Chapter 6

2120 Words
Keesokan harinya Attala berangkat kerja ke Kantor seperti biasa, lelaki itu langsung datang ke ruang kerja sang Bos sesuai obrolan mereka kemarin. Sesampainya Attala di ruang kerja Bosnya lelaki itu langsung di sodorkan sebuah kontrak oleh sang Bos yang memang sudah lama ia persiapkan. Attala pun membaca seluruh isi kontrak tersebut secara mendetail yang sama persis seperti apa yang telah di sampaikan oleh sang Bos. Setelah itu Attala mulai menandatangi kontrak tersebut di atas materai yang sudah di tempel di pojok bawah kanan. “Oke Attala, ini adalah informasi tentang penulis novel horor yang sempat kau minta kau minta kemarin,” seru sang Bos sambil memberikan sebuah file yang berisi tentang informasi Elana di dalamnya. Attala tersenyum malu kala mengingat perilaku bodohnya dari balik telefon. “Baik Pak terima kasih, saya akan mulai mewawancarinya mulai hari ini,” kata Attala yang ingin segera menemui wanita tersebut sebelum jam makan siang agar pekerjaannya pun segera terselesaikan. “Aku akan menunggu berita selanjutnya darimu tapi aku hanya mengingatkan kalau pekerjaan ini akan terasa sedikit sulit karena wanita ini tak mudah di temui apalagi di wawancarai mengingat sempat ada hal buruk yang terjadi dengannya dan juga salah seorang Jurnalis.” Kata sang Bos mengingatkan hal yang mungkin sudah Attala ketahui sebelumnya. “Baik Pak, saya akan berusaha sebisa mungkin untuk mendapatkan informasi tentang penulis tersebut.” Attala pun bangkit sambil menggenggam file yang tadi diberikan oleh sang Bos. Lelaki itu berjalan keluar dari ruang kerja sang Bos dan kembali ke meja kerjanya untuk mengambil tas ransel miliknya. “Eh baru aja sampai Kantor, Lo mau kemana Ta?” tanya Rudi saat melihat Attala yang baru saja ingin pergi meninggalkan Kantor. Attala tersenyum sambil membuka tasnya dan mengambil sebuah novel karya Elana yang membuatnya terbuai kemarin hingga lelaki itu membacanya berkali- kali. “Lo terima tawaran dari sih Bos, Ta?” tanya Rudi dengan binar mata bahagia. “Iya doakan Gue ya biar berhasil kerjakan tugas sih Bos,” kata Attala sambil menempelkan novel tersebut di depan d**a Rudi. Rudi menatap heran ke arah Attala. “Terus ini apa?” tanya Rudi. “Ya buat Lo bacalah Rud, katanya susah dapetin ini novel,” ucap Attala yang di sambut senang oleh Rudi. “Ah terima kasih Ta, Gue doa kan semoga kerjaan Lo nanti lancar ya.” “Sip terima kasih ya, sekarang Gue jalan dulu.” Pamit Attala sambil melambaikan tangan dan berjalan menuju area parkir untuk mengambil mobilnya. Dengan rasa semangat dan percaya diri Attala berangkat untuk menuntaskan tugasnya seperti biasanya. * * * Pukul sembilan lewat tiga puluh menit Attala sampai di perumahan Green Field, Kavling nomor 9. Kedatangan Attala di sambut oleh seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah pembantu rumah ini. Attala di suruh menunggu sang pemilik rumah yang baru saja mandi sambil menikmati minumannya di ruang tamu. Perasaan Attala pun campur aduk bukan karena interior rumah tersebut yang seram malah bisa di bilang rumah ini cukup nyaman seperti rumah lain pada umumnya. Yang membuat perasaan Attala menjadi tidak karuan karena harus berhadapan langsung dengan sosok Elana. Ia sebenarnya tak yakin kalau wanita tersebut akan menerima maksud kedatangannya ke Rumahnya saat ini. Attala menenggak segelas jus jeruk yang memang telah di siapkan oleh sang Bibi untuknya. Saat Attala meletakkan gelas tersebut ke atas meja, datanglah sang pemilik rumah dengan pakaian sederhana lalu duduk di hadapannya. “Maaf anda siapa? Dan ada keperluan apa anda datang ke sini?” tanya Elana langsung pada intinya. “Perkenalkan nama saya Attala Arion dari perusahaan Samudra Angkasa, kedatangan saya ke sini ingin mewawancarai Nona Elana untuk mengisi salah satu artikel di media cetak kami.” Jelas Attala sambil menyodorkan tangannya bermaksud untuk berkenalan serta menjalin kerja sama dengan Elana untuk wawancara wanita tersebut. Saat mendengar nama perusahaan yang di sebut lelaki yang ada di hadapannya. Elana menarik nafas lalu membuangnya malas karena ini sudah perusahaan yang ke sebelas yang mungkin akan masuk daftar penolakan terkait wawancara dengannya tahun ini. “Aku minta maaf kepada anda sebelumnya karena aku tidak berminat untuk di wawancarai saat ini,” tolak Elana halus tanpa berjabat tangan dengan Attala. Attala menelan Saliva nya secara perlahan dan menarik tangannya kembali. Lelaki itu berusaha untuk tetap tersenyum di hadapan Elana. “Tapi mungkin kita bisa melanjutkan wawancara anda di lain hari saat anda sudah siap saja, Nona Elana.” Attala berusaha untuk memberikan tawaran untuk Elana yang mungkin keberatan untuk melakukan wawancara hari ini. Elana tersenyum miris menatap lelaki di hadapannya yang sepertinya masih berusaha membujuknya. “Apakah kau pernah mendengar kabar tentangku yang menilai kalau aku adalah wanita yang tidak waras? Apakah mungkin nanti kau juga akan menuliskan hal yang sama dengan apa pernah di kabarkan tentangku juga?” tanya Elana. Attala memutar otaknya untuk menyusun kata- kata yang mungkin tidak akan menyinggung perasaan Elana nantinya. Elana memperhatikan raut wajah Attala serta urat nadi samar yang terlihat di punggung tangan Attala yang menonjol, hingga wanita itu bisa nilai kalau sosok Attala adalah seorang pekerja keras. “Aku pernah mendengar kabar buruk tentangmu namun rasanya tak adil jika aku berpikir tentang hal tersebut kepadamu, lagi pula setelah mengobrol denganmu aku tidak merasakan hal yang aneh,” jawab Attala dengan penuh keyakinan. “Lalu apakah kamu menilai merasa yang tidak waras saat mewawancarai saya?” tanya Elana yang terdengar menjebak untuk Attala kali ini. Attala pun juga tak bisa menilai kalau sebenarnya Jurnalis yang mewawancarai Elana tidak waras. “Maaf tapi aku tidak mengetahui tentang Jurnalis yang mewawancarai mu dan menilai kalau ia tidak..” belum selesai Attala melanjutkan ucapannya Elana berniat iseng untuk berpura- pura melihat sosok arwah yang berada di rumahnya. Dan benar saja Attala nampak bingung dengan perilaku Elana yang berubah sama seperti wanita yang ia lihat beberapa waktu lalu di taman. “Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Attala khawatir. “Ah aku melihat sosok anak kecil yang sedang berdiri di pojok sana,” seru Elana sambil menunjuk salah satu sudut bagian rumahnya dan Attala pun menoleh namun tak mendapati apa pun di sana. Attala kembali melihat raut wajah serta bahasa tubuh Elana yang bisa menampilkan sebuah kebohongan karena dahulu Attala sempat belajar tentang ilmu psikologi. “Kamu sedang berbohong bukan?” tanya Attala kesal lalu Elana tertawa lepas melihat ekspresi wajah lelaki tersebut. “Waw kamu hebat sekali mampu menilai kalau apa yang aku lakukan tadi itu sebuah kebohongan,” kata Elana lagi sambil tertawa dan menepukkan kedua telapak tangannya. Namun saat Elana melihat ekspresi kesal yang di tunjukkan Attala, wanita itu melihat sosok gadis kecil mungil serta sangat bercahaya sedang berjalan mendekati sosok Attala dengan tatapan mata yang marah melihat dirinya yang puas menertawakan Attala. Kali ini Attala merasa geram saat kembali melihat ekspresi wajah Elana yang nampak seperti sedang melihat sesuatu. Namun kali ini Attala tak memperdulikannya dan berniat untuk segera pergi dari rumah itu sebelum emosinya meledak saat menghadapi Elana semakin jauh. “Maaf Nona Elana, sepertinya obrolan kami tidak bisa dilanjutkan hari ini karena saja ada keperluan lain yang harus saja jalani,” pamit Attala sambil bangkit dari tempat duduknya saat Elana melihat sosok gadis itu sedang memeluk lengan kaki Attala. “Tunggu..” seru Elana. “Maafkan saya Nona tetapi untuk saat ini keperluan saya sangat mendesak dan tak bisa meladeni candaan mu.” Ucap Attala tegas sambil berbalik meninggalkan Elana yang masih ingin menahannya. Entah kenapa Elana baru pertama kali melihat melihat sosok bercahaya terang seperti gadis kecil mungil tadi yang ia lihat pergi bersama Attala. Biasanya Elana hanya melihat sosok tak kasat mata berwarna gelap dengan pancaran kesedihan di wajahnya. Saat Elana tersadar dari lamunannya tentang sosok gadis kecil mungil tersebut dan mengejar sosok Attala yang sudah masuk ke dalam mobil serta beranjak pergi meninggalkan rumahnya. Elana sangat ingin berbicara serta mengetahui lebih dalam tentang sosok tersebut namun Elana bingung harus berbuat apa saat ini. wanita itu terlalu gengsi untuk mencari tahu dimana sang Jurnalis tinggal saat ini. Sementara Attala sedang menahan rasa kesalnya ketika mengemudikan mobilnya menuju rumahnya. Entah kenapa Attala selalu kesal saat mengingat bagaimana Elana tertawa puas dihadapannya tadi. Apakah di mata wanita itu sosok Attala adalah manusia bodoh seperti yang lainnya? Sedangkan sosok gadis kecil mungil tersebut kini sedang duduk di sebelah Attala sambil menangis melihat Kakaknya yang sedang kesal. Seakan gadis itu dapat merasakan apa yang sedang di rasakan sang Kakak. Sepuluh menit kemudian Attala sampai di rumahnya karena ternyata letak rumah Elana sangat dekat dengan letak rumahnya. Attala yang baru saja ingin menutup pintu gerbang rumahnya, melihat sosok Ibu Tumini yang mendorong kursi roda Suaminya dan menghampirinya sambil membawa rantang makanan. “Loh Ibu sama Bapak kenapa ada di sini?” tanya Attala sambil bersalaman dengan keduanya. “Ibu dan Bapak sengaja keluar rumah untuk mencari udara segar sambil membawakan makan siang untukmu dan kebetulan saja kamu sedang ada di rumah siang ini,” Kata Ibu Tumini sambil menunjukkan rantang bawaannya. Attala pun segera meraihnya agar beliau tak kerepotan saat memegangnya. “Ya ampun Ibu repot- repot sekali membawakan makanan untuk saya,” kata Attala yang merasa sungkan. “Tidak apa- apa Nak Attala karena kami berdua sudah menganggapmu seperti anak kami sendiri,” ucap Ibu Tumini sambil tersenyum ke arah Attala yang membuat lelaki itu tak tega membiarkan beliau menunggu lama sosok wanita yang mungkin dapat merubah hidup kedua orang tua renta yang ada di hadapannya. “Kalau begitu Ibu dan Bapak pamit pulang dahulu ya Nak Attala,” pamit Ibu Tumini. “Tunggu Bu, bagaimana kalau saya antar Bapak dan Ibu pulang ke rumah?” tawar Attala. “Tidak usah Nak, lagi pula kami masih ingin berjalan- jalan. Lebih baik kamu segera masuk ke dalam dan menikmati makan siangmu,” tolak halus Ibu Tumini yang membuat Attala tak bisa kembali memaksakan keinginannya mengantarkan keduanya pulang. “Baiklah Bu, kalian hati- hati di jalan ya,” seru Attala sambil melihat Ibu Tumini dan Suaminya pergi. Setelah cukup jauh barulah Attala kembali menutup pintu gerbangnya dan masuk ke dalam rumahnya sambil membawa rantang berisi makanan yang di masak Ibu Tumini. Siang ini Attala memutuskan untuk makan siang serta beristirahat sebentar lalu nanti ia akan kembali memikirkan untuk menemui Elana atau tidak. Setidaknya kali ini Attala ingin menenangkan diri sejenak serta meredamkan emosinya yang masih berapi- api. # # # Setelah kepergian Attala siang tadi, Elana masih saja sibuk dengan pikirannya tentang sosok gadis kecil mungil tersebut. Elana nampak tidak asing dengan wajah tersebut namun semakin di pikirkan hanya akan membuatnya pusing. “Permisi Non EL, maaf hari ini saya meminta ijin untuk pulang lebih cepat karena anak saya sedang sakit di rumah. Tapi segala pekerjaan dan beberapa keperluan makan malam Nona EL sudah saya siapkan serta hanya perlu di panaskan saja jika Nona ingin makan,” Jelas sang pembantu sambil meminta ijin kepadanya. “Ah baiklah tidak apa- apa Bi, tapi tunggu sebentar..” Elana bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke kamarnya untuk mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya. “Tolong terima uang ini ya Bi,” Seru Elana yang sudah berada di hadapan pembantunya sambil meraih tangan beliau dan meletakkan uang tersebut di genggaman tangan sang Bibi. “Ah Nona EL ini terlalu berlebihan, saya masih punya uang sisa gaji bulan ini untuk berobat anak saya,” jelas sang Bibi namun Elana menjawabnya dengan sebuah senyuman. “Aku mohon terima uang ini ya karena aku ingin membantu Bibi dan keluarga saja. Lagi pula hanya Bibi lah yang mau membantuku di sini,” kata Elana dengan nada memohon karena selama ini hanya sang Bibi yang mau bekerja di rumahnya dengan sangat tulus tanpa memperdulikan omongan tentang dirinya di luar sana. Sang Bibi sudah Elana anggap sebagai orang tua keduanya di sini. “Baik Non, terima kasih kalau begitu saya pamit pulang sekarang ya.” Elana pun menjawabnya dengan sebuah anggukan dan sang Bibi pun pergi meninggalkan dirinya. Elana pun melanjutkan makan siangnya lalu setelah itu ia berniat beristirahat sebentar sebelum ia kembali melanjutkan untuk menonton sebuah drama romantis yang sedang ramai di bicarakan. Beberapa menit kemudian saat Elana baru saja merebahkan dirinya, datanglah sosok hantu wanita yang menangis dan mendekati dirinya. Jujur saja Elana tak ingin berkomunikasi dengannya karena ia sudah mengantuk tapi ia tahu kalau sosok hantu tersebut akan terus menangis. Elana pun bangkit dari tempat tidurnya dan menuju dapur untuk mengambil dua buah ice cream coklat berbentuk cup untuk di nikmati oleh keduanya. Setidaknya Elana masih ingin menikmati waktu libur dengan tenang walau ia masih harus berkomunikasi dengan hantu. Elana meletakkan Ice cream coklat tersebut di hadapan hantu wanita itu lalu menyuruhnya untuk menikmatinya agar perasaannya menjadi lebih tenang walau Elana sendiri tahu kalau hantu itu tak memiliki perasaan apa pun saat sudah berpisah dengan jasadnya. Tapi Elana yakin kalau hantu ini masih mempunyai memori yang dapat membuatnya seolah merasakan kembali apa yang sedang ia lakukan saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD