Filantropi-2-

1315 Words
"Aaah, sayang. Jangan gini, dong. Aku cuma telat lima menit aja kemarin. Masih marah sampe sekarang, ya? Eemmh." Bibirnya mencebik dengan kepala mendongkan menatap laki-laki yang sekarang sedang menunduk itu. Terlihat mereka saling berpandangan, tapi yang sebenarnya terjadi adalah karena Ellea yang mencubit pinggannya agar laki-laki itu menatapnya. Sedikit memaksa, namun itu kenyataannya. "Sayang, udahan dong marahnya." Perempuan yang bersama Marco menariknya untuk keluar. Untuk apa menonton sepasang kekasih yang sedang bertengkar? Tidak ada gunanya. Tapi Marco masih memandang Ellea dengan mata penuh penyesalan. Gadis itu? Tidak tertarik sama sekali untuk memandang balik Marco. Matanya bahkan mendelik sebal seraya mengikuti laki-laki yang lepas dari pelukannya itu dan sekarang beejalan ke arah belakang. Tidak tahu ke mana, tapi Ellea hanya ingin menunjukkan pada Marco jika sekarang dirinya juga bisa selingkuh, seperti apa yang laki-laki jelek itu lakukan padanya. Sebal sekali perasaannya, terlebih bagaimana beraninya pelayan tadi menghindari pelukannya di hadapan Marco. Ellea berhenti di sebuah ruangan. Gadis itu baru sadar jika dirinya sudah ada di tempat yang berbeda dengan tadi. Pikirannya hanya berputar memikirkan sikap menyebalkan Marco saja sedari tadi. Hingga sebuah tangan menariknya dari balik gorden di sebelah kanan.  Elle menjerit karena kaget. Lalu mulutnya dibekap oleh sebuah tangan bau kopi. Gadis itu membuka mata dan menemukan laki-laki tadi berada tepat di depannya. "Sstt." Ellea mengangguk mengerti, meminta dilepaskan bekapannya. Laki-laki itu menurut. Perlahan membiarkan lengannya turun dari yang sebelumnya menutup mulut berisik gadis itu. Tapi tangan yang satunya masih memegang pinggang yang terasa ramping dalam rangkulannya. "Tadi aja dipeluk nggak mau, sekarang malah meluk duluan. Tcih, jual mahal banget jadi cowok." Gadis itu mencibirnya tepat di depan wajah. Dengan segera, ia melepaskan rangkulannya. Menjelaskan jika tadi hanya karena refleksnya saja yang masih bekerja. Ellea menaikkan bibir sambil mendelik. Hendak keluar dari sana, tapi lagi-lagi ia ditahan. "Jangan berisik. Diem dulu." Laki-laki itu menggeser badannya menjadi di belakang. Lalu melengokkan kepala, seperti sedang memperhatikan keadaan di sana. Badannya keluar lebih dulu, lalu tangan yang tadi ia sempat peluk itu melambai dari luar, mengajaknya untuk keluar. Ellea mengendap, sama seperti yang dilakukan laki-laki itu sebelumnya. Ada seorang pria gemuk yang sedang tertidur di kursi panjang sana, mungkin itu yang ditakuti laki-laki yang menarik lengannya agar mengikuti langkah besar itu di depan. Berjalan tanpa suara seperti seorang pencuri, seperti itulah yang dilakukan Ellea sekarang. "Cepat, keluar." Akhirnya mereka bisa bernapas dengan lega. Ellea juga tidak mengerti, mengapa mau-mau saja mengikuti perkataan laki-laki asing ini. "Lepasin, dong." Ellea menunjukkan tangannya yang masih digenggam laki-laki itu. "Jangan buat keributan di sini," ujarnya setelah melepaskan genggamannya. "Dih, gue nggak bikin ribut, ya." Ellea melirik sebuah nama yang tersemat di kaus laki-laki itu. Zayyan R., Ellea memanyunkan bibir. Jadi, namanya Zayyan. Gadis itu mengangguk kecil. Mereka keluar dari ruangan itu, Zayyan kembali bekerja seperti biasanya, dan Ellea menemukan Ayu yang sedang berdiri gusar di meja tadi. Perempuan itu memandang lega setelah menemukan Ellea yang berjalan mendekatinya. "Ih, dicariin dari tadi. Dari mana, sih?" Ayu menepuk lengan Ellea pelan, gadis itu hanya menyengir. "Dari sana, Bayu. Lo nggak nemuin gue?" "Dari mana? Nggak bisa, lah. Itu ruangan khusus karyawan." Ayu menariknya untuk duduk. Setelah senam jantung, takut ada apa-apa dengan Ellea, gadis itu malah tersenyum seperti tidak ada apa-apa yang terjadi. "Bisa, gue barusan abis dari sana. Tahu, nggak? Bosnya lagi tidur, gede banget ngoroknya kayak babi ngepet." Lalu Ellea terbahak. Ayu membungkam mulutnya setelah mendapat lirikan sinis dari orang lain yang sedang menikmati makan dan minumnya di meja sebelah. Tapi gadis itu malah tidak peduli. Malah mengangkat tangan, memanggil pelayan perempuan. Memesan sebuah minuman. "Lo mau minum apa, Bayu?" Mata gadis itu tidak berhenti melihat berbagai macam jenis minuman yang ada di tangannya. "Gue mau ini." Pelayan itu lalu mengangguk dan menyuruh mereka menunggu sebentar. Ellea bersandar dan menyilangkan kakinya. Sedangkan Ayu hanya bisa mengelus d**a melihat kelakuan gadis aneh menjurus menyebalkan itu. Tapi ia menyayanginya, jadi tidak bisa apa-apa kecuali menuruti gadis itu. *** Ayu membersihkan piring dan gelas itu dengan cepat. Berbeda dengan gadis di sebelahnya yang hanya mencelupkan gelas kotor itu ke dalam wastafel. "Bayu, gara-gara elo sih nggak bawa duit. Buset, dah kita harus nyuci piring kotor sebanyak ini dari tadi. Capek banget," keluhnya. Terang saja membuat Ayu memandangnya, memberikan sebuah delikan. "Yang bersihin ini dari tadi cuma aku, El. Kamu dua gelas aja nggak bersih." Ayu menggerutu, tapi masih membersihkan gelas dan piring kotor itu dengan hati-hati. Jangan sampai mereka pecah. Ia tidak mau jika sampai harus mengganti rugi kerusakan lain. "Yeeuh, gue juga bantuin, Bayu. Elonya aja yang repotin diri sendiri. Udah gue bersihin juga sama elo dicuci lagi." Ellea masih mengaduk busa itu malas, tidak berniat menyiap seberapa banyak piring dan gelas yang sudah dibersihkan Ayu di rak sana. "Ya masa gelas masih ada nodanya kamu bilang bersih?" Ellea berdecak, "Ih, nih ya Bayu, gue bilangin. Jangan bersih-bersih amat lah. Toh ini bukan punya kita juga. Ngasal aja, ngas-" Ekhem. Sebuah suara dari belakang mereka terdengar. Ellea berbalik dan menemukan pelayan wanita tadi yang bersedekap mamandangnya memicing. Ellea tertawa hambar, terdengar dipaksakan. "Bayu, bersihin yang bener, dong. Jangan sampe ada noda yang tertinggal. Kalo kerja tuh jangan setengah-setengah, 'kan Mbak, ya?" Ellea memandang perempuan itu sambil tersenyum. Wajah yang semula tersenyum saat menawarkan beberapa menu kepadanya tadi telah sirna, berganti dengan wajah masam dan sebal. Pelayan itu kembali ke depan, membiarkan Ayu dan Ellea di dapur kotor kembali berdua. "Jutek banget kayak abis dipotong gaji," ujarnya diikuti tawa. Ayu menyenggol kakinya, memperingatkan gadis itu agar jangan berbicara terlalu kencang. Bisa saja orang yang dimaksud mendengar ucapannya. Seseorang datang dari belakang, membawa tumpukkan piring, gelas dan perlengkapan makan lainnya lagi. Memasukkan semua itu ke dalam wadah pencucian di hadapannya. "Cepet bersihin, ya Mbak. Mau dipake lagi soalnya." Ellea memelotot tidak percaya. Ayu masih asik membersihkan beberapa piring yang tersisa sedikit lagi itu sebelum datang lagi perlengkapan makan barusan. Ellea melepaskan sarung tangan karet itu dengan kesal. "Gue ke depan aja deh kalo kayak gini." "Eh, mau ngapain?" Ayu memandangnya heran. "Gue mau nyelinap ke kasir, ambil duit sedikit. Mana ada harga minuman cuma ceban, kita harus cuci piring sebanyak ini?" Dadanya kembang kempis, merasa kesal dengan keadaan ini. Merasa tidak terima. Ayu menahannya dengan sebuah kalimat. "Udahlah El, kita selesain aja ini daripada dapet masalah baru. Kamu jangan gegabah, ah." "Ih, Bayu. Gara-gara siapa coba kita jadi gini?" Ellea ngotot. "Kamu," jawab Ayu. Ellea mendengus sebal. Jika gadis itu diam, berarti memang ia mengakuinya. Ayu terkekeh kecil melihat Ellea yang mencebikkan bibir. Kemudian tawanya sirna ketika mereka berdua melihat seseorang yang berlalu dari arah sana, Ellea segera menghampiri orang itu. Zayyan, benar. Itu dia. Gadis itu menarik lengan laki-laki yang bola matanya membesar, terlalu kaget untuk melihat gadis perusuh ini masih ada di sini. "Heh, elo ganti rugi dong," tuntutnya tiba-tiba. Tentu saja Zayyan mengernyit tidak paham. Laki-laki itu melepaskan pegangan Ellea pada tangannya. Ia sudah selesai bertugas, hendak bersiap untuk pulang. Mengerjakan kegiatan yang lain lagi. Tapi gadis ini malah menghadangnya dan mengatakan hal tidak masuk akan yang pernah ia dengar. "Apa?" Zayyan melirik dengan malas. "Tadi lo narik gue, 'kan di sana? Liat nih, anting gue jadinya ilang. Ganti rugi, lah. 'Kan salah lo juga, tadi." "Lo yang masuk tanpa izin ke sana. Gimana bisa semua itu jadi salah gue?" Balas Zayyan tidak terima. Setelah gadis itu memperlihatkan telinga yang memang sebelahnya tidak terdapat anting-anting itu berdecih. "Dih, siapa suruh elo kabur tadi?" "Siapa suruh elo peluk-peluk sembarangan?" Ellea mendesah sebal. Tidak ada laki-laki di luar sana yang berani menolaknya. Semua orang ingin dekat dengannya. Tapi laki-laki ini terlihat tak acuh, tidak tertarik sama sekali pada aksi yang banyak diinginkan oleh orang lain seperti tadi. "Nggak mau tahu, gantiin sekarang juga pake duit. Mana?" Gadis itu menengadahkan tangan. "Cewek aneh." Tidak, ia diacuhkan. Zayyan malah berlalu keluar, meninggalkan gadis yang sedang mengumpat tertahan di depan pantri lumayan besar itu. Mengambil sebuah wadah alumunium, Ellea melemparkannya ke depan sana. Tepat mengenai kepala Zayyan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD