1. Ditabrak Berondong Manis

1326 Words
"Kadang aku lebih suka bermimpi. Karena ketika mataku terpejam. Aku bisa lari sejenak dari pahitnya kehidupan.” -Mayangsu *** Suasana di ruang makan nampak hening. Menyisakan deru sendok dan garpu yang beradu. April jarang sekali makan bersama di rumah. Biasanya dia berangkat pagi-pagi sekali, dan ia lebih memilih membeli nasi bungkus di dekat kantornya untuk sarapan. “Monna mana, Ma? Kok, nggak kelihatan?” tanya April berbasa-basi mencoba untuk mengurangi rasa canggungnya. “Ah. Anak itu, mah, jam segini masih molor di kamarnya. Palingan nanti bangunnya jam sembilanan.” “Oh,” jawab April singkat. April hanya membatin dalam hati. Monna itu enak sekali, ya, hidupnya. Monna bisa bangun jam berapa saja sesuka hati. Monna boleh leha-leha di rumah serta tidak usah pusing bekerja. Pulang malam pun tidak akan ada yang memarahinya. Monna… si anak emas di keluarga ini. Ingin rasanya April merasa iri. Tapi dia cukup tahu diri. “Makan yang banyak, ya, Pril. Kamu akhir-akhir ini kelihatannya agak kurusan. Nih, Mama udah masakin makanan kesukaan kamu.” April tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya mengangguk sambil mengucapkan terima kasih ketika Mamanya mengulurkan piring berisi makanan yang sudah disiapkan untuknya. April mengerjab. Nasi dan omelete? Sejak kapan Mama tahu makanan kesukaannya? Apa jangan-jangan ada maksud tersembunyi? Bahkan April sampai berpikir, salah makan apa Mamanya tadi malam. Seolah Mama sudah mempersiapkan ini semua untuknya. Bukannya begitu, seumur hidup April tidak pernah diperlakukan sebaik ini oleh Mama. Mama selalu tidak suka dengan kehadirannya di rumah ini. Beliau sering berkata ketus secara terang-terangan. Baginya, April hanyalah beban keluarga. Tidak ada angin, tidak ada hujan. Lantas kenapa Mama bisa berubah baik hati hanya dalam satu malam? “Jangan ngalamun. Ayo buruan dimakan. Nanti keburu dingin.” “I-iya, Ma.” April memaklumi jika Mama tidak menyukainya. Mereka tidak memiliki ikatan darah sama sekali. April hanyalah anak angkat. Kedua orang tuanya sudah meninggal sejak dia masih duduk di bangku SD. Dari kecil April dirawat oleh Omanya. Setelah beberapa tahun hidup bersama. Tuhan juga mengambil Oma dari sisinya. Waktu itu satu-satunya keluarga yang April kenal hanyalah Om Danu. Pesan terakhir dari Oma adalah supaya Om Danu merawat April dengan baik. Akhirnya Om Danu membawa April ke rumah ini dan menjadikan April sebagai anaknya. Maka dari itu, disajikan makanan oleh Mamanya benar-benar di luar ekspetasi. Ini… ini semua terasa seperti mimpi. Apa jangan-jangan Mama sudah bisa menerima kehadirannya di rumah ini, ya? April menyendok makanannya lagi. Nasi putih dengan omelet. Sederhana tapi ini adalah makanan kesukaan April sejak kecil. Karena omelet selalu mengingatkannya dengan Oma yang sudah tiada. Mungkin Mama tahu dia menyukai omelet dari Papa. April tersenyum. Pikirannya seolah ditarik mundur. April masih ingat betul waktu itu dia sedang duduk di kursi makan sambil menikmati suapan demi suapan yang diberikan oleh Omanya. April kecil begitu menikmati makanan sederhana itu, sampai-sampai ia mengayunkan kaki kecilnya yang menjuntai. Seolah tidak memiliki beban. “April ini bekal buat kamu,” ucap Mama sambil memberikan kotak bekal berwarna hijau kepadanya. “Makasih, Ma.” “Loh, kok, makanannya masih banyak. Nggak enak, ya, masakan Mama?” April buru-buru menggeleng. “E-enak, kok, Ma.” Kemudian April menyendok lagi makanannya supaya tidak menyinggung perasaan Mama. Mama duduk di kursi sebelah Papa sambil menatapnya terus-menerus dengan senyum mengembang. Dilihati seperti itu malahan membuat April merasa sedikit tidak nyaman. “Kenapa, Ma?” “Apanya yang kenapa? Emangnya salah, ya, kalau Mama masakin makanan kesukaan anaknya Mama?” Hah? Apa April tidak salah dengar. Anaknya Mama? “Em… nggak, kok, Ma. Cuma hari ini Mama kelihatan aneh aja. Soalnya Mama nggak pernah kayak gini sebelumnya.” Mama tersenyum. Berbeda dengan Mama, ekspresi Papa yang berada di sebelahnya malahan terlihat tidak nyaman, seolah Papa sedang menyembunyikan sesuatu. April berusaha acuh tak acuh dan melanjutkan menikmati makanannya lagi. “Eh, iya, Pril. Bukannya rumah kamu yang ada di Sadewa itu kosong, ya? Gimana kalau Monna aja yang nempati rumah itu? Daripada dianggurin, kan, sayang.” Seketika April memelankan gerakan mengunyahnya. Matanya mengerjab pelan. Tangannya yang sedang memegang sendok pun juga terasa kaku sulit ntuk digerakan. A-apa? Sekarang barulah April mengerti maksud semua ini. Dari Mamanya yang tiba-tiba baik kepadanya. Bahkan sampai memasakkan makanan kesukaannya segala. Menyiapkan bekal untuknya. Ternyata ini semua ada maksudnya.... Ingin rasanya April menyunggingkan senyum ironi namun hal itu ditahannya kuat-kuat. Sepiring nasi omelet dan sekotak bekal yang ditaburi topping kasih sayang palsu itu haruskah dia bayar dengan rumah milik peninggalan Omanya? April membisu dalam diam. Apa menurutmu ini semua tidak keterlaluan? Apakah harga kasih sayang semu selama sepuluh menit yang tadi dirasakannya semahal itu harganya? “Maaf, Ma. Rumah April yang itu memang sengaja April kosongin,” tolak April sehalus mungkin. Papa menatapnya dengan wajah penyesalan. April hanya mencoba tersenyum walau getir. Dia paham. Papanya tidak salah, pasti di hati kecilnya, Papa juga tidak menginginkan ini semua terjadi kepadanya. Pasti ini semua rencana Mama untuk mengambil alih rumah warisan dari Oma. Mendengar penolakan April, sontak membuat wajah Mama berubah menjadi masam. Ekspresi sehari-hari yang biasa April lihat kini hadir lagi. “Kamu itu, loh! Sama saudara sendiri aja pelit banget, sih, Pril!” ucap Mama dengan kasar. Terkesan blak-blakan. April mengepalkan tangannya kuat-kuat di bawah meja. Saudara? Haha, yang benar saja! Jadi kalau sudah menyangkut perihal uang barulah dia dianggap sebagai saudara, ya? Lalu selama ini kehadirannya di rumah ini dianggapnya sebagai apa? “Udahlah, kasih aja rumah kamu itu ke Monna. Toh, kamu juga sebentar lagi bakalan nikah sama Tara dan bakalan tinggal bareng, kan, sama Tara. Hitung-hitung rumah kecil itu sebagai imbalan karena selama ini kamu udah numpang tinggal di sini!” “Ma!” Papa mencoba memperingati jika perkataan istrinya sudah keterlaluan. April paham, benar kata Mama. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Ingin rasanya April berteriak, marah, balik menyerang perkataan Mamanya. Namun kenyataannya dia tidak bisa. Mulutnya hanya diam. Om dan Tantenya yang sudah bertahun-tahun memberikan tumpangan tempat tinggal kepadanya dan juga sudah ia anggap sebagai pengganti kedua orangtuanya yang telah tiada. Lalu, mana bisa dia memakinya? “Maaf, Ma. Tapi April bener-bener nggak bisa ngasih rumah itu karena rumah itu peninggalan Oma.” Walaupun rumah itu kecil, tetapi letaknya strategis. Dekat dengan sekolahan, dari SD sampai SMA pun ada. Perkuliahan juga ada. Jadi wajar saja meskipun kecil, tapi menjadi rebutan keluarga karena harganya pasti lumayan ketika dijual. “Ck! Percumalah aku pagi-pagi masak buat anak nggak tahu diuntung kayak gitu,” kata Mama sambil berdiri dan mengambil kembali kotak makan yang tadi sudah disiapkannya untuk April. Bibir April gemetar menahan diri agar tidak menangis di sini. April berdiri, tampak makanan di piringnya masih banyak. “Pril! April!” panggil Papa ketika April berlari keluar rumah. Ingin rasanya April memuntahkan semua isi perutnya supaya dia tidak memiliki beban. Tangisnya baru keluar ketika dia melajukan motornya membelah jalan kota. April benar-benar merasa sakit hati. Bulir bening itu pun terus menetes di pipinya tanpa permisi. Hatinya berbisik lirih.... Benarkah tidak ada yang tulus menyayanginya di dunia ini? Hanya Omalah yang sayang kepadanya. Tapi, Tuhan sudah mengambilnya. “Oma... April kangen.” Harapan terakhir April adalah sesegera mungkin menikah dengan Tara, kekasihnya. Dengan begitu, dia bisa keluar dari rumah Tantenya yang terasa seperti neraka. *** Sampailah April di kantor dengan wajah kusut. Padahal masih sepagi ini. Energinya seolah sudah tersedot habis karena kejadian tadi. Dia berjalan gontai dan menghapus sisa-sisa air matanya. Ketika hendak menuju lift yang akan mengantarkannya ke lantai lima. Tiba-tiba tubuhnya menabrak seseorang membuat April mengaduh kesakitan. Rasanya seperti menabrak tembok yang kokoh saja. April bersumpah-serapah dalam hati. Kenapa, sih, hari ini dia sial sekali! Baru saja ia hendak memaki. Laki-laki di depannya pun membuka kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya dengan pongah. “Heh! Nggak punya mata, ya?!” teriak anak muda itu kepadanya membuat April membuka mulutnya tidak percaya. What.... The.... Fuuck! DIA YANG MENABRAK KENAPA DIA YANG LEBIH GALAK! *** Cuma mau ngingetin, nih. Jangan lupa  tinggalkan like dan komen. Siapa tahu kalian keasyikan baca jadi lupa. Hehe. Makasih semuanya. (IG: Mayangsu_)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD