TAWARAN PEKERJAAN

1096 Words
Salman terlihat paling menonjol secara kecerdasan dibanding teman yang lainnya. Untuk kloter ini mereka terdiri dari dua puluh orang. Salman mudah menerima pelajaran – pelajaran yang diberikan oleh tuan Firoz. Seringkali Firoz meminta Salman membantunya menyelesaikan pekerjaan koreksi atas tugas teman sekelasnya. Firoz memberikan perhatian lebih pada Salman. Firoz ingin Salman mendapatkan beasiswa itu dan menjadi yang terbaik. Untuk siswa terbaik akan ada fasilitas khusus yaitu pekerjaan yang artinya juga uang. Firoz tahu dari formulir yang Salman isi bahwa dia berasal dari keluarga kurang mampu. Latar belakang yang menggugah Firoz tentang ambisinya sendiri. Seringkali Firoz menemukan Salman sedang termenung sendiri di sudut kampus. Salman memiliki pribadi yang tertutup dan terlalu pendiam untuk pria muda seumurannya. Disaat teman lain sebayanya dekat dan memiliki hubungan dengan lawan jenis, Salman menghabiskan banyak waktu di perpustakaan atau laboratorium. Salman sangat menjaga jarak dengan teman wanita. Firoz yang sedang berjalan untuk makan melihat Salman sedang duduk di sudut ruangan kelas. Dia mengulurkan kepala dari jendela. “Salman, sedang apa di sudut ruangan? Tidak pergi makan siang bersama Selo?” “Ah.. iya tuan, saya menunggu kelas berikutnya.” Firoz masuk ke dalam kelas dan mengambil tempat di kuris sebelah Salman. “Kesempatan baik untuk mengajak Salman bicara dari hati ke hati dan menawarkan bantuan,” begitu pikir Firoz. “Salman, kamu berasal dari Ittahari? Sebuah kota besar.” “Tidak Tuan, saya memang dari Ittahari tapi sebuah desa kecil,” ujar Salman. “Berapa saudara yang kamu punya?” Firoz melanjutkan. Salman menatap Firoz curiga dengan pertanyaan yang menyelidik. “Bukankah Tuan sudah membaca formulir dan biodata saya?” Firoz tersenyum, dia memang sudah tahu semua data lengkap Salman. Firoz sedang menjalin kedekatan dengan anak didiknya itu. Diantara percakapan mereka terdengar suara perut Salman yang beriak untuk diberikan makan. Tuan Firoz menatap Salman tajam. Mereka duduk berdampingan di kursi siswa yang sedang kosong. Menunggu waktu untuk masuk ke kelas berikutnya. “Kamu sudah makan siang?” Salman ingin memberi Tuan Firoz sebuah alasan. Namun rasanya terlambat untuk dilakukan. Suara – suara tidak senang terlanjur keluar dari perut kosongnya. “Belum tuan,” Salman berujar malu “Kenapa?” Salman hanya diam menatap tuan Firoz. “Dengar Salman, aku pernah di posisimu. Sebagai seorang siswa yang tinggal jauh dari keluarga. Waktu itu aku sedang berusaha mewujudkan mimpi dan harapanku. Aku berharap menjadikannya nyata.” Sambil berkata Firoz menatap pada papan tulis kosong di depan kelas. Seolah papan tulis itu bisa memberi Firoz tentang bayangan masa mudanya yang tidak mudah. “Apa mimpi terbesar tuan?” “Menjadi seorang yang dikenal lewat tulisan,” Firoz menatap tajam ke arah Salman. “Umm,….” Salman berguman menunggu kelanjutan pembicaraan Firoz. “Keadaan memaksaku untuk mendapatkan uang terlebih dahulu. Tapi mimpi itu tidak pernah padam. Suatu hari aku akan mewujudkan impianku.” Firoz menarik nafas, merasakan gemuruh dalam dirinya. “Ayo kita makan siang di kantin kampus.” “Tapi….” “Aku akan membayar untukmu.” Salman mengikuti langkah tuan Firoz untuk makan siang. Memang dia sebenarnya sudah sangat kelaparan. Namun apa hendak di kata, uang di dompetnya tidak satu lembar pun tersisa. Kiriman ayahnya bulan lalu yang tidak seberapa ternyata habis sebelum bulan berikutnya datang. Perlu menunggu sekitar satu minggu sampai kiriman datang lagi. Sesampainya di kantin kampus, Firoz memesan dua porsi makanan. Mereka mengambil tempat di kursi pinggir. Suasana kantin selalu ramai dengan mahasiswa yang menikmati makan siang sambil bercengkerama. Beberapa tangan tampak melambai ke arah Salman, dan menekuk hormat pada Firoz. Meski siswa yang pendiam namun Salman memiliki banyak teman. Salman sering membantu temannya dalam mengerjakan tugas dan mempersiapkan ujian. Salman pribadi yang sederhana dan ramah. Dalam hati Salman sering minder untuk bergaul dengan temannya. Tapi dia terbantu dengan keberadaan Selo yang selalu percaya diri. Firoz dan Salman mulai menikmati makanan. Sepiring nasi Briyani dan ayam goreng. Firoz membuka kembali percakapan mereka yang tertunda, “Salman, aku ingin menawarimu sebuah pekerjaan. Mungkin bisa membantu untuk menambah uang sakumu.” Salman menatap heran pada Firoz. “Aku tahu kau membutuhkan tambahan uang untuk menunjang hidupmu selama di Khatmandu,” Firoz berujar dengan hati-hati agar tidak menyinggung Salman. “Pekerjaan apa tuan? Aku tidak punya keahlian. Lagi pula ayahku belum tentu setuju karena dia ingin aku fokus sampai beasiswa itu bisa kudapatkan.” Firoz menarik nafas, pribadi rendah diri Salman mencerminkan dirinya sewaktu muda. Dengan tatapan tajam Firoz melanjutkan, “Jangan terlalu merendahkan dirimu. Kamu siswa paling cerdas di kelas untuk angkatan tahun ini. Kamu akan mendapatkan beasiswa itu. Aku sangat yakin.” “Semoga Tuan, ayahku berharap banyak pada program beasiswa  ini. Dan dia sudah membiayaiku dengan jumlah tidak sedikit sampai aku bisa disini sekarang.” “Ada salah seorang siswa di kelas kita. Dia adalah putra pejabat. Namun sayang dia sangat lambat dalam mengikuti pelajaran. Aku ingin kamu membantunya. Bisakah?” “Siapa?” Salman mengerutkan kening. “Anil, sebenarnya sejak awal aku sudah katakan pada ayahnya. Dia lebih dari mampu untuk pergi ke UK tanpa program beasiswa. Namun entah mengapa, ayahnya ingin sekali dia masuk melalui jalur beasiswa. Katanya demi nama baik keluarga.” “Umm….” “Program beasiswa ini dibentuk pemerintah untuk siswa yang cerdas dan kurang mampu. Sementara Anil putra pejabat dengan kemampuan berpikir rata-rata.” “Namun seseorang menyetujui Anil ikut dalam program ini dengan menerima Formulirnya.” Firoz tersenyum asam mendengar analisa Salman, sekaligus kagum dengan kecerdasan Salman menangkap situasi. “Beginilah kenyataan dunia. Jika kau punya uang semua aturan bisa kau lewati.” Salman mengerutkan kening dan mengusap kepalanya yang tidak gatal. “Kamu bisa membantuku dengan memberikan bimbingan pribadi pada Anil dua kali seminggu. Untuk semua mata pelajaran sampai ujian tiba.” “Apakah Anil dan ayahnya telah setuju? Maksudku mereka tahu bahwa aku akan membantunya.” “Aku tidak memberi mereka pilihan. Jika Anil ingin lolos program beasiswa itu maka dia dan ayahnya harus mengikuti saranku!” ujar Firoz. “Dimana kami akan melangsungkan bimbingan ini? kampus?” “Tidak, kamu akan datang secara pribadi ke rumah Anil.” “Apakah itu pilihan baik Tuan?” Salman merasa bingung. Ke rumah pejabat sekelas ayah Anil untuk sebuah bimbingan. Dengan jarak yang tidak dekat dari kampus juga asramanya. “Ayah Anil tidak mau jika putranya dilihat banyak orang mengambil program bimbingan tambahan. Dia malu,” Firoz mengangkat bahu mengakhiri penjelasannya. “Hmmm…” “Aku akan meminta ayah Anil untuk membayar di muka sebagai transportasi dan uang makanmu.” Salman terlihat lega dengan penjelasan Firoz. Itu yang sejak tadi dia pikirkan. “Baik tuan, jika anda percaya pada saya. Maka saya akan setuju.” Kegembiraan yang tanpa Salman tahu menyimpan kesedihan di baliknya.                                        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD