Chapter 3

1146 Words
“Pak, aku-” ujarnya ketika Alex lewat di hadapanku. Ucapan yang langsung dipotong oleh Alex. “Masuk.” Alex berucap dengan nada yang sangat datar, dingin. Nada yang membuat Jessica semakin bergidik ngeri. Jessica mengikuti langkahnya tanpa ucapan apapun. Setelah memasuki ruangannya,  Alex segera menuju singgasana alias kursi kebesaran yang kemarin ia duduki ketika mewawancarai Jessica. Jessica hanya berdiri di dekat pintu. Pertama, jika ada apa-apa ia akan sangat mudah untuk kabur karena posisi strategis di dekat pintu. Kedua, ia bingung harus berdiam diri dimana karena Alex sendiri tidak mempersilahkannya untuk duduk atau pun berguling-guling. Setelah duduk, Alex menatap Jessica dengan tatapan yang dingin. Hampir sama dengan tatapan ketika kejadian saat Alex memutuskannya dengan segala ucapan yang menyakitkan. Jessica sangat sadar jika laki-laki itu sedang marah saat ini. “Aku-.” “Jika kau masih cukup tau diri, jangan melakukan pembelaan apapun.” Jessica pun seketika bungkam. Oke, benar yang Alex katakan. Jessica memang sangat salah dan tidak tahu diri. Alex menerimanya begitu mudah, dan Jessica sudah sangat mengecewakan dengan datang terlambat. Ditambah dirinya tidak mengikuti rapat dimana seharusnya itu adalah tugas pertama Jessicahari ini. Alex menatap jam tangannya kemudian menatapi tubuh Jessica dari bawah hingga atas. Setelah mengulanginya tiga kali, ia fokus menatap mata Jessica. “Meja kerjamu ada disana. Mulailah bekerja.” Ia menunjuk sebuah meja yang berjarak tidak jauh dari sofa santai. Disana lengkap terdapat komputer dan juga laptop serta aneka peralatan lainnya. Jessica merasa tidak ingat kemarin itu ada di ruangan ini. Tunggu! Alex tidak memecat dirinya? Otak warasnya merasakan lega yang amat luar biasa tetapi hati Jessica justru berdebar. Ia harus bekerja dalam satu ruangan dengan Alex. Hanya berdua? Dalam jangka waktu yang belum dapat pastikan? Bisa jadi tiga bulan? Atau bertahun-tahun? Atau kapan pun hingga gajinya cukup untuk membiayai pengobatan ibu, ia akan segera mengundurkan diri. Jessica benar-benar harus segera mencari gaji tambahan dengan mencari pekerjaan sampingan, jika ia bisa. “Apa kau tuli?” Ucapan Alex membuat Jessica membuyarkan lamunannya dan segera melangkah menuju meja kerja. Seraya melangkah ia bingung tugas apa yang akan kerjakan. Akan tetapi, kebingungannya hilang setelah melihat setumpuk berkas yang tersaji menunggunya beserta sticky notes. “Waw.”  Ia menggumam lemah. Dirinya harus mendengarkan rekaman rapat tadi dan membuatkan notulensinya secepat mungkin. Mantap sekali, rapat selama dua jam dan ia harus bisa menyelesaikan notulensinya setelah makan siang. Itu catatan yang tersaji di sticky notesnya. Jessica yakin Alex sudah membuat catatan penting versi dia sendiri, dan dia meminta Jessica melakukan ini lagi? Baiklah, ini memang yang seharusnya Jessica lakukan jika ia datang tepat waktu tadi, mengikuti rapat dan mencatat notulensinya. Jessica melihat tugas lainnya yang harus dikerjakan. Sepertinya memeriksa proposal bisa dilakukan nanti ketika makan siang. Ah, bukan. Maksudnya setelah selesai membuat notulensi rapat. Artinya, Jessica tidak akan makan siang kali ini. Ia tidak akan memiliki waktu.   ----- Brukkk.. Sebuah tangan yang menggebrak meja membuat Jessica terkejut bukan main. Sejak tadi dirinya memutar rekaman rapat dengan menggunakan headphone sehingga tidak akan mengganggu Alex. Keasikkan mendengar lalu mengetik sepertinya membuat ia tidak mendengar suara lain, seperti suara Alex misalnya. Jessica melepas headphonenya dan bertanya. “Ada apa?” “Salah satu aturan di kantor ini adalah setiap pukul 12 hingga 1 siang adalah waktunya makan siang, jadi tidak ada yang bekerja.” Jessica menganggukkan kepala pertanda mengerti. Hanya saja pekerjaan ini harus selesai setelah makan siang, bukan? Jadi ia sudah memutuskan untuk tidak melakukan makan siang kali ini. “Baiklah. Selamat menikmati makan siang, Pak.” Jessica kembali menatap monitor. “Kurasa kau harus mengingat tugas yang kemarin ku berikan padamu.” Jessica mengernyitkan kening dan berusaha mengingat apakah ada tugas yang perlu ia kerjakan. Oh s**t! Sebagai sekretaris, dirinya harus menemani Alex makan siang dan itu adalah hal yang menyebalkan. “Terkait menemanimu makan siang, kurasa itu bukan tugas sekretaris.” Jessica berujar begitu karena ia merasa tidak seharusnya melakukan itu. “Tugas yang aku kirimkan kepadamu adalah tugas tidak formal. Tugas yang menunjangmu sebagai sekretarisku. Aku akan memberikan gaji tambahan.” Jessica rasa Alex masih seperti dulu, khusus untuk tipe yang tidak mau kalah dalam berdebat. “Notulensi ini harus selesai setelah makan siang dan aku tidak punya cukup waktu jika aku makan siang.” “Itu adalah tugasmu untuk mengatur waktumu sendiri.” “Aku sudah mengaturnya, dan akan cukup jika aku tidak makan siang. Juga jika tidak berdebat denganmu.” “Jika kau tidak akan makan siang, itu akan menganggu waktu kerjamu dari pukul satu hingga empat sore.” “Aku bisa memesan delivery. Ku harap Anda tidak keberatan, Pak.” Jessica segera memasang kembali headphonenya dan mulai mendengarkan. Ia tidak mendengar suara apapun kecuali rekaman rapat atau memang Alex tidak bersuara? Pandanganku benar-benar fokus pada layar monitor. Waktunya terbuang sekitar tiga menit untuk berdebat dengan Alex. Bagi Jessica saat ini waktu tiga menit adalah waktu yang sangat berharga. Dengan tugas segunung dan bos seperfeksionis seperti Alex, ia harus bekerja cepat serta teliti.   ----   Kening Jessica berkerut saat memperhatikan laporan keuangan yang masuk, ada yang sedikit mencurigakan. Ia melirik jam yang berada di atas meja, sudah pukul sembilan malam. Alex memang tidak menyuruhnya lembur, tetapi berkas yang ia berikan sejak tadi sudah menjadi pertanda bahwa Jessica harus menuntaskannya dengan lembur malam ini. Pandanga Jessica teralihkan ke arah Alex. Jessica dapat merasakan bahwa Alex menatapnya, namun entah sejak kapan. Sebenarnya sejak tadi siang, selama Jessica duduk dan bekerja disini ia sudah merasakan pandangan Alex mengintainya. Mungkin itu salah satu alasan Alex menjadikan ruangan Jessica satu ruangan dengannya. Pertama, agar lebih mudah jika Jessica menghampiri perlu tanda tangan berkas atau pun urusan lainnya. Kedua, agar Alex lebih mudah mengawasi gerak-gerik Jessica, apapun itu. Jessica bangkit dari duduknya. Ini berkas terakhir yang ia kerjakan, hanya tinggal meminta tanda tangan Alex saja. “Ini ada berkas laporan keuangan yang harus kau tanda tangani. Akan tetapi, tolong periksa nominalnya. Ada yang janggal.” Alex mengambil berkas dari tangan Jessica tanpa sahutan. Ia membuka dan melirik berkas itu sekilas kemudian menatap Jessica. “Aku akan memeriksanya nanti.” Alex lantas menutup berkas itu seolah benar-benar tidak berminat untuk melakukannya. “Tugasku sudah selesai. Aku izin pulang duluan.” Pandangannya seketika menatap ke arah Jessica. Membuat Jessica berpikir apakah ia salah berkata? Bukankah pulang setelah tugasnya selesai adalah hak Jessica? Akhirnya Alex mengangguk lemah dan Jessica menyunggingkan senyuman lantas mengucapkan terima kasih. Dengan segera Jessica melangkah menuju meja kerjanya dan berberes. Lalu mengambil tas dan melewati Alex dengan senyuman sebagai pertanda kesopanan, ia pamit pulang duluan. Sesampainya di dekat pintu, Alex berbicara. “Bawa saja laptop itu. Aku bisa saja memintamu mengerjakan sesuatu di tengah malam. Laptop itu hak milikmu.” Ya Tuhan sesuatu apalagi! Apa Jessica harus begadang dan menanti tugas dadakan dari Alex? “Kalau begitu aku kerjakan sekarang saja tugasnya disini.” Jessica berbalik badan dan menatap Alex dengan cepat. “Tidak.” Lalu apa sebenarnya mau lelaki itu? “Bawa laptop itu. Itu milikmu sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD