Melihat Dunia

1133 Words
Semua melambaikan tangan pada Khan. Dan semua mata basah karena melepas kepala keluarga mereka untuk pergi ke luar negeri dalam waktu lama. Salman merangkul bahu ibunya di sebelah kanan. Dan disebelah kiri Nitish bergelayut menenggelamkan wajah di bahunya. Sementara Usman merangkul bahu Mehta. Keberangkatan Khan hanya di lepas oleh keluarga mereka saja. Keluarga mereka bukan keluarga yang di pandang di desa itu. Keluarga miskin dan tidak satu pun peduli dengan apa yang terjadi pada mereka. Jika pun ada yang selalu ramah dan berbaik hati itu karena mereka memiliki hubungan kekeluargaan atau sesama warga miskin. Setelah ojek motor yang membawa Khan tidak lagi terlihat di ujung jalan, Salman membimbing ibu dan saudara – saudara kandungnya kembali ke teras rumah. Mereka duduk tanpa kata di teras rumah. Salman duduk di sebelah Usman di kayu kursi buatan ayah mereka. Ibunya duduk di lantai beralas tanah tepat beberapa jengkal dari pintu kayu yang beberapa bagian cat warna coklatnya telah pudar. Nitish dan Mehta sudah kembali ke dapur, sebentar lagi waktunya makan malam. Meskipun mereka semua tidak ada yang berselera tapi mereka harus makan. Pesan ayah mereka adalah untuk selalu menjaga kesehatan, ketenangan dan cinta diantara keluarga. Salman mengeluarkan benda kotak dari sakunya. Sebuah telepon genggam versi android buatan Cina. Sehari sebelum kepergian Khan, dia dan ayahnya pergi ke kota untuk membeli dua buah ponsel dengan uang hasil penjualan beberapa kambing – kambing ternak mereka. Selain sebagai bekal Khan di Arab nanti, juga untuk membeli dua telepon selular itu. Agar memudahkan Khan untuk berkomunikasi dengan keluarganya dan keluarganya berkomunikasi dengan Khan. Salman menekan beberapa tombol disana. Ini adalah telepon selular pertamanya. Meskipun penjual telah menjelaskan beberapa fitur dan cara penggunaan tapi sulit bagi Salman untuk mengerti. Memang beberapa orang temannya yang dari keluarga kaya memiliki benda sejenis itu tapi Salman tidak pernah benar – benar mencari tahu cara menggunakannya. Salman hanya ingat bagaimana cara mengirim pesan, menerima pesan, melakukan panggilan dan menerima panggilan. Tapi dia pernah mendengar bahwa telepon selular itu punya banyak kelebihan yang bisa membuatnya melihat berbagai hal. Salman menuju ke kamarnya di lantai atas. Dia menaiki tangga yang masih utuh berwarna asli semen dengan dinding batu bata merah tanpa sentuhan akhir. Sedikit saja tangannya menyentuh dinding itu maka beberapa butir pasir dipastikan berjatuhan. Sesampainya dia membuka sebuah laci di meja kayu yang terlihat lebih tua dari usianya. Mencari sebuah catatan lama di buku kecil. Lalu menekan beberapa tombol di Hp nya. “Halo, ini aku Salman. Bisakah kamu datang malam ini? Iya penting. Baiklah aku tunggu ya.” Semua terduduk dalam diam. Menunggu kabar berita dari ayah mereka. Rumah sederhana itu menjadi terasa sangat hampa tanpa kepala keluarga yang biasanya selalu ada di antara mereka. Meja makan kayu tanpa alas telah terhampar beberapa makanan hasil olahan Mehta dan Nitish. Meski usianya baru tujuh belas tahun namun Mehta telah memiliki keahlian dalam menyiapkan makan malam untuk keluarga. Selama ibunya sibuk di sawah maka Mehtalah yang akan mengurus seluruh rumah dibantu Nitish. Selulus SMA Mehta memang tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan sekolah karena keadaan keuangan keluarga Khan. Hal sama terjadi pada dua kakaknya yaitu Salman dan Usman. “Assalamualaikum…!” Teriakan ceria terdengar di depan pintu rumah Khan. Teriakan penuh semangat yang seolah bisa masuk ke dalam rumah tanpa persetujuan. “Waalaikumsalam…!” Serentak seisi rumah menjawab. Sekarang jam 21.00 waktu Nepal, siapa rupanya yang berkunjung selarut itu. Salman berdiri membukan pintu dengan segera. Dia tahu sahabatnya yang satu itu tidak akan pernah mengecewakannya. “Selo…!” “Salman…!” Selo melangkah ke pintu dan merangkul Salman. Setelah mereka lulus SMA beberapa kali mereka bertemu dan ini sepertinya adalah pertemuan pertama mereka setelah beberapa bulan lalu. Selo tinggal di lain kota. Perlu dua jam perjalanan untuk sampai ke desa Salman. Salman sudah sedikit menceritakan kepergian ayahnya, penolakan Miranha dan keadaan keluarganya. Termasuk tentang kesulitannya menggunakan ponsel. Selo menengok ke arah punggung Salman dan menemukan anggota keluarga Salman yang lain sedang duduk di meja makan namun dengan piring – piring yang masih bersih di hadapan mereka masing – masing. “Bibi apa kabar? Sepertinya aku datang di waktu yang tepat saat kalian baru mulai makan?” Selo menjabat tangan ibu Salman. “Tidak kak, kami sudah duduk disini sejak tadi namun entah kenapa tidak ada yang mulai menyendok nasi. Sebetulnya aku mulai lapar namun Ibu dan Kakak terus diam.” Kata – kata polos Nitish disambut tawa mereka semua. Keadaan yang semula beku rasanya mulai cair dengan kedatangan Selo. “Mehta, ambil lagi satu piring untuk Kak Selo!” pinta nyonya Laksmi pada putrinya. Setelah Selo mendapatkan piringya lalu mereka semua mulai makan dengan beberapa tawa persembahan Selo. “Tahukah Bibi kenapa aku kesini selarut ini? Aku harus menunggu ayahku tiba di rumah setelah mengajar. Anak Bibi yang satu ini menelponku tadi siang. Seolah ada kejadian penting dia tidak mau menunda dan memintaku untuk datang malam ini juga. Ternyata dia memintaku datang hanya untuk mengajarinya cara memakai Hp!” Selo berkata dengan menunjuk muka Salman dan tangan bergerak kesana kemari menggambarkan ekspresinya. Di ujung kalimat dia pun menepuk jidatnya sendiri. Seisi rumah yang sedang gelisah karena kepergian Khan merasa sangat terhibur dengan kedatangan Selo. Mereka berbincang beberapa saat di meja makan. Selo seolah tidak pernah kehabisan bahan untuk berbicara dan membuat orang lain tertawa. Pribadi yang sangat berlawanan dengan Salman yang pendiam dan tertutup, Selo selalu ceria. Selo berasal dari keluarga berpendidikan. Ayahnya seorang guru yang keberadaannya cukup di hormati di kotanya. Namun demikian Selo tidak pernah meninggikan semua itu. Bagi Selo pertemanannya dengan Salman begitu erat. Kapanpun dia membutuhkan Salman maka Salman akan hadir untuknya. Dan kapanpun Salman membutuhkan Selo pun demikian. Hampir tengah malam ketika Laksmi meminta semua anak untuk masuk ke kamarnya masing – masing. Nitish dan Mehta tidur dalam satu kamar. Salman, Usman dan Selo di ruang kamar lainnya. Usman menambahkan sebuah kasur lantai usang untuknya dan mempersilahkan Selo menempati ranjangnya. Yang terjadi malam itu adalah mereka yang ada di kamar Salman tidak tidur hampir menjelang subuh karena mereka bertiga sibuk dengan ponsel. Selo mengajarakan Salman dan Usman cara memakai kecanggihan alat itu. Salman memakai ponsel yang diberikan ayahnya dan Selo mengijinkan Usman memakai ponselnya. Ada yang saja kelucuan yang membuat mereka tertawa. Mulai dari memasukkan nama website yang salah sampai membuat pertemanan di aplikasi f******k yang mengesankan. Salman melihat dunia begitu luas sekarang. Dia juga melihat beberapa halaman dan komunitas tentang beasiswa dari Nepal ke beberapa wilayah di Asia dan Eropa. Dia semakin tertarik mencari informasi ini. Ternyata agent beasiswa itu memiliki beberapa sistem pelatihan yang hanya tersedia di ibu kota Nepal, Khatmandu. Salman memutuskan bahwa mulai besok dia akan mencari informasi bagaimana dirinya bisa berangkat ke Khatmandu untuk mendapatkan program beasiswa itu. Tentu beasiswa ini akan menjadi jalan baginya untuk memiliki pendidikan tanpa ayahnya harus mengeluarkan banyak uang. Salman baru tertidur dua jam setelah Selo dan Usman terlebih dahulu tenggelam dalam mimpinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD