Chapter 2

1305 Words
“Dari jawabanmu, kurasa kau lebih terdengar ingin menghancurkan perusahaan Perald dibanding membantu perusahaan ini berkembang.” “Karena dengan hancurnya perusahaan Perald, otomatis perusahaan ini akan lebih cepat berkembang, Pak.” “Berkembang dengan cara menjatuhkan orang lain? Licik sekali, dan-” Alex menjeda ucapannya seraya membuka berkas yang telah dia ambil. “Sangat tidak bermartarbat.” “Di situasi persaingan seperti sekarang ini, kalau Anda tidak menghancurkan maka Anda yang dihancurkan, Pak. Lagipula dalam dunia bisnis, bermain cantik itu adalah hal yang biasa.” Pandangan Alex dari berkas pun teralih. Ia kembali menatap Jessica dengan pandangan yang lebih dalam dan sulit diartikan. Seolah berusaha menebak apa yang sedang berada di pikiran Jessica. Atau mungkin sedang meneliti apakah saar ini Jessica tengah berbohong atau tidak. Jessica pun berusaha senyum dan terdiam. Dia menantikan pertanyaan Alex yang lainnya. Apapun itu, dalam hatinya kini berharap sesi wawancara ini segera berakhir. Meski awlanya bersemangat, sekarang Jessica ingin ditolak kemudian iabisa bernapas dengan tenang karena tidak harus bertemu lagi dengan Alex. Untuk selanjutnya Jessica akan lebih berusaha keras mencari pekerjaan lain agar bisa segera mendapatkan uang. “Baiklah. Kau diterima. Datanglah besok pukul sembilan pagi. Dan ini, hubungi aku karena ada beberapa hal yang harus kau kerjakan..” Alex meletakkan kartu namanya di atas meja. Mendorong kartu itu dan berpindah lebih dekat dengan Jessica. Jessica menatap kartu itu. Alex dapat merasakan keterkejutannya. Jessica menganga tidak percaya.  Demi apa? Jessica mulai cemas memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang muncul selama ia akan setiap hari bekerja bersama Alex. Sungguh, apakah Jessica boleh memberontak untuk fakta ini? Fakta bahwa ia baru saja diterima oleh mantan kekasihnya, bukan permintaan kembali menjalin hubungan melainkan pekerjaan. Dan mereka akan menjalankan hari-hari dengan bagaimana? Ah, ralat. Hanya Jessica. Bagaimana Jessica akan bersikap kepada Alex jika begini. “Apa kau serius?” tanya Jessica langsung. “Aku tidak pernah main-main.” Jessica menggigit bibir bawahnya. Ah, cobaan macam apa ini. Tuhan tolonglah aku. Itu ucapan dengan raut wajah yang sama, nada suara yang sama yang pernah Jessica dengar beerapa tahun lalu. Dulu Alex mengatakannya setiap mengajak Jessica melakukan sesuatu, misalnya pergi berlibur bersama tau pun memberinya hadiah yang cukup mahal. Hari ini Jessica kembali mendengarnya dari orang yang sama dalam situasi yang berbeda. Mengapa setiap detail mengenai Alex seolah seketika muncul di ingatannya. Jessica pun terdiam, tidak tau harus merasa senang atau merasa ini adalah malapetaka karena ia akan berkomunikasi kembali dengan Alex. Luka lamanya belum terobati. Dia mulai khawatir perasaan yang dulu pernah ada untuk Alex akan semakin bertambah, karena hingga detik ini sebenarnya ia masih menyayangi Alex. “Berapa lama lagi kau berada disini? Wawancaranya sudah selesai.” Pertanyaan itu membuat Jessica terhenyak kembali ke alam sadar. Alex mengusirnya secara halus. “Baiklah terima kasih, Pak. Terima kasih atas kepercayaan Anda. Aku tidak akan mengecewakan.” “Aku juga akan segera menghubungi Anda.” Jessica mengambil kartu nama yang diberikan Alex kemudian berdiri dan pamit dari ruangan itu. Alex hanya diam saja dan terus menatap segala pergerakannya. Sebenarnya Jessica agak sedikit menyesal ketika mengucapkan ‘saya tidak akan mengecewakan’. Nyatanya, ia sudah pernah mengecewakan Alex dulu. Terlalu mengecewakan hingga membuat Alex tidak ingin melihatnya lagi. Akan tetapi, sekarang mereka dipertemukan kembali. Alex yang menerima Jessica sebagai sekretarisnya, dan ia juga yang membuat Jessica kembali bersinggungan dengan kehidupannya. Jessica benar-benar tidak tahu jika CEO perusahaan Iel’s adalah Alex, mantan kekasihnya. Jika saja dia tau, pastinya dia akan mempertimbangkan banyak hal sebelum mengajukan lamaran. Sayangnya ia benar-benar baru mengetahuinya ketika sesi wawancara dimana sudah tidak mungkin lagi menghindar kecuali dirinya ditolak. Entah Jessica harus bersyukur karena mendapat pekerjaan semudah ini, atau ia harus merana karena hari-harinya kini akan dipenuhi oleh Alex dan segala kenangan bersamanya yang akan menguak ke permukaan.   ----     Jessica menatap kartu nama yang diberikan Alex. Dia bilang harus segera dihubungi. Entah harus memulai dengan apa untuk menghubungi Alex kembali. Terbesit keinginan untuk menolak semua ini. Tidak mungkin Jessica bisa menampiskan perasaan yang akan terus muncul selama berada bersama Alex. Entah kepribadian Alex yang sekarang sudah beda dengan yang dulu atau tidak. Alex yang dulu benar-benar sangat baik. Selain ketampanan wajahnya, kebaikan hatinya pun mampu membuat siapapun merasa luluh. Meski ia adalah salah satu makhluk yang jarang tersenyum dan lebih sering menunjukkan ekspresi datar. Bayangan ibu kembali muncul di pikiran Jessica. Sepertinya memang tidak ada cara lain atau pun pilihan lainnya. Lagipula ia yakin gaji sebagai sekretaris Alex sangatlah fantastis. Semoga bisa segera membiayai pengobatan ibu. Jessica tergerak untuk segera mengetikkan pesan kepada Alex. Sebuah basa-basi yang berintikan bahwa pemilik nomor ini adalah Jessica. Napasnya terasa tercekat sesaat ketika pesan itu baru terkirim. Saat ini dirinya sedang mengantri di sebuah kafe dekat kantor Alex. Rumahku cukup jauh dari kantor ini. Jessica khawatir jika ia pulang sekarang, ia tidak bisa mengerjakan tugas yang diberikan Alex. Pesan balasan muncul dengan cepat dan Alex memintanya untuk- apa?!! Dia mengirimikan beberapa tugas non-formal selama Jessica menjabat sebagai sekretarisnya. Salah satu tugasnya adalah membelikan buket bunga berwarna putih setiap hari sabtu. Ia akan memberikan uangnya secara sekaligus dan aku harus melakukan itu setiap hari sabtu, wajib! Untuk apa? Pertanyaan itu seketika berkecamuk di pikiran Jessica. Apakah untuk kekasihnya? Jujur, hati Jeesica tidak terima jika Alex sudah memiliki perempuan lain untuk dicintai. Atau bagaimana jika bahkan Alex sudah menikah? Ah, fakta itu akan jauh lebih menyakitkan bukan? Terlebih jika Jessica harus menyaksikan kemesraan mereka dan bagaimana Alex memperlakukan wanitanya dengan sangat manis. s**t!! Sepertinya Jessica harus benar-benar menolak pekerjaan ini. Hal ini benar-benar menjengkelkan. Akan tetapi ia benar-benar membutuhkan uang. Ponselknya menyala pertanda dering telepon masuk. “Halo bibi Marry ada apa?”   -----   Jessica berlari dengan cepat, secepat yang ia bisa. Dirinya tahu sekarang sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Sudah hampir makan siang dan ia datang sangat terlambat ke kantor. Meski salah satu sisi hatinya bersorak sorai karena ia kemungkinan besar dipecat akibat keterlambatannya yang artinya Jessica tidak perlu berurusan dengan Alex. Akan tetapi, otak warasnya khawatir karena semalam ibu masuk rumah sakit dan ia perlu biaya untuk mengobatinya. Saat ini juga. Jessica menunduk dan sedikit tersenyum melewati resepsionis yang menatapnya dengan penuh kesinisan. Ia mengetuk pintu ruangan Alex seraya mengatur napas yang tidak beraturan setelah berlari. Merasa tidak mendengar apapun setelah cukup lama mengetuk, dirinya  segera membuka pintunya dan sayangnya ruangan itu terkunci. Kemana dia? Langkahnya kembali menuju resepsionis dan menanyakan keberadaan Alex. “Dimana Alex?” tanyanya cepat. Melupakan fakta bahwa seharusnya Jessica menyebut nama bosnya itu dengan lebih sopan. “Rapat.” jawabnya lebih ketus. Oh s**t! Sepertinya Jessica akan benar-benar dipenggal kali ini. Ia yakin Alex akan benar-benar membunuhnya.  Kenapa dia tidak memberitahuku perihal rapat.  Dengan keterlambatannya saja, minimal seharusnya dia mencari tahu keberadaan Jessica dengan menelpon atau pun mengirimikan pesan. Jessica memutusukan untuk duduk di kursi yang kemarin ia duduki. Menelpon Alex hanya akan mengganggu dirinya yang sedang rapat. Jessica berusaha menenangkan diri. Menarik napas, tahan, hembuskan. Otaknya mulai bergerilya untuk mencari pekerjaan apa saja yang bisa ia lakukan agar mendapatkan uang dalam waktu cepat. Menjual tubuh? Pemikiran itu kembali muncul dan seketika membuatnya meringis. Itu sebenarnya adalah satu-satunya cara yang paling instan dan mudah. Hanya saja cara itu akan ia letakkan di pilihan paling terakhir. Di pilihan yang Jessica harap tidak akan pernah dilakukannya. Alex muncul dari lift dengan raut wajah yang sangat menyeramkan. Jessica langsung berdiri dari duduknya. Ia tidak takut jika Alex melakukan k*******n fisik, karena Alex bukan tipe yang seperti itu. Jika pun benar-benar terjadi Jessica juga tidak akan takut. Ia lebih takut dengan ucapannya yang sangat tajam melebihi belati. Napas Jessica terengah-engah ditambah keringat yang menetes dari pelipis menjadi teman rasa khawatirnya saat ini. Kedatangan Alex seolah membawa badai dan malaikat mau di belakangnya. “Pak, aku-” ujarnya ketika Alex lewat di hadapanku. Ucapan yang langsung dipotong oleh Alex. “Masuk.” Alex berucap dengan nada yang sangat datar, dingin. Nada yang membuat Jessica semakin bergidik ngeri.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD