Khatmandu

1831 Words
Pematang sawah yang sama tempatnya beberapa hari lalu meneteskan air mata untuk Miranha. Namun kali ini dia duduk disana dengan semangat membara. Mencari berbagai informasi di ponselnya tentang beasiswa dan segala kemungkinannya. Jari tangannya berhenti ketika dia membaca sebuah berita. Berita tentang gadis kecil seusia Nitish yang tidak memiliki kaki. “Gadis kecil yang mengirimkan surat pada ratusan orang dan keinginannya untuk memiliki kaki palsu. Namun sampai sekarang jangankan dokter satu pun tidak ada orang kaya itu yang membalas suratnya. Tidakkah orang bisa melihat semangat di dalam kemiskinan si gadis itu” Begitulah yang Salman baca. Hatinya terluka oleh berita itu. Bagaimana bisa, di suatu negara tidak satu pun orang kaya yang peduli dan bersedia memberikan harapan kehidupan pada gadis kecil itu. Dan hatinya lebih terluka lagi ketika ingat bahwa penyebab hampir hilangnya harapan si gadis adalah karena kemiskinannya. Sama seperti dirinya yang terbuang karena kemiskinan. Selesai membaca berita itu terbayang wajah Nitish di matanya. Kalau Nitish yang di posisi itu betapa sedihnya dia. Namun Nitish terlahir sempurna dan dia baik – baik saja. Andaikata sekarang Salman memiliki daya atau setidaknya sebagai dokter bedah maka dia tidak akan pikir panjang untuk mendatangi gadis itu dan memberikan pertolongan. Dokter Bedah?! Ya itulah yang akan di pilihnya untuk pendidikannya nanti. Ayah telah berjanji kurang dari satu tahun maka dia akan bisa memiliki pendidikan di universitas. Tapi tentu ayahnya tidak cukup mengerti jurusan dan keahlian apa yang akan diambilnya. Ayahnya hanyalah pria desa lulusan SMP. Ayahnya bagi Salman adalah sosok pahlawan dan pelindung keluarga. Namun untuk membawa anak – anaknya lebih maju ayahnya memang tidak punya kemampuan dan pengetahuan untuk itu. Salman pun mulai melakukan pencarian beasiswa dengan jurusan lebih spesifik. Dokter bedah. “Selo, ayahmu seorang guru. Tentulah dia lebih tahu jurusan dan jalur untuk mendapatkan beasiswa” “Mungkin, aku juga tahun ini sepertinya akan mencari beasiswa. Sebelumnya ayah memintaku untuk kuliah tapi aku memang agak malas. Sekarang ketika melihat teman kita yang lain memiliki profesi, rasanya aku mulai iri. Aku sedang mencari informasi beasiswa untuk dokter bedah Salman….” “Wew ... Selooooo aku mencintaimu!!!!” “Hei … hei … hei … jangan gila ya. Aku masih normal tahu. Dan aku tidak tertarik pada pria berkulit gelap sepertimu.” “Ha ... ha ... ha … Seloooooooo! Kenapa kita bisa punya pemikiran yang sama. Aku baru saja mau mengatakan padamu bahwa aku ingin memiliki pendidikan sebagai dokter bedah.” “Benarkah? Great buddy! Tapi aku tetap tidak mau ya berjodoh denganmu, Ha … ha … ha …!” “Ha … ha … ha …!” Celoteh Selo dalam panggilan w******p mereka disambut gelak tawa oleh Salman. Salman merasa sekarang ini semesta sedang berpihak padanya. Pada keinginannya, harapan ayahnya dan kebahagiaan masa depannya. Salman menyampaikan keinginan itu pada ayah dan ibunya. Mereka tidak keberatan, dengan usia Salman yang telah dewasa, Salman telah cukup matang untuk mengambil keputusan dan menentukan yang dia inginkan. Tepat setelah satu bulan kepergiannya, Khan mengirimkan sejumlah uang pada keluarga sebagai gaji pertamanya. Dan dia menyampaikan bahwa sebagian dari uang itu boleh dipergunakan Salman untuk bekalnya ke Khatmandu. Dua minggu setelahnya Salman berangkat menuju Khatmandu bersama Selo. Laksmi melepas lagi anggota keluarganya dengan penuh air mata. Setelah bulan lalu suaminya, kali ini dia melepaskan buah hatinya. Meski Laksmi tahu semua itu untuk kebaikan Salman namun kesedihan tetap melandanya. Jika dulu kepergian Khan , Salman yang menguatkannya. Lalu sekarang siapa yang akan menguatkannya dalam melepaskan Salman. “Hati – hati nak, Khatmandu kota besar. Ibu mendengar banyak orang yang kemudian kehilangan diri mereka setelah berada di kota itu.” Salman menggenggam tangan ibunya dan menatapnya dalam. Mengusap beberapa tetes air mata yang sejak tadi sudah mengalir disana. “Ibu, aku berjanji. Kemanapun aku pergi nantinya aku akan tetap anak Ibu. Dan aku akan selalu menjadi Salman Khan dari Ittahari!” Ibunya semakin tidak kuasa menahan air mata. Akhirnya memeluk Salman dan melepasnya pergi. Salman memeluk adiknya satu per satu. “Usman, jaga ibu dan adik – adik ya.” Usman mengangguk sambil melepaskan pelukan kakaknya. Salman tahu bahwa usianya dengan Usman yang terpaut empat tahun, namun Usman bersikap dewasa dalam beberapa keadaan. “Mehta, jangan biarkan ibu terlalu lelah ya.” “Iya kak.” “Nitish, jangan nakal ya.” “Kak, kapan kau akan kembali. Nanti bawakan aku banyak coklat dan permen ya kak.” Seluruh anggota tersenyum dengan permintaan Nitish. Salman dan Selo terbang dari bandara Biratnagar menuju Khatmandu dengan hampir tiga jam perjalanan. Seminggu sebelumnya ayah Selo telah menghubungi agency beasiswa di Khatmandu yang bersedia mengurus keduanya untuk penyediaan asrama juga pelatihan sampai mereka berhasil mendapatkan beasiswa. Jejak kaki pertama di Khatmandu membuat keduanya merasa bagai dua kutu kecil di antara luasnya lautan. Khatmandu, kota besar yang padat dengan kesibukan luar biasa bahkan di bandaranya. Ini adalah pertama kali bagi Salman dan Selo melihat ibu kota negara Nepal. Kebingungan dan kekaguman tidak dapat mereka sembunyikan. Mereka bertanya pada petugas bandara bagaimana cara menuju alamat asrama yang telah mereka miliki sebelumnya. Mereka akan naik transportasi umum saja karena untuk sebuah taksi harganya terlalu mahal. Mereka harus berhemat, perjalanan sampai mendapatkan beasiswa itu masih sangat panjang. Bekal mereka di Khatmandu tidaklah banyak. Terutama Salman. Dia baru akan mendapatkan tambahan uang bulan berikutnya saat ayahnya mendapatkan gaji keduanya. Sebisa mungkin uang yang ada di tangan haruslah di tahan agar tidak keluar. Karena di Khatmandu ini mereka tidak mengenal siapapun. Salman dan Selo hanya berdua untuk saling menjaga dan membantu. Namun Selo juga bukan dari keluarga kaya raya, keadaannya tidak beda jauh dengan Salman. Hanya bedanya keluarga Selo lebih terpandang karena pendidikan dan profesi ayahnya. Bangunan tiga lantai luas dengan warna merah bata berdiri di hdapan mereka. Pintu gerbang warna hitam terbuat dari baja menjadi jalan utama. Salman dan Selo melihat beberapa pria seusia mereka keluar masuk dari puntu itu yang bagian tepinya terbuka seukuran pintu rumah. Sebuah papan nama terpampang I tembok bagian depan “Boys Hostel”. Inilah tempat mereka akan tinggal selama pelatihan dan proses beasiswa diterima. “Salman, ayo kamu duluan yang masuk.” “Kenapa harus aku?” “Karena aku akan di belakangmu untuk menjagamu.” Salman melihat sahabatnya dengan senyuman. Dalam beberapa hal Selo memang ramah dan menyenangkan. Namun jika sudah menyangkut hal – hal penting maka Selo akan selalu meminta Salman untuk berjalan di depan. Mereka memasuki pintu kecil di bagian terpinggir dai pintu gerbang utama. Sesampainya di bagian dalam mereka melihat sebuah papan tulisan. “Kepala Asrama”. Mereka melagkah untuk bertemu dengan kepala asrama dan mendapatkan kamar mereka segera. “Selamat siang nyonya.” Seorang wanita yang sedang membelakangi mereka membalikkan badan. Gaun sari hijau tua yang tampak kebesaran di tubuhnyayang gempal. Wanita setengah baya itu menatap mereka berdua tanpa senyuman. Tatapan yang meminta penjelasan. Selo beringsut satu langkah ke kebelakang dan mendorong sedikit lengan Salman untuk maju. Salman melirik kesal ke arah sahabatnya. “Nyonya, saya Salman dari Ittahari. Saya mendapatkan alamat ini dari tuan Bilal yang mengurus beasiswa kami. Menurut beliau-” “Kamarmu di lantai dua.” Potong Nyonya dengan Sari hijau tersebut sambil meletakkan kunci di meja depannya. Kemudian menatap ke arah Selo dengan pandangan sinis. Salman menatap ke arah Selo sambil mengangguk pelan. Selo maju satu langkah ke depan sembari memberikan senyuman gugup. “Halo nyonya, Saya Selo. Dan saya-” “Kamarmu di lantai tiga.” Sang nyonya memotong Selo dengan meletakkan satu kunci lainnya. “Tapi nyonya, kenapa kami tidak tinggal di satu ruangan?” “Apakah kalian pasangan?” “Tidak nyonya, tentu tidak.” “Kalau begitu berhentilah mempermasalahkan dan selamat beristirahat.” Nyonya bersari hijau itu kembali membalikkan badan dan sibuk dengan beberapa kertas berantakan di atas meja. Selo menatap Salman dengan harapan temannya itu akan mengajukan keberatan. Namun Salman hanya tersenyum mengangkat tangan. Kamar nomor delapan, begitu tertera di kunci. Salman menuju kamar tersebut. Setelah membuka ternyata di dalamnya berisi dua tempat tidur. Namun entah kenapa Nyonya kepala asrama tidak menyatukan Selo dan Salman dalam satu kamar. Malam hari saat mereka makan malam, Salman berkenalan dengan para penghuni asrama yang lain. Asrama itu lebih mirip mini hotel. Dimana Sarapan, makan siang dan makan malam semua disediakan oleh pihak asrama. Semua pembayaran asrama sudah termasuk harga untuk semua makanan tersebut. Dari cerita dengan penghuni lain inilah Salman tahu bahwa nyonya berbaju hijau itu adalah pemilik asrama. Dan beliau sudah tahu hari ini akan kedatangan Salman dan Selo. Untuk setiap penghuni baru maka Nyonya Gopi akan menerimanya secara langsung. Namun sehari – hari nyonya Gopi tidak tinggal di Asrama itu. Kegiatan harian asrama akan diawasi dan dipantau oleh seorang pria muda kepercayaannya, Kumar. Nyonya Gopi dikenal penghuni asrama sebagai orang yang sangat tepat waktu terutama jika menyangkut pembayaran. Asrama itu terdiri dari tiga lantai dan setiap lantai berisi lima kamar dengan masing – masing diperuntukkan dua orang. Ruang makan bersama dan dapur ada di lantai dua. Setiap ruangan dilengkapi dengan kamar mandi. Setiap penghuni bisa mencuci di bagian halaman belakang asrama. Mesin cuci dan fasilitas lainnya tersedia disana. Khatmandu kota dengan udara yang selalu sejuk menyenangkan. Dikelilingi pegunungan everest. Jauh berbeda dengan tempat tinggal Salman di Ittahari dimana udaranya seringkali panas. Namu demikian Khatmandu adalah sebuah kota, pusat pemerintahan dan keuangan Nepal. Sementara Ittahari adalah desa, dimana sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah petani dan peternak. Sambil berbincang Salman menatap Selo yang telah asik bercanda dan bercengkerama dengan teman barunya. Teman yang rupanya satu ruangan dengan Selo. Selo memang selalu semudah itu dalam bergaul dan menerima hubungan. Sangat berbeda dengan Salman yang tertutup dan cenderung pendiam. Jalanan Khatmandu yang padat di luar dugaan Salman dan Selo. Mereka terpaksa berlari menuju agent beasiswa itu dan keluar dari bis yang mereka tumpangi. Salman menatap panik ke arah jam tangannya. Meeka sudah terlambat lebih dari tiga puluh menit dari jadwal yang ditetapkan. “Maafkan kami tuan Bilal, kami terlambat karena kemacetan jalan yang di luar perkiraan kami.” “Sudahlah, tidak apa – apa. Biasanya terjadi pada mereka yang baru saja tinggal di Khatmandu.” “Terima kasih tuan.” “Hari ini aku akan mengajak kalian ke salah satu universitas terbesar di Khatmandu. Kami memang bekerja sama dengan mereka untuk memberikan kalian pelatihan sebelum mengikuti tes mendapatkan beasiswa. Universitas ini lebih dekat dengan asrama kalian. Kalian bisa berjalan kesana dengan berjalan kaki saja.”. Sesampainya di Universitas, Salman dan Selo diperkenalkan dengan seorang pria setengah baya. Usianya sekitar tiga puluh lima tahun. Pria inilah yang akan menjadi dosen pembimbing Salman dan Selo untuk mendapatkan beasiswa. “Halo Salman dan Selo, saya Firoz. Saya akan menjadi dosen pembimbing kalian sampai lolos mendapatkan beasiswa.” Salman dan Selo menjabat tangan Firoz dengan senyuman. Salman bertekad dalam hati bahwa beasiswa itu harus didapatnya. Bukan hanya untuk meringankan beban sang ayah akan biaya pendidikan. Namun beasiswa itu akan membuka jalannya untuk mendapatkan pekerjaan dan mandiri secara keuangan. Namun ternyata tantangan Salman bukan hanya soal keuangan. Di Khatmandu akhirnya dia mengerti bahwa dunia memang seringkali meminta pengorbanan lebih dari apa yang dimilikinya. Kota besar yang tidak memberikan toleransi pada setiap orang di dalamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD