Filantropi-3-

1600 Words
Ellea Kaisla Lee, begitu kiranya nama yang akan selalu diingat oleh semua murid laki-laki seantero sekolah. Menghabiskan masa sekolah dengan kehidupan remaja pada umumnya, mungkin bisa disebut demikian. Tapi tunggu, Ellea tidak seberuntung siswa lain yang bisa menghabiskan perjalanan tiga tahun di sekolah menengahnya kemudian lulus untuk kuliah di salah satu perguruan tinggi impian. Tidak, Ellea ..., sedikit berbeda. "El, jagain tas kita ya. Elo kan nggak bakal ke lapangan, ya?" Dara, siswi menyebalkan yang akan diperangi Ellea kapan pun si mulut lemes itu berbicara padanya. Jika biasanya Ellea hanya mendelikkan mata atau berpura-pura tidak mendengar dan memilih memasang penyuara di telinganya, maka kali ini gadis itu bangkit dan menarik seragam olahraga dari dalam tasnya. Sengaja diangkat tinggi-tinggi agar terlihat oleh Dara dan dua orang lainnya yang berperan sebagai antek Dara Cewek Menyebalkan. Ellea menyalakan laser dari matanya. Dengan raut kaget yang dibuat-buat, Dara menutup mulutnya tidak percaya. "Bestie, kalian liat El bawa baju olahraganya kali ini?" "Loh, gue kira itu buat baju ganti doang deh. Nggak mungkin 'kan dia ikut olahraga?" Riska dengan satu kaki diangkat ke atas kursi menimpali. Ellea memutar matanya, terlalu malas menanggapi perkataan tidak bermutu itu. Gadis yang membawa seragam dan satu tas kecil dalam genggamannya berlalu, keluar dari pintu kelas menuju toilet. Tidak ingin menghiraukan suara tawa menyebalkan yang terdengar dibuat-buat dan sengaja disuarakan kencang-kencang untuknya. Berpapasan dengan beberapa siswa, Ellea mendapat siulan dan sapaan gombal seperti biasanya. Ellea bukan gadis yang suka menyendiri atau orang lebih sering memanggilnya introvert, tidak. Gadis itu bisa bergaul bersama siapa saja, ia fleksible dan pandai menempatkan diri di mana pun ia berada, meski tak jarang mulutnya lupa untuk dikunci agar tidak membicarakan hal yang bisa saja menyinggung perasaan orang lain. Yang membuat mereka menjaga jarak dengannya. "Hai juga, cowok." Ellea bahkan menanggapi sapaan genit cowok-cowok bau kencur itu yang melambaikan tangan padanya. Lihat? Ellea tidak terpancing perkataan Dara dan anteknya untuk menghancurkan hari yang cerah ini. Jangan sampai satu kalimat menghancurkan satu hari berhargamu. Anggap saja ada sampah bau yang melintas di depan hidungmu, dan setelah sampah itu enyah, kamu kembali baik-baik saja. Kakinya melangkah memasuki pintu toilet dan menggantungkan seragamnya ke atas gantungan di balik pintu dan ia mulai membuka seragam putihnya. Dimulai dari kancing pertama hingga keempat, gadis itu menghentikan jari tangannya untuk membuka kancing terakhir dan memilih membasuh wajahnya dengan air di wastafel. Ellea bisa melihat pantulan dirinya di cermin depan. Kemudian mengambil sesuatu dari tas genggamnya, sebuah concealer untuk dioleskan di bawah matanya. Tak lupa memoles bibirnya dengan lip tint juga. Sadar jika waktu yang ia miliki tidak banyak lagi untuk segera mengikuti pelajaran olahraga, Ellea mengganti seragamnya dengan baju olahraga dan bergabung dengan murid lainnya yang sedang melakukan pemanasan di lapangan terik itu. Pak Rosi meniup peluit yang menggantung di lehernya, memberi aba-aba untuk segera berbaris rapi. Ellea mengikuti orang di depannya. Hari ini adalah permainan estafet dilanjut lompat indah cantik manja yang sangat Ellea cintai. Tidak, kebalikannya justru. "Baris sesuai absen, ya. Silakan berhitung dari Acha." Perkataan Pak Rosi langsung dipahami para murid. Ellea berbaris di belakang Desti. Gadis itu meletakkan kepala di bahu yang lebih rendah darinya itu, sontak membuat Desti terhenyak karena kaget. Tapi Ellea menahan kedua lengan di depannya dan berbisik mesra. "Diem Des, nanti gue traktir di kantin." Desti langsung diam dengan senyuman merekah di bibirnya. Jika Ellea sudah mentraktir, itu artinya kamu akan punya stok makanan untuk dua hari ke depan. Bisa memilih sebanyak apa pun yang diinginkan. Tidak masalah jika hanya menahan berat Ellea yang tidak seberapa itu di bahunya. "Lo mau tukeran sama gue nggak, biar lo nunduk di depan dan gue ngalangin matahari terik-terik manjalita ini." Desti menolehkan kepala ke belakang, melirik Ellea yang masih menunduk dengan kepala bersandar pada bahunya. "Tambahin dua dumpling, tapi." Ellea tertawa sarkas mendengar permintaan melunjak dari teman sekelasnya itu. Baiklah, daripada ia harus berjemur di bawah sinar terik yang menusuk itu, Ellea akan merelakan uang jajannya untuk membelikan dumpling yang diinginkan Desti si sapi perah ini-maksudnya peras. "Yash," seru gadis berambut pendek itu saat Ellea perlahan menggeser badannya ke depan. Dengan gaya bak pahlawan super memakai jubah kebesaran, Desti menutupi tubuh kurus Ellea yang berjongkok di bawah sana. Dallas, murid laki-laki di depan Ellea berjingkat kaget saat tahu gadis usil itu menusukkan sedotan ke dalam kaus kakinya. "El, gue kaget bangsat." Ia keceplosan, Dallas segera menutup mulutnya sebelum Pak Rosi mendengar ucapannya. Lalu berdesis pada Ellea yang masih asik memainkan sedotan kecil yang entah didapatkannya dari mana itu dan terus menggores pelan sepanjang betis bagian belakang Dallas. "Elo ngapain sih, El? Nggak ada kerjaan banget." Dallas menghentakkan kakinya berharap Ella akan berhenti. Tapi tidak semudah itu, kawan. Ellea terlanjur terpukau pada bulu kaki yang dimiliki laki-laki itu. Sekali memelintir, Ellea mencabut dua bulu sekaligus membuat Dallas kali ini mengumpat dengan kencang. "Anjiiiiing!" Ellea mengikik gemas, masih berjongkok untuk menemukan permainan lain yang ia yakini bisa membunuh waktu dengan cepat dan segera kembali ke dalam kelas lagi. Gara-gara sudah tiga pertemuan di pelajaran olahraga ia absen, kali ini ia harus hadir dan mengikuti peraturan yang diberikan Pak Rosi untuk menambah nilainya yang jauh tertinggal dari teman-teman lainnya. Bukan hanya itu, ia juga ingin membungkam mulut berbisa Idara dan anteknya yang selalu menganggap Ellea lemah. Sebenarnya, ada ketentuan lain untuk mengganti nilai yang tertinggal, yaitu membuat karikatur lapangan sepak bola dan bola-bola lainnya. Jika bisa dikerjakan di rumah, Ellea bisa menyanggupi karena yakin Ayu bisa melakukannya. Tetapi jika di sekolah? Ia malas luar biasa. "Maju, El. Dua orang lagi giliran gue." Desti membungkuk untuk membisikkan kalimat itu. "Heh, merk sepatu! Elo jangan hentak-hentakkin kaki dong, tanahnya nyiprat gue, ini." Ellea mengibaskan tangannya di depan wajah. Menghalau debu-debu halus yang berterbangan. "Suruh siapa jongkok di belakang gue, nggak ada yang nyuruh juga." Dallas semakin sengaja mengorek-ngorek tanah dengan ujung sepatunya. Bisa dibayangkan debunya setebal apa jika tanah kering bercampur pasir mengenai mukanya. Ellea meradang, kemudian menendang tumit Dallas dari belakang. Masih sambil berjongkok karena terlalu malas untuk bangkit. Lagipula, Desti masih harus menutupi badannya dari terik matahari karena ia sudah menyetujui dua buah dumpling sebagai bayarannya. "Sakit, buset! Nggak nyopan banget elu, El." "Elo juga nggak sopan, manggil yang lebih tua Al El, Al El. Dulnya ketinggalan, biar sekalian jadi anak Rafi Ahmad." "Ahmad Dhani, El bukan Rafi Ahmad." Desti mengoreksi. Ellea terkekeh pelan. "Eh iya, Ahmad Dani maksud gue. Kalo Rafi Ahmad nama anaknya kan Afatar, ya." Dallas yang mendengarnya memutar mata, jengah. Tidak jelas sekali perawan tua sekolah ini. Ingin membalas dengan kata 't***l', tapi peluit Pak Rosi terlebih dulu terdengar dan menyuruhnya untuk menatap ke depan, bersiap mengambil ancang-ancang. "Dua, tiga ..., satu lagi boleh maju biar cepet. Dara, Dara masuk grup Dallas aja sini." Mendengar nama itu disebutkan, Ellea memutar mata dengan bibir mencibir melafalkan nama Dara dengan bibir turun dan hidung kembang kempis. Dallas sudah mengambil sikap siap berlari, Desti mengambil tempatnya kembali dan sialnya Ellea harus menerima potongan kayu dari Dara untuk diopernya ke Desti yang lebih dulu berlari ke depan sana. Saat Pak Rosi memberi aba-aba, Ellea berlari dan berhenti sepuluh meter dari Desti. Tangannya terulur untuk menerima kayu yang dibawa Dara. Kayu itu mendarat sempurna di tangannya, terlalu sempurna hingga terdengar suara beradu yang cukup kencang karena Dara-tentu saja dengan sengaja- memberikan kayu itu kepada Ellea dengan sekali pukul. Sempat membuat gadis itu meringis, Ellea memberi tatapan nyalang sebelum buru-buru berlari ke arah Desti. Jika membalas perlakuan si Ular itu sekarang, Ellea tidak mau dipanggil ke ruang BK lagi. *** Siapa yang tidak mengenal Ellea? Gadis yang seharusnya sudah lulus di dua angkatan sebelumnya malah masih mengendap di kelas tiga, tingkat akhir masa sekolah menengahnya. Kebanyakan murid sudah tahu dan tidak merasa heran lagi jika ada yang mengata-ngatainya atau bahkan berujar tak sopan padanya yang notabene lebih tua dari para murid di sini. "Yon, beliin mie pangsit dong. Eh nitip." Ellea mendatangi meja Yonuel di sudut belakang. Murid laki-laki itu meliriknya menggunakan ekor mata. Ellea tersenyum manis, yang malah terlihat menakutkan bagi yang melihat karena jika gadis itu telah berkata, maka tidak ada pilihan lain untuk menurutinya. "Dapet apa nih gue kalo beliin mie pangsit buat lo?" Ellea menghembuskan napas, sudah mengira jika orang-orang yang berani menyetujui permintaannya akan meminta imbalan balik. Apa di dunia ini tidak ada yang tulus? "Lo dapet seporsi juga." Ellea memberikan uang berwarna biru satu lembar itu kepada Yonuel. Namun laki-laki itu bergeming, tidak mau menerima uang yang disodorkan Ellea. "Masa cuma mie pangsit, sih? Jarak dari sini ke kantin jauuuh bangeeet, loh." Yonuel mengatakan dengan nada yang amat menyebalkan. Ellea memutar mata dan menaikkan satu alisnya, bertanya dengan gesturnya apa yang diinginkan Yonuel untuk imbalannya. "Gue mau puplen lo yang warna ijo itu." Yonuel tersenyum. "Maksud lo, pulpen hadiah yang dikasih sodara gue dua minggu lalu itu?" Yonuel mengangguk membenarkan dengan mata berbinar. Ellea berdecih dan menarik kembali tangannya yang masih memegang uang itu. "Nggak jadi, gue beli sendiri aja." Ellea berlalu keluar pintu kelas, Yonuel masih meneriakinya dari bangku belakang. "El! Kantin terlalu jauh buat lo! Gue aja yang beliin, sini!" Gadis dengan rambut tergerai indah itu menaikkan tangan kanannya dan mengacungkan jari tengah pada Yonuel tanpa harus susah-susah berbalik badan. Hah! Gila saja si Yonuel takowel-kowel itu. Bagaimana mungkin dengan tidak tahu dirinya ia meminta pulpen Ellea yang masih baru itu? Yang diberikan saudaranya dari Singapura? Hah, tidak, terima kasih. Meski sebenarnya, berjalan menuruni anak tangga untuk menuju kantin adalah hal yang sangat malas dilakukannya. Ellea merogoh saku seragamnya dan mengambil cermin kecil di sana dan memeriksa wajahnya. Aman, lip tint dan maskara tipisnya masih melekat di wajah tirus itu. Ellea hampir saja melonjak karena kaget ada yang ikut terlihat di cermin itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD