Bab 2: Penuh Kepalsuan

1001 Words
Setelah kami selesai sarapan, aku dan ayah pun segera pergi, sedangkan abangku pergi ke kampus, entah bagiamana dia kuliah sudah hampir lima tahun tapi belum lulus juga, terkadang aku berpikir sebenarnya abangku itu niat atau tidak untuk menyelesaikan kuliahnya, setiap hari kerjaan dia hanya nongkrong dan berkumpul dengan temannya yang kewarasannya masih layak dipertanyakan. "Udah, Yah, aku turun di sini," ucapku sebelum ayahku melewati gerbang sekolah. "Iya maaf, Ayah lupa," ucap ayahku terkekeh, sebelum turun aku menyalami punggung tangan ayah lebih dulu. "Assalamu'alaikum, Yah," ucapku. "Wa'alaikum salam," jawab ayahku, lalu aku turun dari mobil ayah, tentunya aku melihat ke setiap penjuru, aku tidak ingin teman-temanku mengetahui siapa aku sebenarnya. Aku akan beri tau kepada kalian saja, ayahku adalah pemilik yayasan tempat aku sekolah dan aku tidak ingin mereka tau, karena aku tidak ingin menjadi anak emas dan mereka mendekati dengan penuh kepalsuan. Lagi pula, aku pun sama seperti mereka, hanya seorang siswa, yayasan milik ayahku ini, tidak akan maju dan berkembang jika tidak ada siswa yang mendaftar di sekolah ini, kalian mengerti kan. Jadi, apa yang bisa aku banggakan dengan statusku sebagai anak pemilik yayasan? Tentunya tidak ada bukan. "Mitha!" Oh, ya ampun manusia satu itu, tidak bisa jika sehari saja tidak berteriak memanggil namaku. "Berisik, Fan," ucapku dengan kesal. Kami pun berjalan beriringan menuju kelas. "Kayak gak biasa aja dengar gue teriak," ucapnya. Aku memutar mata malas, kerena Fanny sahabatku, memiliki tingkah yang ajaib. "Udah ngerjain tugas?" tanya dia dengan senyuman lebar yang terlukis di bibirnya, aku sudah mengerti arti dari senyumannya ini. "Aku belum ngerjain tugas, lagian aku juga lupa," jawabku sengaja menjahili Fanny. "Ya, terus gimana dong?" tanyanya. "Ya gak gimana-gimana, kamu kerjain aja sendiri tugasnya, abisnya kamu kebiasaan banget kalau ada tugas kerjaannya nyontek sama aku," jawabku. "Gimana lagi, gue suka lupa ngerjain tugas," jawabannya semakin membuat aku kesal kepada manusia satu ini, tapi sayangnya aku sangat peduli dan menyayanginya karena hanya dia yang mau berteman denganku. "Mitha!" "Hmm!" aku hanya bergumam menanggapi panggilan Fanny sambil menyimpan tas di atas mejaku dan mengambil buku catatan. "Mitha!" "Apa sih, Fan...." aku menolehkan kepala karena berfikir Fanny tak hentinya memanggilku, tapi ternyata aku salah, panggilan kedua adalah panggilan dari.... “Eh Dirga, sorry aku pikir Fanny,” ucapku dengan canggung. “Abisnya serius banget sih, tuh si Fanny lagi di sana, biasa gangguin Azril,” ucapnya dengan tersenyum, aku pun mengikuti arah pandang Dirga. “Heran deh, gak ada anggunnya gitu jadi cewek, bar-bar banget ngejar cowok,” ucapku dengan menggelengkan kepala melihat tingkah Fanny yang terus menggoda Azril. “Iya, gak kayak kamu!” ucapan Dirga membuat mataku memicing. “Maksudnya apa?" tanyaku bingung. “Gak apa-apa, nanti siang jalan yuk!” ajaknya. “Aku udah ada janji sama Fanny, kamu....” “Hai Dirga, ngapain kamu berduaan sama bus tayo ini." aku dan Dirga menoleh mendengar suara yang sangat familiar. Aku menghela nafas panjang seraya memalingkan wajah dengan malas. “Cuma ngobrol sama Mitha, kenapa, Sha?” tanya Dirga kepadanya. Sha yang dimaksud Dirga adalah Sesha, dia teman satu kelas kami yang memang menyukai Dirga. “Nanti jalan yuk, kita nonton atau apa gitu,” ucapnya. “Boleh, tapi kita jalan sama Mitha juga,” aku hanya diam, tidak ingin terlibat dalam obrolan Dirga dan Sesha. “Ngapain ngajak dia, gak level banget, kamu pilih-pilih dong kalau mau cari teman jalan,” ucap Sesha dengan jari yang menunjuk kepadaku. “Heh nenek lampir, pergi dari sini, beraninya lo menghina temen gue, bawa Dirga jauh-jauh sono, lo juga sama aja Dirga, kalau lo beneran suka sama Mitha, harusnya lo jangan diam aja kalau ada orang yang menghina dia,” Fanny yang mendengar suara Sesha langsung menghampiri kami. “Apa? Dirga suka sama Mitha? Lo mimpi? Mana ada cowok sekeren Dirga suka sama karung beras kayak dia,” ucapan Sesha membuat semua siswa yang ada di kelas tertawa. Hatiku tentu saja sangat sakit, ingin sekali aku menangis saat ini juga, tapi aku tidak ingin menunjukkan kelemahanku di hadapan mereka. “Sesha! Kurang ajar lo ya!” Fanny membentak Sesha dengan tangan yang siap mendorongnya, tapi aku mencegah dia, aku tidak ingin Fanny terkena masalah karena ia membelaku. "Lepasin tangan gue Mitha, manusia kayak dia itu harus dikasih pelajaran biar gak ngelunjak," ucap Fanny yang terus berusaha melepaskan tangannya dariku. "Lo pikir gue takut huh? Lo lupa siapa gue, lo berani nantangin gue, jangan harap besok lo bisa menginjakkan kaki lagi di sekolah ini!" ucapan Sesha membuat Fanny semakin kesal, aku pun merasa sangat muak mendengar ucapannya. Ayah Sesha memang kepala sekolah di yayasan tempat kami sekolah, karena jabatan ayahnya itulah Sesha menjadi sangat angkuh dan tentu saja banyak siswa dan siswi yang mendekati dia hanya untuk popularitas, aku hanya prihatin dengan apa yang Sesha lakukan karena aku yakin teman-teman yang sekarang dekat dengannya tidak ada yang benar-benar peduli kepadanya. "Jangan mentang-mentang lo anak kepala sekolah di sini, lo bisa seenaknya aja ya sama kita, gue yakin ayah lo bakalan malu punya anak yang attitudenya di bawah rata-rata kayak begini," Fanny kembali melontarkan ucapan pedasnya kepada Sesha dan keadaan di dalam kelas semakin menegang karena perdebatan mereka, aku melirik Dirga sekilas pria itu tetap diam di tengah perdebatan Fanny dan Sesha. “Hentikan, lebih baik kalian pindah dari sini, aku risih dengar kalian berdebat di sini,” ucapku lalu beralih memandang Dirga, “Oh iya Dirga, mulai sekarang kamu jangan deketin aku lagi, jangan temenin aku di gerbang sekolah kalau aku nunggu jemputan, aku risih.” setelah itu aku pergi dari kelas menuju toilet, Fanny pun mengikuti aku pergi. “Mith, lo jangan pura-pura tegar deh, kalau lo mau nangis ya nangis aja,” ucap Fanny seraya menatapku. “Enggak Fan, aku udah capek nangis karena hal sepele, biarkan aja mereka mau berkata apa, yang penting kamu gak sama kayak mereka, itu udah cukup untuk aku,” ucapku seraya tersenyum. “Kita balik lagi ke kelas yuk!” ajaknya dengan senyuman yang terlukis di bibir. “Ayo." ucapku lalu kami kembali ke kelas, sebelum jam pelajaran dimulai. Mitha POV end.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD