Part 03. Perkelahian Pertama

1277 Words
Carlos memutar kunci rumahnya yang sudah terpasang di tempat kunci tepat, di bawah gagang pintu. Dia menarik keluar benda yang mempunyai ujung runcing itu, dan langsung memasukkannya ke dalam saku celana. Carlos memutar tubuhnya hingga posisinya saat ini membelakangi pintu kontrakannya. Dia menggerakkan tangan untuk menyugar rambutnya yang sedikit jatuh ke depan. Raut datar dengan tatapan mata yang tajam masih terpancar jelas di wajah remaja lima belas tahun bertubuh tinggi itu. "Los? Sekolah lu?" Sapa seorang laki-laki dewasa yang juga baru saja keluar dari dalam kontrakannya. Carlos yang memang sering di sapa dengan nama— Los di kawasan padat penduduk yang ada di Menteng ini menoleh. Tidak ada senyum di wajahnya, tapi kepalanya mengangguk sopan. "Iyah, bang. Ini baru mau berangkat." Carlos berbicara setelah menganggukkan kepalanya, membuat tetangga sebelah kontrakannya itu tersenyum. "Mantep— mantep— mantep," ujarnya beruntun dengan terus tersenyum, walau laki-laki dewasa yang saat ini sudah terlihat gagah dengan atasan kemeja penuh warna yang dipadukan celana kain kebesaran. "Bang Jon sendiri mau ke mana nih? Pagi-pagi udah rapi aja, enggak kerja bang?" Carlos bertanya dengan nada terdengar bersahabat, tapi raut datarnya masih setia tercetak di wajahnya. Laki-laki dewasa yang mempunyai nama lengkap Jono Wiharso itu tersenyum, "Libur Los. Ini Abang mau pulang kampung ketemu, mak." "Ke kampung mau pakai baju gituan?" tanya Carlos setelah menelisik pakaian Jono yang terlihat seperti seorang pekerja kantoran. "Yoi— gue kan bilang ke emak kalau di sini kerja di kantoran. Padahal aslinya lu tau lah." Bang Jono berucap sembari berjalan keluar dari teras rumahnya. Laki-laki dewasa yang kisarannya berusia dua puluh tiga tahun itu terlihat berjalan mendekat ke sebuah motor vespa warna biru, "Udah dulu ya. Bang Jon berangkat. Mau ke telepon umum buat ngabarin mak dulu. Nanti kalau ke siangan bisa berabe nunggunya," pamit Bang Jon sembari mengenakan helm. Carlos yang melihat itu hanya menganggukkan kepalanya, "Silahkan Bang. Gue juga mau berangkat, biasa hari pertama biar enggak telat," ucapnya ikut berpamitan sembari tangan kiri menunjuk ke sisi kanan, tepat di mana jalan keluar yang ada di kawasan padat penduduk tempat Carlos mengontrak sebuah rumah. "Enggak mau bareng Abang aja? Lu sekolah di SMK negeri Bisa Jaya kan?" Bang Jon menawarkan tumpangan ke Carlos, tapi remaja itu memilih menggelengkan kepalanya. "Saya nanti naik angkot aja bang. Tadi kan katanya mau buru-buru," ujar Carlos menolak dengan masih berwajah datar. "Iya juga ya. Kalau gitu Abang duluan yah. Baek-baek lu di sekolah." Bang Jon berucap sembari menarik tuas gas motor Vespa miliknya, hingga mengeluarkan suara khas kendaraan roda dua yang begitu terkenal di zaman ini. Carlos yang melihat kendaraan itu melaju lewat di depan rumahnya hanya bisa menutup hidung, karena itu loh. Asap yang keluar dari kenalpotnya membuat indera penciumannya terganggu. Remaja lima belas tahun itu mengipas-ngipas tangan satunya tepat di depan wajah, hanya untuk mengusir asap yang ditinggalkan motor vespa itu. Merasa indera penciumannya sudah tidak menghirup bau kenalpot lagi. Carlos kembali memposisikan kedua tangan di sisi pinggang, dan setelahnya. Dia mengayunkan langkah keluar dari teras rumahnya. Carlos berbelok ke kanan dan remaja laki-laki itu kembali melanjutkan langkahnya. Banyak sapaan yang dia terima dari ibu-ibu yang juga tinggal di kontrak padat penduduk itu, tapi Carlos yang memang tidak bisa mengatur ekspresi wajahnya hanya bisa menganggukkan kepala, tanpa menyunggingkan seutas senyum. *** Setibanya di luar kawasan padat penduduk. Carlos sekarang tengah berjalan menyusuri trotoar jl. Pangeran Diponegoro bersama beberapa pejalan kaki lainnya, bahkan ada juga beberapa orang yang menggunakan sepeda ontel. Pemuda itu berjalan dengan gaya angkuhnya, dan dia sama sekali tidak peduli dengan tatapan tajam orang-orang. Sekarang tujuannya adalah duduk di halte bus. Iya— Carlos tidak jadi naik angkot, dan dia lebih memilih menggunakan bus untuk pergi ke sekolah, "Permisi— apa saya boleh duduk juga?" Carlos berucap dengan nada datar, membuat beberapa orang yang sudah duduk di kuris panjang halte, menoleh ke arahnya. "Berdiri aja. Enggak lihat, tempat duduknya udah penuh?" jawab seorang ibu-ibu dengan nada sinis. Carlos yang mendengar itu tidak lagi mengeluarkan suaranya dan dia memilih mengikuti perkataan ibu-ibu galak tadi. Yaitu, berdiri. "Dasar anak muda enggak ada sopan santunnya bicara sama orang tua." Ibu-ibu berucap sinis itu mendumel dan Carlos tentu saja mendengar semua itu dengan jelas. "Begitu lah anak-anak muda. Pakaiannya saja anak sekolahan, tapi kelakuan mereka semua tidak ada bedanya dari para preman-preman jalanan yang sering menggangu." Seorang ibu yang duduk di sebelah menimpali, dan ibu yang berucap sinis tadi menganggukkan kepalanya seolah menyetujui penuturan wanita disebelahnya itu. "Iya— lihat aja gaya pakaiannya? Udah baju enggak dimasukin, rambutnya gondrong. Persisi banget kayak preman." Satu ibu-ibu lagi menimpali dan itu tentu didengar jelas Carlos. Namun, biar begitu. Pemuda remaja itu tetap berdiri dengan tatapan mata yang ketajamannya tidak berubah, pun ekspresi wajahnya masih sama. Datar dan terkesan menyeramkan. "Untung aja anakku enggak seperti dia." Carlos mulai menaikkan satu alis matanya, kepalanya menoleh ke arah ibu-ibu yang pertama kali berucap sinis kepadanya. "Benarkan anak ibu orang baik-baik?" tanya Carlos dengan ada dingin yang disertai tatapan mata yang teramat tajam. Sedangkan Ibu-ibu yang tadi mengucapkan kata-kata membandingkan Carlos dengan anaknya itu tersentak kaget dan tiba-tiba saja rasa takut mulai menyelimuti dirinya. "Kenapa diam? Apa anak ibu emang benar-benar baik, atau pura-pura baik di depan ibu?" tanya kembali Carlos. Ibu-ibu yang tadi berucap sinis itu tidak bisa mengeluarkan satu pun suara. Dia diam dengan keringat dingin yang mulai memenuhi keningnya. Carlos yang melihat gelagat ketakutan ibu-ibu itu kembali menatap lurus ke depan, dan bertepatan dengan itu. Dari arah seberang Jl. Pangeran Diponegoro. Kedua matanya menatap segerombolan laki-laki dewasa berwajah sangar dan pakaian mereka semua serba hitam. Segerombol laki-laki dewasa itu sekarang tengah berjalan mendekat ke halte. "Setoran-setoran." Salah satu laki-laki dewasa berambut gimbal, wajah sangar yang rahangnya dipenuhi berewok, dan perut yang sedikit membuncit berucap. Sedangkan semua orang yang sedang menunggu di halte bus itu langsung dipenuhi rasa takut dan mereka semua bergerak meronggoh tas, ataupun kantung untuk mengeluarkan selembar uang. Ada yang mengeluarkan lembaran uang seratus rupiah, ada yang mengeluarkan lembaran uang lima ratus rupiah, dan bahkan ada pula yang mengeluarkan uang koin lima puluhan. Sedangkan laki-laki dewasa yang memiliki rambut gimbal itu terkekeh, "Cung— kumpulin noh duit!" perintahnya, dan salah seorang laki-laki berkepala plontos langsung mengikuti perkataan si rambut gimbal itu. Namun, disaat semua orang mengeluarkan uang dengan raut panik. Hanya Carlos yang saat ini masih berdiri dengan wajah kelewat datar. Dia juga tidak membuat gerakan untuk mengambil uang, agar bisa selamat dari para preman di depannya yang berjumlah sepuluh orang, setelah Carlos hitung. "Sampah— dasar para cecenguk pengecut yang datangnya berkelompok." Carlos bergumam dengan nada berbisik, tapi biar begitu. Laki-laki dewasa berkepala plontos yang sedari tadi mengambil uang dari orang-orang, dapat mendengarnya dengan sangat jelas. "Lu tadi ngomong apa, Cok?" Laki-laki dewasa berkepala plontos itu bertanya dengan nada dibuat semenyeramkan mungkin, pun raut wajahnya juga dia ubah sesangar mungkin. Carlos yang mendengar itu hanya diam, dengan tatapan masih tajam ke depan. Dia terlihat tidak peduli dengan si kepala plontos yang saat ini sudah berdiri di depannya. "Eh— gue nanyak. Lu tadi ngomong apa? Boc-" Satu pukulan mentah yang sangat keras hingga menimbulkan suara dentuman benda yang beradu, memenuhi area halte bus, karena tadi Carlos melayangkan tinju tepat mengenai dagu si kepala pelontos yang sekarang sudah terkapar tak sadarkan diri. "Tadi gue bilang. Kalian semua preman rendahan yang hanya berani berjalan berkelompok." Carlos berucap dengan nada mengejek ke arah si rambut gimbal. Bahkan setelah selesai, dia masih sempat-sempatnya menjulurkan lidah disertai jari tengah yang mengacung di sis kana wajahnya "Kurang ajar, lu bocah!" Si rambut gimbal mengeram dan Carlos yang melihat itu hanya menyeringai. Dia bergerak melepas tasnya, dan langsung membuangnya ke arah sembarangan. "Bunuh bocah sinting itu!" perintah si gimbal, dan Carlos semakin melebarkan seringainya. "Sini kalian cecenguuk, brengs*k!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD