Cemburunya Aji

2281 Words
*membaca Al-Qur'an lebih utama* Baik Aji maupun Dita terlihat sangat fokus membaca lembaran demi lembaran kertas yang tersusun rapi di dalam map arsip itu. Sesekali mata mereka bertemu dengan tatapan terkejut, ada beberapa fakta yang mereka dapatkan setelah membaca laporan-laporan keuangan selama beberapa bulan belakangan ini. Awalnya Aji tidak ingin memberitahukan kepada sang istri permasalahan ini, akan tetapi, kedudukan istrinya sebagai CEO, yaitu pemimpin perusahaan ini, sudah semestinya ia mengetahui. Apalagi ini bukan menyangkut hal yang kecil, ada banyak kerugian yang harus ditanggung perusahaan setiap bulannya. "Mas, kira-kira siapa yah, yang Setega ini?" Tanya Dita dengan suara lesu dan juga binar mata yang menunjukkan kesedihan. Aji memeluk erat sang istri, berusaha menguatkan. "Mas kurang tau, Sayang. Tapi yang jelas, ini permainan orang yang memiliki kedudukan yang mumpuni di perusahan ini." "Salah Dita apa yah, Mas? Apa gaji yang Dita berikan kurang?" Aji membelai lembut bahu sang istri saat dirasanya bahu sang istri bergetar karena tangis. "Sayang, dengerin mas, masalah ini bukan masalah sepele, dan ini bukan murni kesalahan kamu, oke? Jadi jangan down begini, mas bakal bantu kamu sebisa mungkin." Dita mengangguk setuju, ia masih terkejut melihat masalah ini, bagaimana mungkin ia kecolongan bahkan sudah terjadi berbulan-bulan, tanpa ia sadari? Bagaimana jika ayah nya tau? "Mas keluar dulu, kamu tenangi diri dulu. Biar mas sama Agil yang tindak lanjuti ini." "Iya, Mas. Makasih" Aji mengecup kening Dita pelan, lalu keluar dari ruangan sang istri, namun langkahnya berhenti ketika matanya menatap satu objek yang kini juga sedang menatapnya dengan senyuman meremehkan. Kenapa laki-laki itu berada di sini, ada urusan apa sampai harus naik ke lantai dua yang notabennya ruangan para pemimpin perusahaan? Aji menghampiri laki-laki yang sempat bertemu dengannya di depan aula rapat. Sakti. "Sakti, ada urusan apa sampai naik ke lantai ini?" Tanya Aji to the point, ia harus antisipasi melihat laki-laki masa lalu istrinya, bisa gawat jika ia lengah sedikit saja. "Eh, Aji. Ketemu lagi, hehehe...., Menurut Lo, gua ngapain ke sini?" "Apa pun urusan Lo, selagi itu gak ganggu bini gua, gak masalah." Sakti terkekeh sini. "Masalahnya gua malah pengen ganggu bini lu, gimana dong?" Pancing sakti dengan nada meremehkan. Astaga, Aji sedang menahan emosinya sedari tadi, tapi melihat orang di hadapannya ini memancing keributan dengannya, Aji tidak lagi bisa menahan amarahnya. Bugh! "Jangan ganggu bini gue, paham kan?" Ucap Aji setelah memberikan pukulan telak ke pipi laki-laki tidak berguna bernama Sakti ini. "Calm down dude, lu main serang mulu, ngeselin tau gak?" Gerutu sakti yang merasa kesal dengan tindakan spontan dari suami sahabatnya ini. Aji terkekeh pelan. "Makanya jangan main-main sama gue." Sakti meringis pelan, lalu menghampiri Aji yang sedang berdiri dengan bersandar di dinding dekat pintu ruangan Dita. Semoga saja wanita itu tidak mendengar keributan yang Aji dan Sakti lakukan. "Lu mah, masih aja tetap sinis ke gue." "Itu salah lu yang cari gara-gara mulu ke gue," jawab Aji congkak, ia merasa harus melindungi miliknya dari buaya Sakti mandraguna yang sialnya menyandang sebagai sahabat istrinya. Sakti menggeleng pelan, bukan hal umum lagi jika seorang Aji Pamungkas ini memiliki kebucinan tingkat akut terhadap istrinya, jangan dirinya yang notabe menjabat sebagai sahabat dekat Dita, tukang parkir pasar tanah Abang juga kalau senyum ke Dita langsung ngamuk si Aji. "Kapan sifat lu itu hilang?" Tanya sakti dengan wajah penuh rasa penasaran. Aji menggeleng sambil menghela nafas. "Gua gak tau, Sak. Tapi rasanya berat juga, sifat gue yang gini aja, Dita klepek-klepek ke gue, gimana kalau sifat gue yang lebih lagi? Bisa-bisa Dita gak bakal biarin gue keluar rumah." Sakti mendesis tidak suka, ia menatap Aji sebagai seseorang yang harus diwaspadai. "Ji, gua sebenarnya prihatin sama lu, coba lu ke jalan Cempaka No. 101. Mudah-mudahan lu dapat pencerahan, yaudah gua mau ketemu dulu sama bidadari dunia akhirat gua, Ji. Selamat kembali ke tempat asal lu." Aji melongo, maksudnya bidadari dunia akhirat tadi itu siapa? Dan ketika mata Aji melihat bahwa Medusa itu sudah masuk ke dalam ruangan istrinya, Aji langsung ingin masuk juga, sebelum panggilan Agil membuat tubuhnya berputar 180 derajat. "Aji!" Seru Agil dengan nada ngos-ngosan. Aji menghela nafas, mungkin kali ini ia akan membiarkan Sakti bertemu sepuasnya dengan sang istri, tapi tidak akan ada lain kali. "Kenapa?" Tanya Aji, Agil bekuk menjawab bahkan sampai menit ke 5, membuat Aji heran seketika. "Agil! " Panggilnya, Agil yang masih mengatur nafas langsung menggeplak kepala Aji dengan keras. "Sabar Aji anjim. Lu gak tau gua naik ke lantai dua pakai tangga darurat." Aji mengangkat bahunya acuh, itu bukan urusannya, salahkan saja lift yang penuh. "Yaudah, gua gak prihatin, jadi lu lari-lari manggil gua kenapa? Atau jangan-jangan lu kangen gua? Astaga, Gil. Lu baru gua tinggal gak nyampe 2 jam, tapi udah segitunya nyariin gue, terharu," ucap Aji dengan nada mendramatisir, raut wajah Aji juga ia rubah menjadi lebih ke wajah seseorang yang terlihat bangga, namun sedih secara bersamaan. Plak! "Sadar lu, mau lenyap ke kutub Utara juga gua gak peduli, spesies kayak lu itu, Ji. Gak perlu dikangenin, yang ada malah pengen gak ketemu," ucap Agil sadis, bahkan sampai membuat Aji melongo dan meringis ngilu. "Sadis bener itu bibir, udah dicabein berapa kilo?" Tanya Aji menyindir Agil. Sedangkan Agil hanya terkekeh lalu merangkul bahu Aji. "By the way, lu Napa tadi keliatan kesel gitu." Akh! Aji ingat, tadi Sakti si bocah kurang ajar itu menyuruhnya ke satu alamat. "Gil, gua mau nanya, emang ada apa di jalan Cempaka No.101? Agil terdiam. "Siapa yang ngasih alamat itu ke elu?" Tanya Agil penasaran. "Si Sakti mandraguna, bocah tengil yang keduluan sama gua mau ngelamar Dita." Agil menggeleng pelan, tak ada habis-habisnya pertengkaran antara dua laki-laki ini, meski sudah berlalu bertahun-tahun, akan tetapi aura permusuhan sepertinya abadi di Anatar keduanya. "Mending lu cek Google aja, bro. Gua nunggu lu di meja kerja aja yah, selamat menahan sesuatu yang tidak terlihat, tapi mampu buat elu kepanasan. " Agil berjalan cepat meninggalkan Aji, bahkan ia terlihat terburu-buru. Dengan rasa penasaran Aji membuka ponselnya lalu mengetik huruf demi huruf hingga menjadi satu alamat lengkap. "Jalan Cempaka, No. 101." Aji menunggu beberapa saat, hingga mesin pencarian itu menampilkan sebuah gedung berwarna putih, yang membuat mata Aji melotot seketika. Rumah Sakit Jiwa Kasih Bunda. What? Jadi maksud dari alamat tadi adalah rumah sakit jiwa? Dan si tengil Sakti menyarankan ia kembali ke rumah asalnya? Secara tidak langsung Sakti mengatainya gila, dasar Sakti kurang ajar, lihat saja nanti apa yang akan Aji lakukan. Dengan menahan amarahnya, Aji masuk kembali ke dalam ruangan sang istri, ia membuka pintu secara kasar, namun langkahnya langsung terhenti melihat pemandangan di hadapannya. Istrinya sedang menangis, dan berada di pelukan laki-laki lain, catat! Laki-laki lain. Hati Aji rasanya seperti tengah diremas oleh tangan tak kasat mata, meskipun hanya sebuah pelukan, tapi ego Aji sangat terluka melihat itu. Dita sendiri yang menyadari kedatangan Aji terdiam kaku, ini akan menjadi masalah besar, karena suaminya itu memiliki jiwa cemburu yang akut, lihat saja sekarang, suaminya sudah terdiam dengan rahang yang mengeras, dan mata yang memerah menahan tangis. Dita langsung menghampiri sang suami dengan tergesa. "Mas, suer, ini cuma pelukan sahabat." Dita berusaha meyakinkan suaminya, hingga beberapa menit berlalu, hanya ada keheningan yang mengisi ruangan itu, Aji masih setia dengan keterdiamannya, sedangkan Sakti juga terdiam di kursi tepat di depan meja Dita. Aji tersenyum, ia memandang istrinya lalu mengelus surai rambut Dita dengan lembut. "Gak papa, pelukan itu bisa buat orang tenang, dan aku seneng liat kamu tenang gini," sahut Aji masih dengan senyumannya, tapi Dita tahu, senyuman itu tidak sampai pada mata suaminya, dalam artian Aji tidak benar-benar tersenyum. "Aku balik kerja dulu, masalah ini biar aku dengan Agil yang nanganin." Lalu aji bergegas pergi dengan tatapan kosong, selama ini ia berusaha menjaga diri untuk tidak melakukan interaksi berlebihan dengan lawan jenis, selain dapat menimbulkan pertengkaran dan salah paham, Aji juga tidak ingin ia mendapatkan kenyamanan baru selain sang istri yang tempatnya untuk berpulang. Tapi hari ini, pukulan telak menghantam hatinya, istrinya masih memiliki kenyamanan lagi selain diriny, yang artinya dia belum cukup mampu membuat Dita nyaman. Hatinya terasa sangat sakit, apa Dita tidak memikirkan bagaimana usahanya agar istrinya itu tidak terlalu stres? Apa Dita tidak memikirkan bagaimana ia berulang kali menolak reuni dan juga undangan makan malam sahabatnya, hanya demi agar dirinya tidak bertemu dengan mantan dan berkahir dengan Dita yang marah? Dengan perasaan penuh kegundahan, Aji memasuki meja kerjanya, yang di sana sudah ada Agil. Agil awalnya ingin memarahi Aji yang datang lama sekali, namun ketika ia melihat tatapan mata Aji kosong, Agil menunda acara marahnya. "Kenapa, Bro?" Tanya Agil pelan, bersahabat lama dengan Aji, membuat Agil tau gerak-gerik yang tidak beres. Aji mengangguk, lalu menatap laporan yang bertebaran di meja kerjanya, ia mengambil laporan yang map nya berwarna hijau, dirinya mencoba fokus membaca semua keterangan yang tertera pada setiap lembar laporan itu. Tanpa memperdulikan Agil yang menatap dirinya aneh. Bahkan dirinya baru sadar, istrinya sama sekali tidak mencoba untuk menjelaskan yang sesungguhnya kepada Aji, malah terkesan membiarkannya berspekulasi sendiri. Anggap aji sebagai suami mellow, suami lembek, suami lebay. Karena Aji tidak peduli akan hal itu, ia hanya tidak suka apa yang menjadi miliknya di sentuh oleh orang lain, tanpa seijin nya terlebih dahulu, apalagi itu menyangkut sang istri. "Ji, lu ada masalah?" Tanya Agil lagi, namun kali ini dengan nada yang bersahabat, tidak seperti pertanyaan nya yang pertama, yang terkesan kepo dan ingin tau. "Gil, gimana perasaan Lu kalau liat Anggita pelukan sama laki-laki lain?" Anggita merupakan calon istri Agil, Agil tampak berfikir sejenak, ia mencoba memahami posisi Aji saat ini. "Jujur aja, gua orangnya gak suka berbagi, siapapun itu, dan dalam hal apa pun, selagi itu bukan saudara atau kerabat dekat, gua gak bakal ridho Anggita di sentuh laki-laki lain, apalagi sampai dipeluk." Jelas Agil, Aji mengangguk paham, tidak hanya wanita yang bisa posesif dan melarang pasangannya untuk tidak terlalu dekat dengan wanita lain, tapi Laki-laki juga bisa memiliki sifat posesif yang sama dengan wanita, bahkan lebih. "Kenapa emang?" Tanya Agil ketika melihat respon Aji hanya diam sambil menganggukkan kepala. Aji menggeleng pelan, baginya sangat pantang menceritakan masalah rumah tangganya kepada orang lain, meskipun tuh sahabatnya sendiri. Biar masalah ini ia dan istrinya yang mengetahui, agar tidak ada suara-suara sumbang yang malah menghancurkan hubungannya. Agil cukup paham dengan respon sahabatnya, ia hanya diam dan tidak ingin terlalu ikut campur, yang jelas permasalahan ini sangat sensitif. "Gua mau ngasih informasi hasil analisi gua tadi." Aji langsung tegak dari duduknya, lalu menatap Agil dengan pandangan serius. "Ada kemungkinan yang bermain di kasus ini itu orang penting perusahaan, mengingat mudahnya mendapatkan tanda tangan di laporan ini. Dan gua curiga, Pak Mario dari departemen keuangan ada sangkut pautnya. " Aji mengangguk membenarkan, bisa saja ketua departemen keuangan itu bermain dengan dana perusahaan. "Oke, tapi kalau bisa kasus ini hanya kita aja yang tau, dan pak Mario itu biar jadi urusan gue." Agil mengangguk, mereka terus meneliti ulang laporan-laporan yang tertera di lembaran kertas yang berserakan di meja kerjanya. Kepala aji rasanya sangat pusing sekarang, membayangkan masalah ini memiliki kerugian yang cukup besar, membuat Aji harus memutar otak untuk menutupi kerugiannya. "Gil, gua pamit dulu mau ke kantin sebentar, lu mau pesen apa?" Tanya Aji, Agil mendengus pelan, kebiasaan seorang Aji ketika sedang bingung adalah mencari makanan. "Gua nitip kebab aja, di depan rumah makan Padang." Aji mengangguk, lalu keluar menuju kantin di depan gedung perkantoran nya, dengan hati yang penuh beban, Aji mencoba mencari ketenangan lewat minuman cappucino. "Bu, biasa yah!" Teriak Aji memesan minumannya, pemilik kantin tersebut sudah cukup tau apa yang dipesan oleh Aji. "Ini, Mas. Lagi gak ada kerjaan?" Tanya pemilik kantin yang cukup heran dengan Aji yang berada di kantin sedangkan masih di dalam jam kerja. "Iya, Bu. Lagi free, jadi mau menikmati dulu, jarang-jarang begini." Pemilik kantin itu pun mengangguk, lalu lanjut undur diri. Aji mengedarkan pandangannya keseluruh kantin, yang sama sekali tidak ada pengunjung kecuali dirinya sendiri, lalu matanya fokus ke arah parkiran kantin ketika melihat Sakti yang memasuki mobilnya, lalu berjalan menjauhi gedung perkantoran. "Jangan diliatin kalau cuma nambah emosi," ucap seseorang membuat Aji terkejut. "Anjir, Agil setan emang lu yah, untung gak jantungan gue." "Halah lebay. Mana kebab gue?" Tagih Agil dengan wajah songong nya. Aji mengarahkan dagunya ke arah gerobak depan kantin. "Tutup, kayaknya lagi libur jualan." Agil melihat itu dengan mendramatis. "Enak ya mereka, bisa libur suka-suka, gak kayak kita ini." Ratapan Agil. "Saya suka saya suka " sahut Aji dengan nada yang dimirip-miripkan dengan salah satu tokoh animasi yang memiliki kaca mata dan rambut yang dikepang dua. "Jijik, Aji." Aji tertawa pelan, lalu matanya fokus terhadap jalanan depan kantor yang terlihat ramai. "Tadi Dita datang ke meja kerja elu." Aji menghela nafas, jujur saja ia belum berkeinginan untuk menemui sang istri, apalagi jika mengingat kejadian tadi di ruangan istrinya itu. "Ji, lu udah 8 tahun berumah tangga, pasti tau gimana baiknya kalau ada masalah, jangan kabur. Selesaikan dengan baik-baik." Nasehat Agil yang membuat Aji tampak berfikir keras. "Temui bini lu, gua liat matanya sembah banget tadi, sekarang harusnya lu berada di samping Dita terus, dukung dia, karna keadaan kantor juga sedang gak baik-baik aja, jangan nambahin beban istri lu, Ji." Aji langsung bergegas berdiri dan meninggalkan Agil sendiri tanpa mengatakan apa pun. Sesaat Agil takjub dengan dirinya sendiri, karena bisa menasehati sekarang Aji. Lalu matanya jatuh kepada secangkir capuccino dan juga beberapa makanan yang tinggal bungkusnya. "Bu, ini udah dibayar Aji kan?" Tanya Agil kepada pemilik kantin. "Belum, Mas. " Agil melorotkan matanya, lalu tak lama ponselnya berdering tanda pesan masuk. "Bayarin makanan gue, gue doain lu jadi orang kaya, biasanya doa gue manjur." Sontak isi pesan itu menambah tingkat kekesalan Agil. "AJI, TEMEN GAK ADA AKHLAK EMANG LU."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD