Bab 2

1256 Words
"Aku sangat berterima kasih kamu mau menolongku, Mas," tutur Viona, seraya mendaratkan bokongnya di tepi ranjang. Tatapannya memindai seluruh isi kamar, yang ia yakini adalah kamar milik Davin. Kamar yang dominan dengan warna hitam dan silver itu tampak sesuai dengan karakter Davin yang sedikit pendiam dan misterius.  Ya, Davin mengajak sang istri untuk pulang ke rumahnya karena Viona sendiri yang meminta. Viona ingin meyakinkan ibu tiri dan kakak tirinya kalau ia dan Davin adalah sepasang suami istri yang sebenarnya. "Jangan berterima kasih, Vio. Ini sudah takdir jadi aku memang harus menolongmu. Bayangkan, sebanyak itu pria yang berkeliaran di rumah sakit, kamu malah memilihku untuk menikah denganmu. Itu artinya akulah yang orang yang tepat untuk mendampingimu menghadapi ibu dan kakak tirimu," tutur Davin. Ikut duduk di tepi ranjang dan memandangi Vio. Pria itu mulai menatap sang istri dengan tatapan nakal. "Sepertinya begitu," gumam Viona lemah. Suasana hatinya tampak memburuk saat ini.  Padahal sebelum masuk ke kamar tadi ia tampak bersemangat berkenalan dengan para asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Davin. Ia juga menunjukkan buku nikah mereka dan menjelaskan sedikit kronologi tentang pernikahan dadakan tersebut. Tentu saja dengan menyimpan rapat inti masalah yang ada.  "Mulai saat ini kamu tidak perlu lagi memikirkan masalahmu dengan mereka. Karena aku lah yang akan melawan mereka dan mendampingimu hingga masalahmu selesai. Dan itu pula sebabnya aku membawamu kesini, supaya kita leluasa membahas hal tersebut tanpa ada mata-mata." Davin menepuk pelan pundak Vio. Vio menarik kedua sudut bibirnya. Di dalam hati ia turut membenarkan perkataan Davin. Diantara banyak pria, hatinya menuntun untuk memilih pria itu untuk dimintai pertolongan. Dan pilihan tersebut sangat tepat, karena Davin tampak sangat tulus untuk membantu dirinya.  "Sebelum aku menceritakan semuanya, aku ingin bertanya dari mana kamu mengetahui jika musuhku adalah ibu dan kakak tiriku?" Dengan ragu Vio bertanya, karena sedari tadi Davin selalu benar dalam menebak siapa yang kini mengganggu pikirannya. "Sebelum aku mengucapkan ijab kabul untukmu, ibu tirimu memberiku sejumlah uang agar aku pergi dan membatalkan pernikahan kita. Itu yang pertama. Yang kedua, tatapan mereka berdua menunjukan kemarahan saat aku resmi menjadi suamimu. Kedua fakta tersebut sudah cukup bagiku sebagai alasan untuk menuduh mereka berdua sebagai musuhmu," ucap Davin santai.  "Jadi benar," gumam Viona. Nyaris tidak terdengar, tetapi Davin masih bisa mendengar apa yang ia ucapkan. Akan tetapi, Davin lebih memilih berpura-pura tidak mendengar, supaya tak dianggap lancang karena mendesaknya untuk bercerita.  "Aku sudah empat kali gagal menikah, Mas. Dan alasan pembatalannya selalu sama dan sama-sama di hari pernikahanku. Awalnya aku menganggap ini semua hanyalah sebuah kebetulan dan menganggap mereka semua bukan jodohku. Akan tetapi, batal menikah sampai empat kali ternyata membuatku patah hati juga." Vio tersenyum kecut. Mengingat bagaimana keempat mantan calon suaminya, mundur dari pernikahan yang telah direncanakan.  "Dan seiring dengan berjalannya waktu, atau tepatnya saat kegagalan yang ketiga, aku baru tahu siapa dalang dibalik semua ini. Yang tidak lain adalah istri kedua ayahku. Selain patah hati karena gagal menikah, aku juga patah hati karena kehilangan ibuku. Beliau meninggal karena serangan jantung, mendengar pengakuan istri kedua ayah." "Istri kedua? Kenapa ayahmu bisa memiliki istri kedua tapi anaknya lebih tua darimu?" tanya Davin heran. Karena Viona lebih muda dari pada Adinda. Jika ibunya Viona adalah istri pertama, seharusnya Adinda lebih kecil daripada dirinya. "Aku tidak tahu bagaimana cerita lengkapnya. Yang jelas ibuku divonis susah memiliki anak, sehingga ayah menikah lagi untuk memenuhi keinginan nenek dan kakek. Tanpa sepengetahuan ibuku. Aku dan ibu juga tidak tahu kapan tepatnya ayah menikah dan Adinda lahir. Pokoknya mereka sudah datang saja ke rumah, dan merenggut nyawa ibu. Beliau pergi untuk selamanya karena merasa terkhianati."  Davin tertegun. Mendengar penjelasan dan keterangan dari Vio. Penjelasan yang mengandung banyak kejanggalan. Dan ia yakin usia Adinda tidak sesuai dengan usia pernikahan kedua orang tuanya. Sangat mustahil pula ayahnya Vio mengkhianati pernikahan dengan ibu kandungnya, di awal-awal pernikahan mereka.  Oleh karena itu, Davin yakin ada yang tidak beres dibalik pernikahan tersebut. Ia bertekad akan menyelesaikan masalah tersebut, dengan cara mengungkap tabir yang ada di masa lalu. Karena seluruh kunci masalah ada di sana. "Vio, mulai sekarang kamu tidak perlu khawatir. Aku akan mencari tahu apa yang ada di masa lalu ayah dan ibu tirimu. Kamu cukup diam dan berpura-pura tidak tahu saja. Anggap kamu tidak pernah menceritakan ini padaku, agar tugasku bisa berjalan dengan baik." "Jadi apa yang akan kamu rencanakan?" tanya Viona. Setelah mereka berdua cukup lama saling diam dan bertatapan.  "Sebelum melangkah, aku harus tahu apakah ibu tirimu memiliki niat untuk menguasai harta Ayahmu. Karena sebelum menikah, tadi aku sempat disogoknya dengan uang seratus juta rupiah," terang Davin. Seraya menegakkan punggungnya. "Kita harus antisipasi dulu bagian yang menyangkut kepentingan banyak orang. Karena harta dan kedudukan ayahmu melibatkan banyak orang didalamnya." "Tentu saja." Viona mengangguk. "Apalagi yang dia inginkan kalau bukan itu. Meskipun ayah selalu mengatakan akan dibagi rata antara aku dan Adinda, tapi tetap saja mereka takut bagianku lebih banyak. Apalagi aku sudah beberapa kali akan menikah dan Adinda belum." "Ah, begitu … ya." Davin menganggukkan kepalanya. Tidak perlu banyak tanya dan pembicaraan lagi. Ia sudah paham inti dari masalah yang ada.  "Apalagi kalau kelak kita …,-" Ucapan Davin terputus karena ponsel Viona yang ada digenggamnya berdering dengan nyaring. Membuat gadis itu langsung melihat siapa yang tiba-tiba menghubungi.  Takut ada hubungannya dengan sang ayah, Viona mengangkat tangannya meminta Davin untuk diam sejenak. Sehingga kata-katanya kembali tertelan masuk ke dalam tenggorokannya. Namun, saat gadis itu melihat siapa yang menghubunginya, kedua matanya langsung memerah dan berembun.  "Mas Haris," gumamnya. Hatinya begitu sakit saat melihat nama Haris terpajang di layar ponselnya. Haris, yang tidak lain adalah pria yang membatalkan pernikahan mereka tadi pagi. Dan kini pria itu tiba-tiba saja menghubunginya seakan tidak ada yang terjadi diantara mereka berdua. Seakan tidak ada pernikahan yang batal dan hati yang terluka. Alih-alih mengangkat panggilan tersebut, Viona malah menimbang-nimbang ponselnya. Tatapan kosong, seakan rohnya terbang entah kemana. "Dari siapa?"tanya Davin penasaran. Setelah berusaha menahan rasa penasarannya. Namun, ponsel Viona yang terus saja berdering membuatnya tidak mampu lagi membendung rasa penasaran tersebut. Pertanyaan Davin menyentak Viona dari lamunannya. Gadis itu langsung menggeleng dan menghapus air matanya yang turun di kedua pipinya.  "Jangan ragu untuk bercerita denganku. Kamu lupa, Vio, beberapa jam yang lalu aku sudah sah menjadi suamimu. Itu artinya, kamu sudah menjadi tanggung jawabku," tutur Davin, di tengah suara dering ponsel yang ada di genggam Viona.  Melihat Viona menangis, tanpa sadar Davin merasa kasihan dan iba pada istrinya. Jika awalnya ia tertarik karena ingin balas dendam pada mantan kekasihnya dan tertarik karena kecantikan Viona, kini Davin mulai merasa ada sesuatu yang menggelitik hatinya setiap menatap wajah cantik sang istri.  Apakah itu cinta? Bagaimana cinta datang secepat itu? "Dari Haris. Pengantin pria yang membatalkan pernikahan di saat aku menunggu kedatangannya untuk mengucapkan ijab kabul." Menyerahkan ponsel tersebut kepada Davin. Seperti orang yang terkena hipnotis. Viona tanpa sadar menyerahkan ponselnya kepada Davin. "Mas saja yang bicara dengannya."  "Aku?" tanya Davin seraya menunjuk dirinya sendiri.  Viona mengangguk dan meletakkan ponselnya yang masih berdering itu ke tangan Davin.  "Begini saja. Kita angkat dan dengarkan bersama apa yang akan dia katakan. Bagaimana?" Meletakkan ponsel tersebut diantara mereka berdua.  "Baiklah," gumam Viona. Jari telunjuknya menggeser layar untuk mengangkat panggilan tersebut. Tidak lupa Viona menyalakan pengeras suara agar mereka berdua dapat mendengarkan secara bersamaan.  "Halo, Vi … ini aku, Haris," ucap seorang pria diujung panggilan.  "Ada apa?" tanya Viona dengan ragu. "Aku mau ketemu sama kamu, sekarang. Bisa?" Viona dan Davin saling bertukar tatap. Viona tak tahu apa yang harus ia katakan pada pria yang sudah meninggalkannya saat acara ijab kabul itu. Yang jelas, saat ini wanita cantik itu sangat takut dan menghargai keputusan sang suami-Davin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD