Aji Yang Ternistakan

2045 Words
*Membaca Al-Qur'an lebih utama* Suara tawa menggelegar di dalam rumah sederhana itu, dua orang yang berbeda jenis dan generasi tampak menertawakan satu objek yang sedang bergoyang di depan sana, lengkap dengan daster berwarna kuning nyentrik dan juga jepitan jemuran yang sengaja dijepitkan pada telinga, bibir, hidung, dan juga rambutnya. Hanya ada wajah pasrah dari si objek, sedangkan dua tersangka atas pembullyan ini masih asyik tertawa terbahak-bahak. "Sampai kapan begini terus?" Tanya laki-laki itu dengan wajah memelas. "Gak boleh, Ayah. Tunggu sampai lagu selesai," jawab seorang anak kecil yang nyatanya merupakan anak dari Aji Pamungkas yang menjadi sasaran pembullyan ini. Aji hanya terdiam mengikuti kemauan sang anak, ia bahkan sudah berjingkrak-jingkrak sesuai dengan alunan lagu yang diputar. Ayo goyang dumang.. Biar hati senang.. Pikiranpun tenang. Galau jadi hilang Aji bergoyang sambil mangap-mangap gak karuan, baju daster yang ia gunakan merupakan baju hasil pinjaman dari lemari sang istri. Lihatlah sekarang, anak dan istrinya bahkan dengan kompak tertawa sambil terus menyemangatinya. "Semangat Ayah, ayo semangat!" Itu teriakan dari si bocil Arsya, bahkan matanya yang tadi akan terpejam kini terlihat melek 100%. "Yang, masa iya gini terus? Capek ini." Rengek Aji kepada Dita. "Nikmati aja, Mas. Sesekali nyenengin anak dan istri ," celetuk Dita seenaknya. Aji menghela nafas dalam-dalam, sepertinya pilihan untuk libur bukanlah sesuatu yang mengenakkan, dan ini sungguh di luar ekspetasinya, astaga. Dalam khayalannya, ia akan menikmati waktu libur ini dengan bersantai di dalam kamar bersama sang istri, bukan malah menjadi bahan Bullyan anak dan istrinya seperti ini. Masih dengan memonyongkan bibirnya, Aji bergoyang ke sana ke sini, sambil sesekali mangap-mangap sesuai perintah Baginda raja, Rasya. Tak lama, musik berhenti berputar, Aji langsung terduduk di sofa ruang keluarga dengan wajah yang dipenuhi oleh bulir keringat. Dengan nafas yang masih memburu, Aji berjalan menuju kamarnya berada. Dita dan Rasya saling melirik ketika menyadari Aji sudah sangat kelelahan. Astaga, apa ia dan anaknya tadi keterlaluan? Langsung saja Dita menyusul suaminya ke kamar mereka, sesampainya di sana, ia sama sekali tidak menemukan keberadaan sang suami, tapi terdengar suara gemericik air di kamar mandi, sambil menunggu Aji selesai mandi, Dita menyiapkan baju untuk suaminya. Kaos berwarna putih dan juga celana boxer longgar yang menjadi kesukaan Aji saat sedang berada di rumah. Tak lama suara pintu terbuka, dengan handuk sepinggul, Aji menghampiri istrinya dalam diam, sama sekali tidak ada menyapa, karena jujur, meskipun ia telah mandi dan menyegarkan badan, rasa lelah itu masih ada. "Mas." Panggil Dita dengan pelan, Aji menghentikan aktivitasnya yang sedang mengelap rambut basahnya. Ia menatap Dita dalam diam dengan tatapan penuh tanya. "Kamu marah?" Tanya Dita takut-takut, suaminya ini bukan spesies orang yang akan mengeluarkan suara jika marah, Aji lebih memilih diam dan menyendiri sampai emosinya benar-benar hilang, karena bagi Aji, jika seseorang berbicara dalam keadaan emosi, maka yang keluar dari mulutnya adalah kalimat yang akan berdampak buruk buat kedepannya. Aji menggeleng, lalu fokus kembali kepada rambutnya. "Mas, beneran gak marah?" Tanya Dita lagi. Namun jawaban Aji tetap sama, menggeleng lalu diam. Dita menggigit kukunya gemas, sungguh. Jika saja suaminya ini tidak dalam mode ngambek, mungkin sudah Dita jambak-jambak itu rambutnya. "Mas, serius. Lagi gak marah, kan?" Aji memutar tubuhnya menghadap langsung ke arah Dita. Dengan wajah datarnya, Aji berjalan santai menghampiri sang istri. "Mas gak marah, cuma lagi capek aja," sahut Aji dan duduk pinggir ranjang tepat di depan Dita. Aji lalu menyerahkan handuk kecil, dan memerintahkan Dita untuk mengambil alih pekerjaan nya mengeringkan rambut. "Kamu tau aku gak bisa marah sama kalian, meskipun tadi bikin pinggang aku encok, tapi aku seneng liat kalian ketawa bahagia gitu. Rasanya capek aku tuh impas sama suara tawa kalian." Dita terdiam, hatinya seperti tertembak ribuan panah, ia sebagai istri saja sering mengeluh di hadapan suaminya, sedangkan suaminya ini? Sudah lelah tapi masih memikirkan kebahagiaan mereka. Aji mendongak ke atas, melihat Dita yang berhenti melakukan aktivitasnya mengeringkan rambut Aji, langsung saja Aji merengkuh pinggang ramping itu. "Kenapa berhenti? Lanjutin." Pinta Aji dengan mengarahkan kembali tangan Dita ke arah rambutnya. "Aku yakin, di luar sana banyak laki-laki yang jelas-jelas lebih segalanya dibandingkan aku, dan aku sedikit bingung lihat kamu sebenarnya, Yang." Dita mengernyit kan dahinya penuh tanya. Ia masih menunggu Aji menyelesaikan semua ucapannya. "Banyak laki-laki dengan kekayaan yang melimpah, wajah yang tampan paripurna, kehidupan yang lebih mapan, gak kayak aku, sederhana bahkan nyaris gak punya apa-apa, muka juga B aja. Gak A, gak C, gak Z. Kenapa kamu mau sama aku? Padahal dulu aku datang cuma bawa selembar ijazah camlaude, sama selempang lulusan terbaik." Aji dan Dita terkekeh mengingat moment itu, di mana Aji yang baru saja menyandang gelar sarjana dengan berani menemui ayah Dita yang kebetulan juga menghadiri wisuda Dita. Yah, Dita dan Aji merupakan alumni satu universitas, hanya saja beda jurusan, jika Dita berada di jurusan manajemen, maka Aji berada di jurusan akuntansi. Aji terlihat konyol masa itu, dengan menyerahkan ijazah yang baru saja ia terima kepada ayah Dita, Aji sukses mencetak sejarah universitas di mana untuk pertama kalinya ada mahasiswa yang melamar seorang gadis dengan jaminan ijazah nya. Untung saja Dita memiliki ayah yang humble dan ramah, coba bayangkan jika atau Dita seperti ayah di ftv wedding operation, bisa jantungan dia. "Aku konyol banget masa itu kan, Yang? Padahal kalau boleh jujur, di balik wajah cengengesan aku, saat itu jantungku rasanya jumpalitan dan mau copot," ujar Aji sambil terus terkekeh. Dita sudah menahan air matanya, tatkala ia mengingat kenangan untuk pertama kalinya ia dihampiri Aji dan langsung dilamar saat itu juga. "Sejauh ini, aku sangat bersyukur dan akan selalu bersyukur, tuhan mempertemukan kita di kondisi yang mungkin bagi sebagian orang mencekam, tapi bagi aku pribadi malah sangat istimewa. Untuk pertama kalinya aku liat anak gadis yang teriak-teriak pake toak, hidup mahasiswa! Hidup mahasiswa! " Aji terkekeh geli melihat wajah malu sang istri, yah, jangan pikir pertemuan pertama kali Aji dengan Dita itu menye-menye seperti roman picisan, oh tidak ferguso. Saat itu para mahasiswa sedang mengadakan demo mengenai ekonomi negara, pada saat moment itulah Aji bisa melihat seorang bidadari, dengan menggunakan celana jeans, kemeja yang lengannya digulung, rambut dikepang menjadi satu, dan menggunakan topi berwarna hitam, sedang berdiri di atas kap mobil bak terbuka, sambil menenteng toak pengeras suara. HIDUP MAHASISWA! HIDUP RAKYAT! HIDUP INDONESIA! kalimat yang membakar gelora semangat para pendemo itu tak lantas membuat Aji kembali fokus ke tujuan awalnya berdemo, ia malah asik mendengarkan dan menatap gadis yang dengan lantang berbicara itu. Rasa kagum dan juga terkejut menghadirkan sengatan kecil di hatinya, namun berefek besar sampai ia lulus kuliah. Gadis itu adalah Dita, istrinya sekarang. Jadi jangan heran jika jiwa bar-bar Dita terkadang muncul, memang anaknya dari dulu tidak pernah kalem. "Maaf, kalau sejauh ini aku masih belum bisa menjadi suami yang terbaik dan ayah yang tangguh untuk kamu dan anak-anak. Tapi aku janji, sebisa mungkin, sampai maut nanti, kamu dan anak-anak akan menjadi prioritas utama aku," ucap Aji dengan tulus dan sungguh-sungguh. Dita langsung memeluk Aji dengan erat, suara tangisan tercekat mengisi kamar mereka. Tak bisa Dita pungkiri, Aji adalah suami yang paling mengerti dirinya, paling sabar, dan paling berperan penting dalam kehidupan rumah tangganya. Aji juga tidak pernah membentak, apalagi berbuat kasar, semarah-marahnya Aji, suaminya akan memilih berdiam diri menjauh dari dirinya. Ia tau, di luar sana ada banyak orang yang menjatuhkan harkat dan martabat Aji, terlebih mengenai tentang status pekerjaan mereka, terkadang Dita ingin berhenti menjadi CEO, dan menukarnya dengan posisi Aji. Tapi suaminya itu selalu menolak dengan dalih ia belum berhak sama sekali. "Kamu selalu yang terbaik, Mas. Menurut aku kamu itu sempurna sebagai seorang suami dan ayah, mungkin benar, di luar sana ada banyak laki-laki yang kamu sebut tadi, tapi bagi aku. Kamu selalu jadi yang terbaik dan paling sempurna. Jadi jangan berkecil hati." "Yang, tau gak? Aku ngerasa kita terlalu lebay saat ini." Jleb! Dita langsung melepaskan pelukannya, ia menatap wajah Aji dengan pandangan melongo, akh! Suaminya ini akan tetap menjadi suami yang menyebalkan. "Satu yang buat aku males sama kamu, kamu nya gak pernah bisa di ajak romantis. Dasar perusak suasana." Aji tertawa geli, hey, dia bukan tipe laki-laki yang bisa menye-menye lama, yang ada ia akan geli sendiri, dan berbeda dengan istrinya, Dita terlihat galak, akan tetapi memiliki jiwa menye dengan kadar 2000%, cukup overdosis kan? "Kamu udah kenal aku, paling gak bisa romantis dalam waktu lama, hal yang paling romantis menurut aku cuma saat aku lamar kamu, terus pas lagi ijab kabul. Itu paling romantis sampai buat aku senyum-senyum sendiri kalau lagi inget moment itu " "Yah tapi gak gini juga, tadi feel dan suasananya udah dapet, eh, malah kamu rusak." Dita merengut tidak suka. Susah memang punya suami yang otaknya tinggal separuh, minim akhlak pula, nasib Dita gini amat. "Mau romantis kan? Gampang itu mah," ucap Aji sambil menarik turunkan alisnya dengan jahil, Dita menatapnya curiga, Aji ini memiliki pikiran yang di luar nalar, jadi jangan salahkan ia kalau suatu saat khilaf membuang suami seperti Aji. "Apa emang?" "Olahraga dong." Aji tertawa terbahak-bahak, sedangkan Dita tampak berfikir dengan keras olahraga apa yang dimaksud oleh suaminya. Mungkin olahraga seperti lari pagi terus pulangnya Aji gendong, ya Allah baru membayangkan aja, Dita sudah sesenang ini. "Hayuklah, sekarang, mumpung masih kategori pagi." Aji melongo, lalu berjingkrak kesenangan, bahkan melebihi orang yang mendapatkan hadiah 7 milyar. "Serius, Yang? Sekarang?" Tanya Aji, Dita mengernyitkan dahi, lalu mengangguk, dan suaminya itu kembali berjingkrak kesenangan. Ada apa sebenarnya? "Yah, sekarang ayo, siap-siap." Ajak Dita, lalu tak lama Aji langsung menarik Dita ke atas ranjang, duta sendiri terlihat masih bingung dan mengikuti saja apa mau sang suami. Lalu tiba-tiba, Dita langsung tersentak kaget. "MAS AJI GILAAAAAAAAA!" Aji tertawa terbahak-bahak, selanjutnya hanya mereka dan tuhan yang tau. ***** Setelah berjam-jam terlalui, Aji keluar kamar dengan wajah sumringah, ia menghampiri kedua anaknya yang sudah bermain di halaman belakang rumah, dengan ditemani oleh pekerja rumahnya. Jangan tanyakan Dita di mana, yang jelas saat ini Dita sedang tidak berdaya, ingin rasanya ia mengumpati sang suami dengan k********r, tapi jika diingat-ingat, itu merupakan kewajibannya, dan sudah bener jika ia melayani sang suami. Dari pada suaminya 'jajan' di luar, lebih bahaya lagi. "Ayah, dari mana aja?" Tanya si sulung, Rasya. Aji terlihat bingung ingin menjawab apa, kalau dijawab dari kamar, nanti otak jenius sang anak pasti makin banyak pertanyaan. "Dari kamar." Aji memilih jawaban jujur. "Sama bunda?" Aji mengangguk lagi. "Bunda masih di kamar?" Lagi dan lagi Aji mengangguk. Rasya sedikit gemas sebenarnya, tapi ia takut kualat kalau mengerjai sang ayah. Jadi Rasya memilih diam dan kembali fokus ke mainannya "Ayah sama bunda, lagi buat adik yah?" Aji langsung melotot melihat si bungsu yang bertanya seperti itu. "Adek tau dari siapa? Sini, sayang. " Arsya yang sedang memegang skop mini langsung berdiri menghampiri ayahnya. "Dari om Agil." What? Teman gila nya itu memang perlu dibuang ke zimbabwe, otak polos anaknya sudah terkontaminasi dengan bakteri jorok dari Agil, ya Allah, kalau Dita tau, bisa habis dirinya. "Adek, denger ayah yah, sayang. Adek gak boleh ngomong seperti itu lagi, gak boleh yah. Berdosa." Aji menjelaskan secara perlahan ke anaknya. "Kenapa, Yah?" "Emm... Nanti bunda sedih, adek gak mau kan liat bunda sedih?" Arsya mengangguk. "Bunda gak boleh sedih." "Nah, jadi Arsya jangan dengerin apa kata om Agil, oke?" Arsya kembali mengangguk, sedangkan Rasya sendiri sudah asyik dengan dunianya. "Bunda!!!" Teriak kedua anaknya ketika melihat kehadiran Dita, Aji tertawa dalam hati ketika melihat penampilan istrinya, menggunakan baju yang berkerah, heh? Hahahah... Itu semua ulah dia, dan dia mengakui itu. "Bunda sakit? Kok pakai baju panjang?" "Iya bunda sakit, baru dimakan Godzila," sahut Dita menggebu-gebu, ia menatap Aji dengan pandangan menusuk, dan dibalas Aji dengan kerlingan jahil. "Hah? Di mana Godzila nya bunda, Di mana?" Tanya Rasya dengan panik, ia bahkan sudah memeluk erat kaki sang bunda. "Eh, gak sayang, bunda bercanda. Adek sama Abang lagi ngapain?" Tanya Dita mengalihkan obrolan. "Lagi main pasir, bunda. Oh iya, Abang mau tanya, Bund. Cara buat adik itu gimana? Kata om Agil, Abang tanya aja sama Bunda." Dita langsung melotot ke arah suaminya, sedangkan Aji sendiri sudah ketar-ketir menatap istrinya yang akan berubah menjadi monster. "MAS AJI!!!! " Aji langsung berlari keluar dari halaman belakang, hingga matanya melihat sosok Agil yang sedang asyik makan bubur ayam tepat di samping gerbang halaman belakangnya. "AGIL KAMVRET, SINI LU!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD