2. Emran

1200 Words
"Makannya cari jodoh biar cepat dapat anak kayak gue, apalagi sekarang istri gue hamil lagi, kembar pula." "Lu sama Idar beternak anak melulu, kembar pula." "Ya gimana lagi coba? Gen dari keluarga gue sendiri kuat, turunannya banyak yang kembar." "Lur, berarti kalau gue hitung itu umurnya Gendhis berarti dua puluh tahunan, jarak selisihnya sekitar lima belas tahun. Tapi santai saja lur, jarak umur papah gue dengan maya saja umurnya lebih dari dua puluh tahun." "Gue mau cari jodoh sendiri deh, tapi gue bingung mau nyari di mana," keluh Emran yang memang sudah putus asa. "Ya ela, lur. Banyak yang suka sama elu, kowad banyak suka sama lu kan? Dokter muda apalagi, tinggal main ke rumah sakit deh atau nongkrong di cafe milik emak lu deh, pasti nyangkut lah barang sebiji juga. Elunya yang terlalu banyak milih." "Au ah." Emran terlalu ogah menanggapinya. "Elu normal kan, lur? Lu tidak doyan batang kan, lur?" "Eh buset, gue masih normal kaleee, gue masih suka cewek" "Ya makannya kawin lur.. Eh.. Nikah maksudnya. Sudah yang di depan mata saja di embat tidak usah nyari yang lain lagi deh." "Di depan mata dari hongkong." "Maksud gue itu si Gendhis saja." "Bang ke lu ah, jadi dulur bukan menyarankan yang baik." "Kurang baik apa gue coba? Gue sudah menyarankan Gendhis loh, sudah itu saja lagipula kan sepupunya istri gue ini. Gue juga tahu anaknya baik dan satu lagi.. Kan dia dulu yang ngajak nikah elu. Langsung gas saja, lur." "Ngomong sama lu itu kagak ada faedahnya." "Pikirin baik-baik deh apa yang gue katakan, okay lur. Gue tunggu kabar baik dari lu. Sudah ah, gue mau gawe lagi. "Kee, tunggu bentar.. " "Apalagi, lur?" Terdengar helaan nafas dari Keenan. "Tolong jangan bilang ke Nana yah tentang hal ini." "Wani piro?" Tantang Keenan. "Halah, perhitungan banget sih sama gue cuma masalah gituan." "Wassalamualaikum." Keenan sudah memutuskan sambungan telepon duluan sebelum Emran menjawab. "Waalaikumsallam." Emran tidak mau ambil pusing dengan apa yang dikatakan Keenan, lebih memilih melanjutkan kerjaannya. Emran keluar ruangan berpapasan dengan Hesti, April dan Gendhis yang sedang membawa berkas di masing-masing tangan mereka. Emran senyum ramah kepada Hesti dan April namun saat ke Gendhis, Emran rasanya kagok banget, Emran hanya bisa tersenyum terpaksa. Gendhis menoleh pada Hesti dan April lalu beralih pada Emran, Gendhis merasa tidak diberikan senyum cerah ceria seperti kedua temannya oleh Emran. 'Apa aku melakukan kesalahan gitu yah?' tanya Gendhis dalam hatinya sendiri. "Ayo kalian kembali bekerja biar paham alur di sini," perintah Emran. "Siap, pak," jawab Hesti, April dengan semangat namun berbeda dengan Gendhis yang menjawab biasa. Emran memperhatikan Gendhis namun Emran enggan ambil pusing karena akan menjaga jarak dengan Gendhis agar Gendhis tidak ingat siapa dirinya. Emran beranjak pergi ke ruang atasannya sambil membawa laporan, ketiga mahasiswi tadi kembali ke ruangan mereka. Jam istirahat sudah tiba. "Kalian kalau lapar mau makan bisa ke kantin, kantinnya ada di belakang gedung, atau bisa juga kalau mau cari bakso keluar terus di sebelah kanan ada yang jualan bakso," ujar pak Abi menginfokan kepada semua anak didiknya. "Kita ngebakso yuuuuk!" Ajak April dengan semangat. Dengan semangat ketiganya keluar area kantor tempat mereka magang ke kedai bakso yang berada di sebelah. Setelah selesai makan bakso kembali mereka masuk ke ruangan namun berpapasan dengan Emran yang baru keluar ruangan anggotanya dengan membawa kotak makan. Ketiga langsung tersenyum lalu menyapa Emran, Emran membalas ramah kecuali pada Gendhis. Ini kali kedua Gendhis heran dengan perlakuan tidak adil Emran padanya, mau nanya ke dua temannya namun ragu, takutnya hanya perasaannya saja tapi ini kedua kalinya masalahnya. Kan Gendhis jadi bingung. "Kalian sudah selesai makan siangnya?" Tanya Emran pada ketiganya namun hanya melihat pada Hesti dan April. "Sudah, pak. Kami tadi makan bakso di sebelah," jawab Hesti dengan semangat. "Tapi kalian tidak boleh makan bakso tiap hari juga karena tidak baik untuk kesehatan," Emran memberikan nasehat seperti nasehat dari bapak ke anaknya. Ketiga anak didik Emran melihat apa yang dipegang Emran. Emran jadi malu dilihat membawa kotak makan bergambar berbie padahal ini hadiah dari ponakannya. Souvenir hadiah saat ponakannya ulang tahun dan Emran kebagian souvenirnya. Saking malunya dilihat begitu, Emran langsung pergi gitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi. Sumpah, malunya setengah metong Emran saat ini saat melihat raut wajah anak didiknya tadi. "Pak Emran makan siang di sini yah, pak?" Tanya Hesti kepada Sri. "Oh itu, bukan makan di sini. Tapi pak Emran baru selesai mencuci tempat makannya lalu ke sini. Pak Emran mah jarang makan di kantin atau beli di luar, beliau lebih sering bawa makan dari rumah." "Higienis yah orangnya, bu?" Tanya April. "Bukan sih, tapi pak Emran suka nyari praktis saja, sama seperti yang lain suka bawa makan dari rumah. Ibu juga gitu kok, kalau jajan tiap hari ya tekor juga, ngirit lah intinya." Ketiganya mengangguk saja serasa mengerti. "Nanti jam satu kita kerja lagi, ibu akan banyak ajarin kalian ilmu peradilan militer, kalian bertiga bisa bantu ibu, pak Abi atau pak Riki sekalian kalian belajar juga. Tapi untuk minggu ini pak Abi dan pak Riki lagi sibuk-sibuknya jadi kalian sama ibu dulu." Ketiganya mengangguk lagi saja. Hingga tidak terasa sudah waktunya pulang. "Ayo anak-anak kita pulang. Kalian setiap hari kan ke sini?" "Iya, bu," April yang menjawab. "Berarti kita ketemu lagi besok yah, kita keluarnya barengan saja. Kalian pakai apa ke sini?" "Kita semua pakai motor, bu," jawab Gendhis. Setelah semuanya berada di parkiran motor, begitu juga dengan Sri. "Sampai ketemu lagi lusa yah anak-anak, hati-hati di jalan." "Ibu juga hati-hati di jalan seperti lagunya om Tulus." Sri pun mulai melajukan motor maticnya meninggalkan parkiran motor. "Dis, tumben kamu pakai motor," kata Hesti. "Di suruh sama ibu aku, biar tidak dinilai sombong di sini karena anak magang bawa mobil." "Benar juga yah apa kata ibu kamu, ibu aku juga beri pesan untuk jaga sopan santun di sini," ujar Hesti. "Padahal yah, aku tuh kan anaknya sombong masa disuruh tidak sombong rasanya yo ndak bisa aku," ujar Gendhis kemudian terkekeh sendiri. "Kumat narsisnya deh. Ayo kita pulang," ajak April. Mereka bertiga sudah siap di atas motor masing-masing tapi mendadak terdiam setelah melihat Emran yang hendak masuk ke dalam mobil. "Pril, Dis, lihat deh itu pak Emran guantengnya puool yah. Sudah ganteng, gagah, mobilnya pun bukan mobil sejuta umat, itu mobil seharga setengah milyar." April dan Gendhis menganggukkan kepala mereka setuju dengan apa yang dikatakan Hesti. "Pasti beruntung yang jadi istrinya pak Emran," imbuh April. "Pasti anaknya ganteng sama cantik secara pak Emran gantengnya tak terbatas gitu," Hesti menambahkan. Gendhis melihat kedua temannya yang menatap Emran sampai terpana begitu. "Laki orang itu woi, jangan ngarep," ujar Gendhis yang ingin menyadarkan kedua temannya. "Tapi tidak salah kan kalau menikmati ciptaan sang Kuasa, nikmat mana lagi yang Kau dustakan," ujar Hesti sambil menatap langit. "Sudah ah, ayo kita pulang !" Dan mereka berpapasan dengan Emran di pintu keluar. Emran langsung membuka jendela untuk menyapa tiga anak didiknya. "Pada mau pulang yah!" "Iya, pak," jawab ketiganya dengan semangat. "Hati-hati di jalan, sampai ketemu lusa." Emran melihat tersenyum dan melihat ketiganya bergiliran dari April, Hesti dan saat melihat Gendhis langsung Emran tersenyum dipaksa. Gendhis merasakan arti senyuman Emran. 'Kok mereka berdua di senyumin ramah begitu sih? Sedangkan sama aku terlihat dipaksa, apa aku punya salah gitu sama pak Emran?' Gendhis bicara dalam hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD