Makhluk Maha Benar

1576 Words
*membaca Al-Qur'an lebih utama* Suasana ruang makan itu tampak sangat ramai, sesekali terdengar candaan dan tawa dari ke empat orang yang sedang makan siang bersama. "Bunda, tau tidak? Tadi malam, Arsya tidurnya sambil ngomong gini. Piyuhhh piyuhhh.. dor.. dor... Kayak nembak-nembak gitu, " ucap Rasya yang menceritakan kejadian tadi malam dengan mempraktekkan sambil tertidur di lantai agar lebih menjiwai peran. Sontak hal ini membuat Dita dan Aji tertawa keras, apalagi ketika melihat si bungsu Arsya menunduk malu, dengan kedua pipi yang memerah. Aji langsung mendekati sang anak, lalu mengelus lembut kepala Arsya. "Adek mimpi apa, sayang?" tanya Aji pelan. "Emm... Adek mimpi lagi pelang sama olang jahat, Yah," sahut Arsya dengan suara imut dan pelafalan huruf R yang belum sempurna. Aji mengangguk paham, ia memeluk putranya yang berani menceritakan apa pun kepada kedua orang tua. Sangat berbeda dengan Rasya yang memilih diam saja, bahkan sangat jarang bocah itu bertukar cerita dengan dirinya dan sang istri. Rasya tampak menyudahi aktingnya memperagakan sang adik. Ia kembali menaiki kursinya dan makan dengan tenang, Aji dengan Dita saling pandang dengan senyum bangganya. 15 menit kemudian, keluarga kecil itu telah menyelesaikan makan siangnya, dengan semangat Rasya membawa piring kotor itu di westafel dan menaiki kursi untuk mencucinya. Meskipun Dita terus memantau sang anak, ia dan Aji sama sekali tidak pernah memaksa sang putra untuk membersihkan piring tempatnya makan, hanya saja Rasya kecil telah mampu mengetahui tanggung jawabnya. "Bunda, ayo! Asya mau tidul." Teriakan itu membuat atensi Dita beralih ka arah pintu dapur, di sana berdiri si bungsu dengan memakai kaos putih polos dan celana pendek sambil membawa botol dotnya. "Ayah buatin adek s**u lagi?" Arsya mengangguk, memang ayahnya yang tadi membuat kan dirinya s**u. Dita melihat ke arah Rasya yang sudah rampung mencuci piring, lalu mengajak kedua anaknya untuk masuk ke dalam kamar masing-masing untuk tidur siang. "Dah, Abang sama adek tidur sekarang yah, bunda mau ke kantor lagi sama ayah," pamit Dita dengan mengelus lembut rambut hitam sang anak. Rasya sudah berganti baju, dan tengah rebahan di ruang tamu. "Nanti bunda pulang nya cepat, kan?" Dita mengangguk, hari ini jadwalnya tidak mengharuskan dirinya untuk lembur, dan sebisa mungkin dirinya menghindari pulang terlambat. "Bund, udah?" Dita melihat ke arah suaminya yang sudah bersiap untuk kembali ke kantor. Ia melirik sekilas jam tangannya yang sudah menunjukkan jam istirahat akan usai. "Yaudah, tidur sama ibu aja yah? Bunda sama ayah berangkat dulu, assalamualaikum." "Waalaikumsalam, hati-hati, Bunda." Dita tersenyum, hatinya menghangat mendapatkan perhatian seperti itu dari anak-anaknya, memasuki mobil yang di dalamnya sudah ada sang suami, Dita memasang sealtbet ke tubuhnya. "Nanti pulang jam berapa?" Tanya Aji. Dita melihat sang suami "jam 3 insyaallah selesai, Mas." "Aku pulang sedikit lama, ada laporan yang belum selesai, kamu mau nunggu atau pulang duluan?" "Nunggu mas aja kalau gitu, lagian gak lama, kan? Dita bisa nunggu di ruangan." Aji mengangguk, hal ini sudah sering terjadi di antara mereka, bahkan pernah sang istri harus rela menunggu lebih dari 4 jam, karena pekerjaan Dita yang sudah selesai duluan dibandingkan dengan Aji. "Yang, kalau yang tadi diomongin kakak bener terjadi, apa tindakan kamu?" Tubuh Dita terlihat menegang sejenak, ia tampak terkejut mendengar pertanyaan sang suami. "Sebisa mungkin Dita bakal me-manage waktu lebih baik lagi, karna gak menutup kemungkinan juga, masa itu bakal ada kan, Mas? Dita gak bakal pernah lupa peran Dita sebagai seorang ibu dan istri." "Meskipun nanti kamu bakal kelelahan mengurus perusahaan?" "Dita gak bakal kelelahan kalau punya suami seperti mas, " ucap Dita dengan kerlingan jahil setelahnya. Sontak aji tertawa keras, istrinya ini selalu saja menjadikan dirinya sebagai tameng, tapi itu bukan masalah bagi Aji, ia tidak akan membiarkan anggota keluarganya kelelahan, apalagi Dita adalah hidupnya sekarang, bagaimana mungkin ia membiarkan sang istri kelelahan, sedangkan dirinya enak beristirahat? "Bisa aja kamu jawabnya. Tapi semisal suatu saat kamu lelah, bilang sama aku, biar kita sama-sama sembuhkan rasa lelah itu, "ucap Aji serius, tapi bukan pelukan atau hal romantis lainnya yang ia dapat, malah lemparan kotak kaca mata yang ia terima dari sang istri. Dugh! "Aduh!... Yang, apa-apaan sih? " Tanya Aji protes, sambil mengusap hidungnya yang terkena lemparan. "Aku jijik denger kamu ngomong sok manis gini, kayak anak alay jaman sekarang tau gak." Ya Allah! Sabar kan aji, tabahkan hatinya. Mempunyai istri sejenis titisan medusa yah begini, bawaannya pengen nyebut sama nge ruqyah terus. Aji menatap istrinya dengan tatapan sayu, membuat Dita yang ditatap langsung terdiam dari tawanya, Dita bahkan sudah menunduk takut, apa ia telah salah ucap atau bertindak? "M-mas kenapa?" Tanya Dita lirih, namun tak ada jawaban dari mulut Aji, laki-laki itu malah memilih fokus ke jalanan, membuat Dita memutar otak untuk membuat Aji takhluk. "Dita ada salah yah, mas?" Tanya Dita lagi. "Atau Dita tadi keterlaluan, yaudah deh, Dita ralat. Mas emang terbaik, obat Dita kalau lagi lelah, mas itu salah satu suami yang paling sempurna yang Dita punya. " Aji langsung melotot dan menghentikan mobilnya, ia segera melepas sealtbet dan mendekatkan dirinya ke arah sang istri. "Awwwhh... Sakit mas, kenapa digigit?" Teriak Dita keras, bagaimana tidak teriak, aji menggigit pipi nya dengan keras, bahkan mungkin meninggalkan bekas gigitan. Semoga saja tidak rabies. Dengan wajah kesal, Dita menatap tajam ke arah suaminya. "Apa? kenapa natap mas gitu? Gak terima?" Tanya Aji dengan wajah tak kalah menantang. Dita seketika menciut takut, ia jarang melihat Aji berekspresi seperti itu, karena Aji bukan tipe lelaki pemarah, ia akan lebih memilih diam dan menyendiri ketika sedang emosi. Berbeda dengannya yang akan berbicara terus menerus, lalu menangis dengan pelan di pojokan kamar. "Tadi kamu bilang apa? Salah satu suami yang sempurna yang kamu punya," ucap Aji dengan menirukan suara Dita di kalimatnya. Sontak Dita langsung tersadar, ia telah salah berucap, dengan meringis pelan, ia memberanikan diri menggenggam tangan suaminya yang terlihat menegang, akh! Suaminya ini terlihat sangat marah ternyata. "Maaf, Mas. Dita salah kalimat tadi, suami Dita kan cuma mas Aji. Gak ada yang lain," jawab Dita tegas. Ya kali dirinya memiliki suami banyak, kan tidak di perbolehkan dalam agama, jika saja di perbolehkan, maka Dita sudah pasti ingin suami yang banyak. Dita terkekeh pelan, pikirannya sungguh melantur, kalau suaminya dengar bisa ngamuk lagi kingkong taman safari ini. "Lain kali, lisan dijaga. Mas gak suka kamu ngomong gitu." "Iya, Mas. Dita ngaku salah, " balas Dita. "Yah kamu memang salah, siapa yang bilang kamu benar?" Dita melongo, jauh sekali dari ekspetasi nya ternyata, balasan sang suami malah menampar diri Dita pada kenyataan, bahwa memiliki suami yang romantis dan tidak menyebalkan hanya khayalan semata baginya. "Pernah denger cewek itu gak pernah salah, gak?" Tanya Dita yang dibalas anggukan oleh Aji. "Pernah, sering malah." Gantian Dita yang mengangguk puas. "Berarti mas paham dong?" Aji mengerutkan dahinya, lalu tersenyum singkat. "Paham apa? Tentang apa? Cewek gak pernah salah?" Tanya Aji. Dita mengangguk lagi, ia masih menunggu reaksi suaminya. "Kamu pikir, kalian ini malaikat sampai gak pernah salah? Merasa manusia suci gak pernah salah? Makhluk maha benar, gitu? Mana ada! Kamu gak sadar aja, kalau kaum kamu itu udah marah, udah kayak titisan dajjal." Jleb! Dita termenung, tiba-tiba otaknya blank dan tak tau harus mengucapkan apa, dia seakan kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan suaminya. Kenyataan yang menamparnya sekali lagi adalah, apa yang dikatakan suaminya seratus persen benar, dan sangat benar malah. Tapi ia teringat sesuatu. "Tadi kamu bilang apa?" Tanya Dita setelah sekian lama terdiam. "Apa?" Sahut Aji dengan wajah polos. "Kamu tadi bilang aku mirip titisan apa?" Aji langsung terdiam, ia bahkan kesulitan bernafas ketika teringat ucapannya yang salah tadi. Ia memilih fokus ke jalanan dari pada melihat ke arah kiri tepat istrinya berada, pasti sudah berubah jadi Nyi Roro kidul, batinnya. Dita masih setia menatap aji yang berulang kali seperti menghindari tatapannya. Ia masih menunggu mulut lemes Aji itu mengeluarkan suara seperti tadi. "Yang, kamu gak mau beli apa-ap...." Aji meneguk ludahnya kasar, bodoh, b**o, dia lupa untuk tidak melihat ke arah istrinya, dan sekarang selamat menikmati kebodohanmu Aji Pamungkas, selamat datang di dunia nenek sihir Dita. "Kamu tadi bilang apa?" Tanya Dita. Aji bungkam, ia harus menutup mulut serapih mungkin, jika sedikit terbuka, maka istrinya ini akan terus ngoceh sampai ia mengulangi kalimatnya tadi. Keadaan mobil hening, hingga saat Aji sampai memarkirkan mobilnya di parkiran kantor, ketika Aji akan melepaskan sealtbet nya, tangan Dita dengan cepat menarik dan menghentikan niat Aji tersebut. Lalu tak lama, aksi brutal Dita pun kembali terjadi, dengan hari yang sama dan korban yang sama. Dita bahkan dengan sadis menarik dasi sang suami hingga Aji terbatuk-batuk, tak lupa rambut yang juga menjadi bulan-bulanan tadi sebelum jam istirahat. "ADOHHH!!! SAKIT YANG, YA ALLAH, YA GUSTI. INI GIMANA INI?" Teriak Aji dengan kuat, bahkan sangking brutalnya Dita mobil mereka sampai bergoyang-goyang. Beberapa karyawan melihat mobil itu dengan pandangan aneh, ada pula yang pipinya bersemu merah, bahkan ada yang menatap dengan pandangan penasaran. Hampir 20 menit mereka habiskan dengan mendengar teriakan Aji dan semangat menggebu Dita. Lalu mereka keluar dengan penampilan Dita yang tidak serapih biasanya dan ketika Aji keluar, para karyawan langsung pada berbisik-bisik. "Wah, Ji. Gak sabar banget nunggu di rumah." Sontak hal itu membuat seluruh karyawan yang berada di sekitar parkiran tertawa keras. Aji melihat mereka dengan pandangan yang aneh, ada apa dengan karyawan di kantor ini? "Berapa ronde, Ji?" Aji melongo pelan, ronde? Ronde apa? Aji melihat ke arah Dita yang sudah nyelonong masuk tanpa membalas satupun ucapan para karyawan, ronde? Aji masih berfikir mengenai ronde, dan tatapannya langsung horor melihat ke arah rekan-rekan kerjanya. "YA ALLAH! INI ULAH SI MAKHLUK MAHA BENAR."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD