik Vean seraya berkata, "nggak usah alay!" "Bebas dong, mulut-mulut siapa?" "Baperan banget lo jadi cowok," ucap Rezel, melangkah maju, lalu duduk di jok belakang motor Vean. "Terus, masalah buat lo?" "Iyalah." Setelah itu hening, Vean tidak menimpali ucapan Rezel lagi dan itu membuat Rezel sedikit jengkel. Vean mengacuhkannya, dan Rezel sama sekali tidak suka itu, setelah motor Vean berlari dari parkiran sekolah, Rezel mendengus. Cewek cantik itu tidak suka keheningan, ia merasa bosan jika terus-terusan begini. Vean belum kunjung membuka percakapan meskipun motor yang ditungganginya ini sudah melaju beberapa kilometer. Tidak kuat menahan, akhirnya Rezel menyerah, ia mengeluarkan suara, memecah keheningan yang sudah mengambil alih suasana dalam kurun waktu yang terbilang lama. "Vean, lo kok diem aja sih? Lo beneran marah sama gue?" Untuk memudahkan Vean menangkap suaranya, dengan inisiatif yang tinggi, Rezel berkata dengan kepala yang agak dicondongkan ke arah depan, lebih tepatnya ke telinga Vean. Walaupun sekarang Vean tengah menggunakan helm, namun itu tidak menutup satu kemungkinan bahwa cowok itu bisa mendengar ucapan Rezel. Mustahil Vean tidak mendengarnya, kecuali jika cowok berkulit putih dan beralis tebal itu memiliki kelainan pada telinga. "Nggak," jawab Vean singkat. Cukup keras, tapi nada suaranya yang keluar tidak disukai Rezel. Tentu saja, suara Vean terdengar jutek dan itu terlalu kontras apa yang telah dikatakannya itu. "Kalo nggak, lo ngapain dari tadi bawahannya emosi gitu, lo PMS atau gimana?" "Gue cuma kesel aja sama lo." "Kan gue udah bilang kalau gue ada urusan di ruang guru. Itu juga mendadak banget, lagian gue juga nggak ada waktu buat ngasih tahu ke elo," jelas Rezel, berusaha meyakinkan Vean agar tidak marah lagi kepadanya. "Emang urusan apaan?" "Urusan yang benar-benar nggak bisa gue tinggalin, Bu Ninuk nyuruh gue masukin hasil ulangan ke daftar nilai," jawab Rezel lagi. "Ouh." Rezel membuang napas dari paru-parunya, ia memutar bola matanya dengan jengah sebelum akhirnya menukas sebal, "kok respons lo gitu amat sih?" "Terus lo mau gue gimana?" "Maafin gue lah." "Harus banget?" "Banget, itu wajib hukumnya." "Tapi gue nggak mau," tukas Vean akhirnya. Dan kalimat itu membuat Rezel menahan napasnya untuk beberapa detik seraya mengepalkan tangannya. "Lo nyebelin banget sih?" ujar Rezel frustasi, saking kesalnya ia bahkan menghadiahi Vean dengan cubitan maut yang Rezel layangkan di bagian pinggang cowok itu. "Sakit bege!" omel Vean, berdesis singkat, kemudian melayangkan sorot mata mematikan yang dipantulkan lewat kaca spion. "Makanya maafin gue dong!" "Mana bisa gue maafin lo kalo lo-nya sendiri kek gitu," desis Vean sebelum memberhentikan motornya karena di depan sana rambu lalu lintas sedang menyorotkan lampu berwarna merah. "Terus gue harus gimana Vean Maurino Nugroho! Masa gue harus ngemis-ngemis nggak jelas ke elo? Kan nggak lucu!" ucap Rezel sedetik setelah motor Vean kembali melaju di kepadatan jalanan ibu kota. Sudut bibir Vean terangkat sedikit, ia berpikir sejenak, lalu ia pun menimpali ucapan Rezel lagi, "bagus juga ide lo, boleh dicoba tuh." Dengan cukup keras, Rezel menepuk pundak Vean. "Nggak lucu tau! Ogah banget, mending gue ngemis di jalanan dapet duit banyak daripada ngemis minta maaf ke elo." "Yaudah, keputusan kan emang ada ditangan lo." "Ih Vean, lo kok nyebelin banget sih dari tadi!" "Karena lo penyebabnya," jawab Vean singkat. "Iya-iya, gue bakal minta maaf sekarang." Separuh kesal, Rezel berkata sinis, ia mencebikkan bibirnya lagi. Dadanya bergemuruh, Vean sungguh menyebalkan, dan itu untuk kali pertama Rezel mendendam emosi kepada cowok yang tengah menyetir motor ini. "Gue tunggu," timpal Vean acuh. Lewat kaca spion, sorot mata mereka saling bertubrukan, Vean tersenyum singkat, lain dengan Rezel yang menyunggingkan sebuah senyuman yang mengembang sangat lebar. Terpaksa, senyuman Rezel itu hanya pura-pura untuk menutup hatinya yang tengah tidak bersahabat. "Vean yang ganteng kayak monyet, keteknya yang asem kayak jus jeruk di kantin, mulutnya yang bau banget karena nggak sikat gigi selama sebulan, dan Vean yang masih jomlo karena nggak laku, lo mau, kan maafin Rezel Angelina yang cantiknya mirip mbak Ariana Grande meskipun bodinya tidak seseksi mbak Gigi Hadid?" "s****n lo!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD