Chapter 2

1309 Words
"Kamu kenapa melamun?!" tanya sebuah suara dengan lantang, membuat Shiren menatap ke asal suara dan terkejut saat melihat objek di hadapannya. "Ma-af, Bu." Shiren menundukkan kepala. "Kalau tidak suka dengan pelajaran saya, silakan keluar!" tegas orang itu, yang ternyata adalah guru perempuan yang akan mengajar di kelas X Bahasa 1. "Ti-tidak, Bu," sahut Shiren dengan pelan. Guru wanita itu mengembuskan napas kasar. "Ya sudah, buka buku paket halaman 105, kita teruskan pelajaran yang kemarin." Semua murid mengikuti jam pelajaran dengan khidmat dan tenang, tanpa ada bunyi apa pun. Bagaimana tidak? Yang mengajar saat ini adalah Bu Eka, guru bahasa Indonesia. Bu Eka, terkenal akan ketegasan dan kedisiplinannya dalam kegiatan belajar mengajar. Tidak ada yang boleh mengeluarkan suara sedikit pun saat sedang belajar bersamanya, jika melanggar kalian harus siap dihukum. Setelah menghabiskan waktu selama empat jam tanpa jeda atau pergantian mata pelajaran seperti biasanya di setiap satu Minggu sekali, Bu Eka akhirnya menutup materi. "Oke, selesaikan tugas yang ibu berikan, jika tidak? Maka konsekuensinya lari keliling lapangan sebanyak lima belas kali putaran, mengerti?" pungkas Bu Eka, membuat semua murid langsung bergidik ngeri. "Mengerti, Bu," sahut semuanya dengan serentak. "Baik, materi akan dilanjutkan pada pertemuan selanjutnya," ucap Bu Eka seraya berjalan meninggalkan kelas itu. Para murid mengembuskan napas lega setelah kepergian Bu Eka. "Huh, gue hampir mati tahu nggak," seloroh Natalie dengan dramatis. "Iya, tuh Bu Eka emang kalau ngajar buat suasana kelas panas. Gue bakal bilang ke Kak Iqbal buat kasih kipas angin di kelas kayaknya," sahut gadis manis bernama Syifa. Natalie menganggukkan kepala. "Iya, minta kipas angin." Angkara menoyor kepala dua gadis di hadapannya dengan geram. "Maruk banget lo, mana bisa begitu. Setiap kelas udah dikasih fasilitas AC, empat lagi. Emang dasarnya aja, Bu Eka begitu." "Eh, kok belum istirahat ya? Bel kok belum bunyi aja?" "Iya, lama banget, mana abis istirahat Pak Good lagi yang ngajar. Namanya doang Good, tapi dia tuh ngajarnya kagak jelas. Ceramah terus, ada ngasih tugas buat diisi, eh malah dia yang jawab sendiri. Tanpa dinilai lagi, nggak jelas," gerutu Arvi. Tidak lama kemudian, bel istirahat berbunyi. Semua murid bersorak bahagia, akhirnya setelah empat jam bergulat dengan mata pelajaran, kini mereka bisa mengisi perut dan mengistirahatkan otak. Shiren menatap semua temannya yang begitu ceria saat mendengar bel istirahat berbunyi, mereka keluar dari kelas meninggalkan gadis itu sendirian. Dia mengambil kotak bekal di dalam tasnya, lalu memakan secara perlahan setelah berdoa. Saat sedang asyik makan, tiba-tiba ada salah satu siswa yang mengetuk pintu kelasnya. Mendengar pintu diketuk, Shiren langsung menatap ke asal suara. Di sana, seorang siswa sedang berdiri menatapnya, lalu bertanya. "Shirena, ya?" Shiren menganggukkan kepala. "Disuruh ke ruang Pak Sean, pemilik sekolah ini. Sekarang," ucap siswa itu, lalu meninggalkan Shiren yang masih terbengong di tempatnya. *** Shiren terdiam di tempatnya. Dia belum juga mengetuk pintu tersebut, padahal sudah berdiri selama beberapa menit yang lalu. Saking gugup dan takutnya, membuat gadis itu hanya mengangkat tangan dengan ragu-ragu tanpa berusaha mengetuk. "Aduh, kok aku takut banget ya. Kenapa aku dipanggil sama Pak Sean? Padahal aku nggak ngapa-ngapain? Apa jangan-jangan Bu Eka ngadu, kalau tadi aku ngelamun saat dia ngajar. Aduh, gimana dong?" tanya Shiren pada dirinya sendiri. Shiren mengembuskan napasnya dengan kasar, lalu kembali mengangkat tangannya. Namun, saat akan mengetuk, tiba-tiba suara seorang gadis yang dikenalnya terdengar. "Ngapain lo di sini?!" tanya sebuah suara dengan lantang. "Kak-kak Verra?" "Iya, gue kenapa?! Kaget lo. Oh gue tahu sekarang, lo ngadu ya sama bokap gue?! Banci banget sih lo, cuma gara-gara tali tas gue putusin, eh ngadu sama bokap gue," papar Verra dengan sinis. Shiren menggelengkan kepala. "Aku nggak ngadu kok, Kak. Tadi aku juga disuruh ke sini sama siswa lain," bela Shiren pada dirinya sendiri. "Alah, ngaku aja deh, nggak usah bohong! Dasar nggak tahu diri! Udah miskin, tukang ngadu, bohong lagi! Mati aja sana!" "Verra!" bentak sebuah suara. Kedua gadis itu mengalihkan pandangan ke arah pintu yang terbuka dan menampilkan sosok pria paruh baya yang sangat tampan. Wajahnya yang datar, dingin, dan tatapannya begitu tajam, membuat Shiren langsung menundukkan kepala, tak berani melihat pria itu. Namun, tidak untuk Verra, gadis itu malah menantang pria di hadapannya. "Masuk!" perintah pria itu dengan tegas. Keduanya masuk ke dalam ruangan tersebut. Verra mengerutkan dahi bingung melihat seorang remaja laki-laki seumurannya tengah duduk di sofa. "Bang Iqbal?!" *** Setelah melihat apa yang dilakukan Verra, Iqbal langsung berinisiatif bahwa saat sepuluh menit akan memasuki jam istirahat, ia akan mendatangi ruangan pemilik sekolah untuk mengadukan apa yang dilakukan Verra terhadap gadis itu. Iya, pemilik mata tajam yang sedari tadi memperhatikan perbuatan Verra pada Shiren itu adalah Iqbal, sang ketua OSIS sekaligus ketua ekstrakulikuler basket. Muhamad Iqbal Pratama, siswa paling pandai di sekolah itu, selalu mendapatkan juara olimpiade nasional bahkan internasional dari berbagai bidang yang digelutinya. Hal itu yang membuat para siswi begitu mengagumi sosok laki-laki bermata tajam itu. Namun, tidak menutup kemungkinan, ada banyak siswi yang segan untuk berdekatan dengannya, karena sifatnya yang dingin dan datar serta tidak suka pada gadis yang mendekatinya. Sepuluh menit menuju bel istirahat, tetapi guru yang mengajar di kelasnya tak kunjung menyudahi kegiatan belajar, membuat Iqbal langsung meminta izin ke toilet pada sang guru. Setelah diizinkan, dia langsung menuju ke ruang pemilik sekolah bukan toilet, sesampainya di sana Iqbal langsung mengetuk pintu ruangan tersebut, hingga suara seorang pria di dalam ruangan itu memintanya untuk masuk. "Iqbal? Ada apa, Bang?" tanya pria paruh baya yang saat tadi tengah fokus pada laptop di hadapannya. "Verra, Dad," jawab Iqbal dengan singkat. "Ada apa dengan Verra, Bang?" tanya pria paruh baya itu. Pria itu bernama Sean Gaxshan Adhitama. Pemilik sekolah sekaligus ayah kandung dari Verra dan paman Iqbal. Saat ini, dia sedang berkunjung ke sekolah, jadi Iqbal tidak perlu repot-repot menghubungi pria itu agar datang ke sekolah. Biasanya, Sean selalu sibuk bersama berkas-berkas di perusahaan. Maklum, perusahaan-perusahaan tersebut sudah turun temurun, pasti akan sulit ditinggalkan. Padahal, jika tidak bekerja pun, tujuh turunan Sean tidak akan jatuh miskin. Iqbal mengembuskan napasnya dengan berat. "Anak beasiswa itu diganggu lagi sama Verra, Dad. Kemarin dia disiram pakai air cucian piring di kantin, sekarang Verra mutusin tali tas gadis itu." "Apa?! Verra keterlaluan, sikap semena-menanya pada gadis beasiswa itu malah semakin tak terkontrol!" seru Sean. Sean memijat dahinya. "Suruh siswa buat manggil Shirena dan Verra, Bang." Iqbal menganggukkan kepala seraya berjalan keluar ruangan untuk mencari siswa yang bisa diminta bantuan. Kok Daddy bisa tahu ya nama gadis beasiswa itu, batin Iqbal. "Eh, kamu. Sini!" pintanya pada siswa yang melewati ruangan itu. "Tolong panggilkan Shirena, siswi kelas X Bahasa 1. Suruh dia ke ruangan Pak Sean." Siswa itu langsung menganggukkan kepala seraya berjalan meninggalkan Iqbal yang mendengkus sebal. Padahal dia belum selesai bicara. "Cantika, sini," panggil Iqbal pada seorang siswi yang memakai atribut OSIS sepertinya. "Iya, Bang Iqbal?" tanya Cantika. "Tolong panggilkan Kak Verra, ya. Kamu tahu kan kelasnya?" pinta Iqbal dengan lembut, tetapi terkesan dingin dan datar. "Tahu kok, Bang. Kak Briverra di kelas XII IPA 1 kan?" Iqbal menganggukkan kepala. "Suruh dia ke ruangan Pak Sean, makasih." Iqbal masuk kembali ke dalam ruangan tersebut dan meninggalkan siswi itu. "Iqbal udah nyuruh orang buat panggil Shiren dan Verra, Dad." Tidak lama kemudian, terdengar suara ribut di luar ruangan. Walaupun tidak terdengar jelas alias suaranya sangat pelan, karena ruangan itu kedap suara, tetapi Sean yakin itu adalah suara Verra. Akhirnya Sean mendekat ke arah pintu dan membukanya. "Alah, ngaku aja deh, nggak usah bohong! Dasar nggak tahu diri! Udah miskin, tukang ngadu, bohong lagi! Mati aja sana!" "Verra!" bentak Sean. Kedua gadis itu menatap Sean. "Masuk!" Keduanya mengikuti Sean dari belakang. Verra yang melihat Iqbal di dalam ruangan tersebut langsung membelalakkan matanya dan berteriak. "Bang Iqbal?!" Verra menghampiri Iqbal dan duduk di sampingnya. "Abang ngapain di sini? Oh gue tahu, pasti lo yang ngadu ya, Bang?" "The way you speak, Beatiful Girl. Aku-kamu, don't gue-lo, Okay." Tiba-tiba suara peringatan dari seorang wanita menghentikan ucapan Verra, membuat semua mata tertuju pada wanita itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD