Bunda

1381 Words
Tidak terasa sudah masuk di jam istirahat, dan ia sebagai seorang istri dan juga seorang ibu dari dua anaknya, langsung bergegas pulang mempersiapkan makan siang, ketika membuka pintu, bertepatan pula, dengan Aji yang ingin membukanya, alhasil tubuh Aji terjerembab ke depan, tepat dibawah kaki sang istri. Dita yang melihat itu bukannya kasihan, malah tertawa dengan kencang, sampai-sampai karyawan yang kebetulan lewat menatapnya heran. Mungkin sedang berfikir ia aneh, suami jatuh bukannya di tolong malah ditertawakan. Aji sendiri sudah meringis kesakitan, posisi ia jatuh sangat tidak elit, duh Gusti Allah, tuhan agung. Nasib sial apalagi ini? Memang pintu laknat, coba tadi dia teriak kalau istrinya ingin membuka pintu itu juga, ia tidak akan terjerembab, ini juga punya istri gak ada akhlak, mungkin ketika pembagian akhlak terlambat datang, yah begini, suami jatuh malah ditertawakan, bukannya di tolongin. Dosa apa dirinya sehingga harus punya istri semenyebalkan Anandita. Jodohmu, adalah cerminan dirimu. Seketika kalimat itu terngiang di kepalanya, berarti Dita seperti itu karena ia juga seperti itu? Tapi masa konsepnya begitu? Tapi... Tidak, tidak. Ia tidak menyebalkan, malah ia adalah orang yang menyenangkan, setiap hari membuat orang tertawa, kurang menyenangkan apa lagi dia? Mungkin memang apesnya kebagian istri seperti Dita, mungkin kalau cari istri lagi, akan lebih baik akhlaknya dari pada wanita yang masih sibuk tertawa dihadapannya. "Cari istri baru, seru sepertinya," ujar Aji kuat yang langsung membuat Dita seketika menghentikan tawanya, telinganya sangat tajam jika berbicara mengenai istri baru, ia langsung menatap tajam wajah Aji yang tengah menahan senyum jahil. "Kamu mau cari istri baru?" Dengan polos Aji mengangguk setuju, seakan tanpa beban. "Yaudah cari, tapi setelah itu..." Aji menelan ludahnya susah payah, jujur, saat ini istrinya sangat seram, bahkan mengalahi valak dan setan lainnya. Eh, astagfirullah, ingat Aji, dia istrimu. "SETELAH ITU, SIAP-SIAP AJA ITU SI UDIN AKU POTONG JADI 10 BAGIAN," teriak Dita membuat Aji terlonjak kaget, bahkan karyawan yang tadinya menonton drama bosnya pun langsung ngacir keluar, menjauhi pusat dari permasalahan itu. Aji langsung melindungi 'asetnya' ia menatap horor sang istri yang kini tampak tersenyum jahat. "Kamu, sadis sekali. Kalau ini dipotong, kamu juga yang rugi," ucapnya mendramatis. Sambil menunjuk wajah istrinya dengan mimik menangis, bukannya menarik simpati, yang ada wajah Aji seperti orang yang ingin buang air saja. "Gampang, tinggal cari 'udin' yang lain, " sahut Dita tanpa beban. "HEH! sembarangan aja, sudah ayo, bisa-bisa anak kita kelaparan di rumah. " Dita langsung terkekeh melihat suaminya yang mati kutu, ia menggandeng lengan Aji dan menuju ke parkiran mobil, Aji sendiri langsung membuka kan pintu mobil untuk sang istri, hal ini merupakan kegiatan rutin yang biasa Aji lakukan, namun tetap saja, Dita merasa tersanjung dan merasa istimewa. Aji yang melihat sang istri sedang bersemu merah hanya terkekeh pelan, di kantor saja terlihat galak, jika sudah berdua seperti ini, istrinya akan berubah menjadi wanita manja dan sangat manis. Sangking manisnya Aji ingin membuang Dita ke antartika. Dita yang melihat raut geli di wajah suaminya memberengut kesal. "Kenapa kamu seperti itu?" "Seperti apa?" Tanya Aji heran, perasaan dari tadi dia diam saja, lalu apa masalah istrinya ini? Sangat aneh. Atau jangan-jangan, yang duduk di sampingnya saat ini bukan lah ruh sang istri, melainkan ruh orang lain, kerasukan jin Tomang kah? Akan tetapi, ingatannya menuju ke kejadian tadi, buku kuduk Aji naik bukan karena takut istrinya benar kerasukan, ia membayangkan bagaimana ganasnya sang istri yang menghajarnya habis-habisan di toilet pria. Gila kan istrinya ini? Bahkan kancing kemejanya hilang entah kemana, setelah kejadian itu, mereka keluar bersama bertepatan dengan beberapa karyawan laki-laki yang akan masuk ke dalam toilet juga, dengan penampilan kemeja yang acak-acakan, kancing yang terbuka. Aji yakin, para karyawan itu telah berpikiran menejrumus ke yang tidak-tidak. Aji langsung menoleh ke arah istrinya ketika tangan sang istri menggeplak pahanya. "Kamu seperti menahan tawa, emang ada yang lucu?" "Hah? Oh, jadi kamu merasa, begitu?" "Kok, kamu semakin nyebelin, sih?" Tanya Dita dengan suara yang manja. Aji semakin menahan tawanya, lihatkan, istrinya berubah menjadi manja ketika bersamanya, jika para pegawai tau jika bos singa nya seperti ini, mungkin mereka akan terjun payung sangking kagetnya. Selama diperjalanan Aji dan Dita saling bercanda dan bercerita tentang kejadian selama setengah hari ini, 45 menit kemudian, mereka sampai di depan rumah berukuran sedang dengan halaman yang luas, tak lama terdengar langkah kecil berlari dan teriakan yang saling bersahut-sahutan, langsung saja Aji membuka pintu rumah dan disana telah berdiri kedua buah hatinya, anak pertamanya bernama Rasya, masih memakai seragam sekolah nya, sedangkan anak keduanya Arsya tengah menggenggam botol Dot bayinya. Aji yang melihat itupun merasa sangat gemas, apalagi si bungsu yang baru berumur 3 tahun, tampak mengulurkan tangannya meminta gendong. "Uhh... Anak ayah, udah makan, sayang?" Arsya yang sibuk meminum susunya dari dot hanya menggeleng, sedangkan Rasya sang abang hanya tersenyum polos. "Yaudah, yuk masuk. Bunda masakin, " sahut Dita yang menggandeng tangan Rasya dengan sayang. "Bunda, Abang seneng deh kalau liat bunda bareng kakak gini." Suara imut anak sulungnya membuat Dita tersenyum lembut. "Kenapa emang, sayang?" Aji menatap Rasya dengan penuh tanya. "Yah, Abang senang, bisa tetap rasain masakan bunda, temen Rasya ada yang jarang bertemu bundanya, gak pernah rasain masakan bundanya, bundanya sibuk sih, makanya Rasya bersyukur punya bunda yang mau masakin Rasya, ya kan, Bund? " Dita mengangguk, sebisa mungkin sesibuk apa pun dirinya, ia harus bisa meluangkan waktu untuk kedua buah hatinya yang sedang dalam masa pertumbuhan. Perannya sebagai pemimpin perusahaan, akan di kesampingkan ia demi buah hatinya, apalagi Rasya yang dalam masa pertumbuhan dengan rasa ingin tau yang tinggi, terkadang anaknya ini akan berfikir dengan logis layaknya orang dewasa. "Tapi, Bun. Kalau perusahan maju pesat, dengan saham yang bunda tanam itu semakin bertambah? Apa mungkin bunda masih bisa gini?" Kan benar, sudah Dita katakan, anaknya ini pas pembagian otak datang paling cepat, dari mana coba anak sekecil ini bisa tahu masalah saham perusahaan? Namun pertanyaan Rasya naytanha mengusik ketenangan hatinya, ia memikirkan bagaimana jika suatu saat ia tidak bisa lagi melakukan hal ini kepada buah hatinya? Apa yang akan terjadi? Beda pula dengan Aji yang sudah memikirkan hal ini dari tadi, kedua anaknya sangat takut jika sang bunda lebih banyak menghabiskan waktu dengan kerjaan di bandingkan dengan mereka, melihat posisi sang istri yang berperan sebagai CEO, bisa saja sewaktu-waktu, pekerjaan menyita perhatiannya. Mungkin untuk saat ini, Dita masih bisa membagi waktu, lalu bagaimana jika apa yang dikatakan anak pertamanya itu menjadi kenyataan? Bukan tidak senang jika rezeki mereka lancar, hanya saja kalau harus mengorbankan kebahagian sang anak, rasanya Aji tidak mau itu sampai terjadi. "Yah, kok melamun? ayo masuk." Aji langsung tersadar setelah Arsya yang berada di gendongannya bertanya. "Bunda mau masak apa?" Sayup-sayup Aji mendengar pertanyaan itu dari arah dapur, ia menuju tempat istri dan anak sulungnya berada. "Bunda mau masak telur balado, capcay, sama emm... Kira-kira apa yah, bang?" Dita tampak berfikir, ia selalu melibatkan sang anak dalam kegiatan yang dapat mengasah kemampuan anaknya. "Abang mau telur gulung, terus sayur capcay, terus banyak lagi, Bunda. Tapi yang paling Abang mau sih, telur gulung, hehehe..." Dita dan Aji tertawa melihat tingkah anaknya, lalu pandangan Aji jatuh pada si bungsu yang masih terlihat nyaman dalam gendongannya. "Adek, ngantuk yah?" Tanya Rasya kepada sang adik. Arsya yang mendapat pertanyaan, hanya mengangguk dengan mata sayunya, dengan inisiatif, Aji membawa Arsya ke kemar anak-anaknya yang berada dekat dengan ruang tamu. "Bunda, ayah ganteng, yah? " Dita yang mendengar itu sontak tertawa keras, sejak kapan anaknya ini menilai penampilan sang ayah. "Kalau gak tampan, Bunda mana mau sama ayah, Bang." Itu suara ayahnya, Rasya langsung tertawa cekikikan, Aji merupakan pria yang cukup tampan sebenarnya, hidung mancung, wajah mulus dan bersih tanpa harus pakai skincare, dan juga tubuh yang kekar dengan tinggi yang lumayan. Kurang tampan apa lagi suami dari Anandita? Ia sedikit berbangga dengan hal ini. "Iya, Ayah kamu memang ganteng, makanya bunda cinta setengah mampus. " Aji yang mendengar itu langsung tertawa ngakak, cinta setengah mampus itu konsepnya bagaimana? Dan kenapa hatinya sangat berdebar sekarang? Pipinya juga terasa sangat hangat. Akh, sial! Dirinya bulshing? "Cieee.... Pipi ayah merah, ayah malu." Astaga, anak siapa sih ini? Bisa-bisanya menggoda Sanga ayah, minim akhlak yah begini. "Hahaha... Jarang loh, bang, ayah kamu malu-malu gitu, biasanya malu-maluin. Hahahah...." Asem, emang dasar istri durhaka, baru aja melambungkan suaminya ke atas angkasa, malah ini langsung di jatuhkan ke dalam paling Marian. Apes banget hidupmu Aji.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD