Bintang

1121 Words
Riftan POV Aku tersentak seketika saat terbangun dari tidur panjang ku selama berbulan-bulan, tanda kekuatan yang ada di dadaku terasa perih seiring semakin melemahnya kondisi ku sekarang. Selama berpuluh tahun, baru kali aku merasakan hal aneh yang tiba-tiba saja mengejutkan ku. Aku merasakan keberadaan Adelia, pasangan jiwaku yang telah lama pergi meninggalkanku sendiri dengan penderitaan. Kekasihku yang mati di tangan saudaraku sendiri. Aku bisa merasakan kehadirannya kembali bersamaan dengan jiwa darah murni yang selama ini aku cari. Aku bangkit dari peti pembaringan ku dan berjalan menuju kaca besar yang ada berada di tengah ruang berdinding tanah tempatku memulihkan kondisi setelah kehilangan separuh kekuatanku. Aku bahkan sempat berpikir Entah sampai kapan aku harus terus mencari darah perawan murni itu. Aku sangat membutuhkannya. Tapi hari inilah saatnya, aku bisa melihat dan membawanya ke sisiku. Menjadikannya sumber kehidupan dan kekuatanku. Ruangan tempatku berada sekarang terasa semakin dingin, mungkin karena kondisi tubuhku yang belum sepenuhnya stabil. Tapi karena perasaan aneh yang aku rasakan ini menuntun ku untuk keluar dari sarang ku dan melihat dunia luar lagi setelah berbulan-bulan lamanya aku tidur. 2 orang pelayan telah menyiapkan pakaian untukku seperti yang yang selalu mereka lakukan sebelumnya. Aku mantap wajah pucat yang sekarang berada di hadapanku, wajah yang sangat membutuhkan darah untuk bertahan. Aku mengenakan jas ku sebelum melangkah ke arah meja yang sudah tersedia segelas penuh cairan segar berwarna merah. Aku meneguk cairan itu sampai habis, seketika tubuhku terasa segar dan ringan. Tapi seperti biasa, itu tidak berpengaruh dengan tanda bintang ku sama sekali. Bintang yang membutuhkan cahaya dari kekuatanku. Sinar yang akan menjadikan ku kembali menjadi mahluk immortal yang tak tertandingi. Tanda itu belum bersinar, darah yang baru saja aku minum hanya mampu menyegarkan tubuhku saja, tapi itu sudah cukup untuk membawa ku bertemu dengan jiwa murni itu. Jiwa yang mengalir darah murni di dalam tubuhnya. Darah penopang hidupku. “ Senang melihatmu terbangun, Riftan.” Sapa salah seorang pria berambut emas dan bermata biru kaki tangan sekaligus sahabatku yang terpercaya, saat melihatku keluar dari kamar. Aku hanya menatapnya sekilas dan melanjutkan langkah ku menuju ruang tengah, dia mengikutiku dari belakang. “Kabar baik untukmu. Aku telah menemukan gadis itu, dia memiliki ciri-ciri seperti yang kau sebutkan. Inilah saatnya Riftan, kau harus membawa gadis itu kemari dan membuatmu kembali seperti dulu.” Aku masih terdiam setelah mendengar ucapannya. Ku tatap amplop hijau yang ada di hadapanku dengan rasa penasaran yang hampir tidak bisa ku bendung. “Seperti itu, ya?” responku singkat, aku sudah tahu gadis yang dia maksud karena aku sendiri merasakan keberadaannya, karena dialah aku terbangun dari tidurku, dan aku ingin melihat sosoknya segera. Aku membuka membuka amplop itu perlahan, menutupi hatiku yang bergemuruh. “Akh..!” aku memegang dadanya yang kembali terasa perih tepat setelah melihat gambar seorang gadis yang ada di tanganku sekarang. Dialah orangnya, dia milikku. Bahkan bintang ku merespon hanya dengan aku melihatnya gambarnya. “Siapkan semuanya, aku akan pergi menemuinya sekarang.” Ucapku tak mau di bantah. “Tapi kau baru saja terbangun, tubuhmu masih lemah. Apa kau yakin? Bagaimana kalau…” seperti biasa Asoka mengkhawatirkan diriku persis seperti ibu yang mencemaskan anaknya, dia memang selalu seperti itu, tapi ucapannya terhenti setelah melihat sorot mata tajam dari tatapanku. “Baiklah.” Akhirnya dia mengikuti apa yang ku inginkan, meskipun masih terlihat jelas kecemasan di dalam sorot matanya. Dia kemudian memberiku sebotol cairan yang langsung aku teguk habis. “Itu adalah botol terakhir, sebaiknya kau cepat sebelum efeknya memudar dan sinar matahari akan memanggangmu hidup-hidup.” Ucapnya sebelum membuka pintu mobil. Aku mengangguk dan tersenyum sebelum mobil meninggalkan bangunan megah yang merupakan tempat tinggalku. Mobil berhenti di depan sebuah bangunan sederhana, aku menatap bangunan itu dan lagi-lagi rasa perih di dadaku kembali terasa. Aku bisa merasakan keberadaannya di dalam sana, bahkan aku bisa mendengar aliran darah murninya mengalir di setiap urat nadi di dalam tubuhnya dan itu membuat taringku keluar begitu saja. Jiwaku meronta ingin segera merasakan nikmat darahnya. Tapi hasratku sebisa mungkin aku tekan. Aku kemudian keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah itu. Semakin lama aku semakin merasakan kehangatan tubuhnya dan itu membuatku hasratku kembali memberontak ingin merasakan darahnya. Langkah ku terhenti tepat di depan pintu sebelum aku menekan bel. Aku sudah sangat tidak sabar ingin melihatnya. Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya pintu terbuka dan aroma pertama yang masuk di dalam hidungku adalah wangi tubuhnya. “Tuan Riftan? Oh Tuhan aku tidak menyangka kau akan berkunjung secara tiba-tiba seperti ini. Mari silakan masuk.” Seorang wanita paruh baya menyambutku dengan hangat. Aku hanya tersenyum kemudian mengikuti langkahnya masuk kedalam rumah. “Maafkan kami karena tidak sempat menyambutmu secara layak.” Wanita itu masih terlihat merasa bersalah karena tidak menyiapkan sambutan yang semestinya untukku. Tapi bagiku itu semua tidak penting, aku hanya ingin bertemu gadisku dan memilikinya sesegera mungkin. “Tidak masalah Nura, kau tidak usah repot. Aku hanya datang berkunjung dan melihat keadaan kalian semua di sini dan…” aku menggantung kalimatku dan menatap wanita yang ada di hadapanku penuh arti. Dia pun membalas tatapanku dan menghela nafas berat. Aku bisa merasakan kesedihan di dalam hatinya, rasa berat melepas seseorang yang dia sayangi untuk di serahkan kepada orang lain. Dia mengangguk seolah tahu apa yang ingin aku sampaikan pada kalimat menggantungku itu. “Apakah ini sudah saatnya? Aku masih ingin bersamanya lebih lama lagi.” protesnya lemah, dia lalu menatapku dengan tatapan memohon tapi aku hanya menggeleng dan tersenyum. Nura kembali menghela nafas dalam sebelum menoleh kebelakang dan memanggil namanya. “ Naya, kemari sayang.” Aku mendengar derap langkah lembut mengarah kepadaku. Posisi tubuhku yang memunggunginya menyulitkanku untuk langsung melihat sosoknya. Aku hanya bisa mendengar suara lembutnya. “Ada apa, Ma?” suaranya bagai deburan ombak yang seketika memporak-porandakan benteng pertahananku. Hampir saja aku berbalik dan langsung menerkamnya saat itu juga tapi dengan kuat aku mengatupkan rahangku agar taring dan warna mataku tidak berubah sehingga membuat orang-orang di sekitarku terkejut. “Kemari sayang, perkenalkan beliau adalah Mister Riftan. Pemilik seluruh tanah dan bangunan panti asuhan ini sebelum dihibahkan kepada Mama.” Aku berbalik dengan tidak sabar dan melihat wujudnya. Hangat dan nyaman, itulah yang tiba-tiba aku rasakan setelah tatapan kami bertemu. Ada semacam perasaan rindu yang mengalir begitu saja di hatiku, melihat tatapan mata indahnya yang begitu meneduhkan jiwaku. Saat itu aku menyadari jika dia adalah Adeliaku. Dia adalah pasangan jiwaku. Akan tetapi tatapan teduh itu seketika berubah, dia terlihat terkejut dan tegang setelah melihatku, entah kenapa tapi aku merasa dirinya sangat ketakutan. Dia menatapku seolah melihat hantu, wajah polos meronanya seketika menjadi pucat, dia menggeleng seolah tidak ingin melihatku dan itu membuatku sangat terluka. Apa yang harus aku lakukan? “Ah..! Mama, a..aku permisi dulu. Maaf..!” hanya itu yang dia ucapkan sebelum pergi begitu saja. meninggalkanku dalam kebingungan dan rasa kecewa. Adelia, apakah kau sudah melupakanku?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD