Bab 4 : Gemma

2048 Words
Sedikit cerita tentang Gemma. Gemma Gustiro, di tahun ini dia berumur 21 tahun. Sudah kuliah dengan baik di jurusan bisnis dan management di salah satu fakultas terkenal. Menurut Venya sendiri, Gemma tidak terlalu pintar di jurusannya. Bukan mengejek, hanya saja setiap kali ada tugas, Gemma selalu meminta bantuan dari Venya. Venya juga tidak sepintar itu. Hanya saja Venya senang membaca dan memberikan sedikit ilmu yang sudah ia dapatkan setelah membaca kepada Gemma. Dulu iseng-iseng saja dengan membantu Gemma. Namun, dari hari ke hari kenapa Gemma menjadi semakin bergantung kepada Venya. Bukannya Venya tidak suka, hanya saja Gemma tidak bisa bersikap mandiri. Dia selalu meminta bantuan Venya Ketika ada tugas atau bahkan belajar untuk ujian. Venya senang-senang saja dengan hal itu. Tapi, semakin ke sini semakin risih. Terkadang, ketika Venya sedang menulis cerita untuk di publikasi di salah satu aplikasi membaca yang dibayar dengan koin dari pembaca, pikirannya jadi terbagi ketika Gemma menganggunya. Iya, cukup menganggu. Pasalnya, ketika inspirasi yang susah sekali di dapat oleh Venya itu sedang on point, dirinya harus membagi pikirannya dengan melayani Gemma yang biasanya meminta bantuan untuk tugasnya atau sekedar mengobrol. Venya cukup kesulitan pada masa-masa itu. Satu hari, Venya menangis gara-gara dia benar-benar tidak bisa memenuhi target menulisnya. Dia terlalu pusing dengan urusan dunianya. Urusan sekolah dan juga panti. Dulu, maaf terselang. Beberapa bulan yang lalu pernah ada orang yang mengaku menjadi pemilik tanah dari bangunan panti. Dia meminta uang sewa dan juga uang untuk hak tanahnya sendiri. Venya dan bunda tidak tahu harus bagaimana pun menjadi kepikiran setiap harinya. Dari mana uang yang bisa mereka dapatkan. Mana yang katanya disebut hutang itu lebih dari seratus juta itu harus dibayar dalam waktu tiga bulan. Dari sana, dunia Venya berubah. Dia tidak bisa menulis dengan focus. Sekolahnya juga tidak beda jauh. Dia harus membayar uang kelulusan. Walaupun meurut orang sepuluh juta itu adalah uang kecil, bagi Venya itu sangat besar. Penghasilan dari menulisnya sudah dipakai untuk kebutuhan sehari-hari di panti asuhan. Uang jajan adik-adiknya di sana. Kemudian, uang dapur yang harus setiap hari mengepul. Belum lagi urusan tugas Gemma yang tidak berhenti dating setiap harinya. Venya benar-benar keteteran dengan hal-hal yang ia alami bulan itu. Dia benar-benar membuat Gemma bersalah. Yang sebenarnya Venya tidak menyalahkan Gemma akan hidupnya. Hanya saja, seharusnya Gemma lebih mengerti keadaan Venya saat itu. Dari sana, Venya yang berani mengatakan hal yang menurut Venya sendiri agak kasar kepada Gemma. “Bisa ga sih lo, jangan nambahin beban pikiran gue?” tanya Venya ketika Gemma meneleponnya disaat yang tidak tepat. Saat itu, Venya sedang menuntut otaknya untuk berfikir menulis beberapa kalimat saja tidak bisa. Lembaran kosong di depannya, di layar laptop bekas yang dibelinya, kosong. Hanya satu kalimat yang tertulis di sana. Kata itu adalah, ‘pikirkan’. Kembali lagi ke ponsel Venya yang masih menempel di telinganya. “Sori, Gem, gue lagi banyak pikiran. Bisa lo ngertiin gue dulu buat hari ini aja?” tanya Venya dengan nada yang berbeda dengan kalimat yang pertama yang ia lontarkan kepada Gemma ketika Gemma membuka kalimat di telponnya dengan kata ‘bantuin’. Gemma mungkin sedikit kaget waktu itu. Venya sendiri menyadari bahwa dia benar-benar mengatakan hal yang bahkan tidak ingin di dengar oleh Gemma darinya. Hanya saja, dia sudah capek hari ini. Dia tidak bisa berfikir dan tidak bisa bicara dengan siapapun. Dari hari itu, Gemma berbeda. Dia tidak selalu meminta bantuan Venya lagi. Hanya sesekali dan itupun jarang. Venya sendiri menjadi lebih baik sejak saat itu. Dia benar-benar merasa satu bebannya lepas. Ketika Venya bercerita masalah panti dan juga sekolahnya, Gemma memahami hal sulit yang sedang di alami Venya kekasihnya. Dia benar-benar seorang pacar yang tangguh menurut Gemma. *** “Lo hari ini gimana?” tanya Gemma yang sedang menyetir mobilnya di sebelah Venya. Venya mengangguk, “baik.” Kata Venya, “gue memutuskan untuk ga ngambil kuliah tadi pas ditanya di ruang konseling.” Tambah Venya pelan. Gemma menghentikan mobilnya perlahan saat lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Dia menghadap ke arah Venya lalu mengenggam tangannya yang ada dipangkuannya. “Lo yakin sama hal itu?” tanya Gemma, “bukannya lo pengen banget belajar sastra Indonesia biar jadi penulis yang baik?” tanya Gemma lagi ketika hanya anggukan yang di dapatkannya dari Venya ketika dia bertanya di kalimat tanya pertamanya. Untuk waktu sebentar, Venya diam dan menarik nafasnya kemudian tersenyum kepada Gemma di sampingnya. Dia memutar pergelangan tangannya untuk menautkan jari jemarinya di jari jemari Gemma yang masih ada di pangkuannya. “Yakin, gue mau nulis aja.” Kata Venya, “lagian, belajar bisa dari mana aja, ga harus sekolah ‘kan?” ucap Venya. Gemma memutuskan kontak matanya dan mengalihkannya ke arah jalanan lagi, dia mengemudi lagi. Baru setengah jalan untuk sampai ke tempat tinggal Venya, kekasihnya ini. “Gapapa, lo bisa belajar dari baca. Buktinya, kemari-kemarin sih lo udah bantuin gue buat tugas.” Kata Gemma sesekali melirik ke arah Venya, “lo ga harus belajar di fakultas tuh buat ngerjaim tugas gue.” Kata Gemma. Venya mengangguk lagi, “gue juga yakin, gue ga bakal nyesel buat ga kuliah. Gue punya waktu sama bunda, sama adik-adik gue, juga banyak waktu buat lo.” Ucap Venya menghibur dirinya sendiri. Dia benar-benar bisa membuat orang di sekitarnya berfikir masalahnya adalah hal yang sepele. Tapi menurut Venya sendiri, dia benar-benar runtuh ketika memikirkan kenapa hidupnya tidak seenak orang-orang di luar sana. Tidak sesempurna orang-orang yang ada di tv dengan mengeluarkan uang secara sukarela sangat mudah. Uangnya banyak, mau beli ini dan itu mudah, mau berangkat ke sana dan ke sini sangat mudah. Inilah dirinya, menyembunyikan semua rasa itu di dalam hatinya paling dalam. Menekannya sedalam mungkin agar tidak sampai keluar dari dirinya. Dia benar-benar merasa bahwa hidupnya sangat jauh dengan semua orang yang dibayangkan olehnya. Lalu, kembali lagi kepada waktu-waktu yang sudah ia lewati. Dia hanya kurang bersyukur dengan apa yang ia dapatkan. Pikiran Venya selalu dialihkan dengan pemikiran bahwa di luar sana masih ada orang yang tidak bisa makan, tidak punya tempat tinggal, tidak punya adik-adik dan juga bunda yang menyayanginya. Dia benar-benar tidak pernah lagi ingin seperti apa yang ada di atasnya setelah mikirkan bahwa ada orang yang jauh di bawahnya. Setidaknya, itu sedikit menghibur untuknya. “Iya, banyak waktu buat gue dan semua urusan lo di dunia nyata.” Kata Gemma membanting pelan stirnya ke kanan untuk berbelok ke arah jalan menuju tempat tinggal Venya, “banyak waktu juga buat lo belajar masalah sastra dan masalah dunia.” Ucap Gemma lagi. Venya mengangguk menyetujui lagi-lagi pembicaraannya dengan Gemma. Setidaknya, sikap Gemma walaupun masih dua puluh satu tahun sudah bisa di ajak berbicara serius dan dewasa. Setidaknya untuk saat ini. Entah, untuk ke depannya Gemma bisa diajak seserius ini atau tidak. Gemma bisa saja menjadi orang lain nanti. Nanti. Entah kapan dan entah akan berubah atau tidak. Mudah-mudahan, dan doa Venya, Gemma tidak akan pernah berubah. *** “Bund, ada Gemma.” Kata Venya Ketika dia sudah sampai di depan panti asuhan yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Lalu dia membuka pintu masuk dan menatap Gemma tersenyum kecil, “bentar ya, gue ganti baju dulu, tunggu di tempat biasa aja.” Kata Venya kepada Gemma. Gemma memang sudah biasa mengantarnya ke sini. Anak-anak di sini juga sudah mengetahuinya. Mengetahui bahwa Venya dan Gemma adalah orang yang bisa menyayangi kakaknya itu. Bisa memahami dan menerima apa adanya Venya. Maka dari itu, semua anak-anak di panti ini sudah menyukainya. Sejak pertama bertemu dan dikenalkan oleh Venya. Gemma sendiri sudah menjadi kakak yang baik selama ini. Walaupun tidak mendukung secara material, Gemma membantu adik-adiknya belajar, bermain bahkan membantu bunda memasak walalupun lebih ke menganggu daripada membantu. Venya dan Gemma punya tempat biasa untuk mengobrol jika sudah ada di dalam panti asuhan ini. Walaupun tidak punya lahan yang besar, panti asuhan ini di tata sedemikian rupa agar membuat siapapun yang berkunjung dan juga yang tinggal di sini pastinya menjadi enak dan nyaman jika sudah ada di dalam sini. Ada satu tempat di belakang panti asuhan ini yang biasa disebut taman belakang oleh anak-anak panti di sini. Itu adalah tempat dimana Venya dan Gemma biasanya mengobrol. Mereka berdua mengobrol di ayunan yang dirakit sedemikian rupa oleh orang yang ikhlas membantu waktu itu. Ayunan dari kayu dengan hiasan ala kadarnya membuat Venya dan Gemma juga menyukai tempat ini. Maka dari itu, Gemma sudah menunggu Venya di sini. Menghabiskan waktu berdua dengan Venya adalah hal yang begitu menyenangkan bagi Gemma untuk sekarang. Entahlah, untuk ke depannya, tidak ada yang tahu akan bagaimana. Gemma dan juga Venya hanya menjalani ini sedetik ini dan senyaman mungkin. Bunda yang menyusul Gemma ke belakang menayakan kabar dan juga bagaimana hari ini membuat Gemma menjadi seperti anaknya sendiri. Bunda sangat baik kepada Gemma. Dia mempercayai Gemma untuk Venya. Maka dari itu, Bunda menerima dengan baik kehadiran Gemma di sini. “Anak-anak kemana, Bund? Kok sepi.” Tanya Gemma kepada Bunda yang sudah membawakan minuman hangat untuk Gemma yang disimpannya di meja di samping ayunan yang sedang di tempati Gemma itu. Bunda Kori mengangguk kecil, “anak-anak diajak pergi sama guru sekolahnya buat jalan-jalan ke kebun binatang.” Kata Bunda lembut menjawab pertanyaan dari Gemma yang menayakan anak-anak panti lainnya. Biasanya, ketika Gemma datang ke sini dan Venya berteriak -suatu kebiasaan- anak-anak yang lain pasti menyambut Gemma dengan senang dan memeluk-meluk Gemma saking senangnya. Hari ini, panti sepi. Biasanya juga mereka sedang menjalankan aktivitasnya belajar jika sudah sore seperti ini. “Gurunya baik ya, Bund.” Kata Gemma seperti gumaman namun masih dapat terdengar oleh Bunda Kori di sampingnya. Lagi-lagi bunda Kori mengangguk, “benar, gurunya seperti sudah punya ikatan di sini. Rela membayar apapun jika bunda tidak bisa membelinya, rela mengeluarkan waktu walaupun bunda hanya memberikannya makanan. Dan rela mengambil apapun di rumahnya untuk diberikan kepada anak-anak yang ada di sini.” Ucap Bundanya menjelaskan. Gemma pernah sesekali bertemu dengan guru yang mengajar beberapa mata pelajaran anak sekolah dasar di sini. Dia juga bercerita bahwa kehidupannya sudah baik-baik saja tanpa digaji. Kehidupannya yang membosankan di rumah menjadi lebih berarti dan istimewa ketika mengajar di sini dan berbagi ilmu adalah hal yang luar biasa yang bisa diberikannya kepada anak-anak panti di sini. Intinya, guru yang mengajar di sini sudah ada di dalam golongan ‘orang berada’ dan menjadikan ajarannya hanya sebatas kata ‘iseng’ namun menyenangkan. Dia juga sering sekali memberikan baju dan makanan yang ada dirumahnya untuk anak-anak di sini. Bukan berarti serba ada. Hanya saja, dia ingin berbagi kebahagiaan. Dia Bahagia belajar sabar di sini. Dia juga Bahagia ketika ada anak-anak yang memberikannya satu penghargaan dengan berkata jujur dan juga menjadi lebih pintar. Jujur, Gemma ingin sekali menjadi seperti itu, Menjadi dirinya Bahagia ketika membuat orang lain Bahagia. Menjadikannya seperti superhero untuk anak-anak di sini dan menjadikan dirinya panutan. Tapi, dirinya belum bisa. Untuk dirinya sendiri juga sedikit kesusahan. Dia masih bergantung kepada orang tuanya sendiri dan sekarang juga menjadi bergantung pada Venya untuk urusan kampus. “Bunda tinggal dulu ya.” Kata Bunda ketika melihat Venya berjalan menuju ke arah Gemma ketika sudah mengganti baju seragamnya. Gemma mengangguk kepada bunda Kori dan menatap Venya dengan senyuman kecil di wajanya. “Ga kayak anak SMA dah lo.” Ucap Gemma ketika Venya duduk di sampingnya menggantikan bunda yang tadi duduk di sana sebentar. Venya mengambil minuman di atas meja yang sudah disediakan di samping ayunan. Tadi Gemma sudah mengonsumsinya. Namun, ada gelas lain yang di simpan bunda Kori di sana terkhusus untuk Venya adalah s**u vanilla. “Gue ‘kan udah ga jadi anak SMA lagi entaran juga.” Kata Venya menjawab pernyataan dari Gemma tadi. Gemma mengangguk, “iya deh anak lulusan SMA.” Ucap Gemma pelan. “Gimana kerjaan lo?” tanya Gemma dengan topik lain. Kerjaan yang dimaksud Gemma adalah pekerjaan yang sedang Venya kerjakan. Ada projek yang sedang Venya kerjakan dengan editor. Venya bercerita juga jika memang editor itu menyetujui ceritanya dan berhasil masuk ke top list nanti di toko buku, uangnya akan ia gunakan untuk membayar ‘hutang’ tidak terduga untuk panti asuhan ini. Guru anak-anak panti sudah membantunya dengan baik. Dicicil setiap bulan walaupun tidak berhasil menutupinya tapi Venya bersyukur untuk hal itu. Dirinya juga tidak bisa terus menerus diam dalam hal itu. “Gue lagi ngerjain. Lumayan, uangnya nanti bisa dipake buat bayar cicilan.” Kata Venya pelan. Gemma mengangguk, “lo inget. Gue selalu dukung lo di setiap apapun yang lo pilih.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD