Bab 2 : Aku sumpahi kamu jadi bini aku!

1436 Words
"Aduh.. duh.. Mba, habis rambut saya, Mba. Bisa kena pasal penganiayaan mba ini." Mendengar hal ini, Nadia langsung berhenti dari aksinya. Ia menatap takut polisi yang sedang membenahi penampilannya, tolong katakan pada dirinya, bahwa ia tidak bersalah di sini, tolong. Niatnya kan baik, ingin mengeluarkan jin yang merasuki pak polisi komedian ini. *** "Bapak tega lihat saya di penjara? Saya ini cewek loh, Pak." "Terus, kalau anda cewek kenapa? Tidak boleh di penjara gitu?" Balas Sule dengan nada sewot, ia sangat kesal dengan gadis bar-bar di hadapannya ini, membuat image polisi tampan hilang dalam waktu kurun satu jam. Bayangkan saja, dia dianiaya di pinggir jalan, dijambak, sampai penampilan supernya modelnya berubah menjadi penampilan gembel seperti ini, rambut yang tadinya tapi kini semrawut seperti habis diterjang badai. "Yah, gak asik si bapak main lapor polisi segala." Nadia berusaha santai, meski dalam hatinya ia sedang ketar ketir ketakutan. Yang benar saja, dirinya harus dipenjara, bagaimana nanti dengan emaknya yang kehilangan putri secantik dirinya ini? Sungguh malang nasibmu emak. "Ngapain lapor polisi, saya ini sudah polisi kalau kamu belum tau," jawab Sule dengan wajah songong nya yang malah membuat Nadia dongkol seketika. "Oh, bapak polisi? Bukannya komedian? Suleee prikitiwwwww, hahahah...." Nadia tertawa terbahak-bahak di samping motornya. Bahkan ia tidak peduli dengan 2 orang polisi yang juga sudah berdiri di sebelah polisi komedian. "Mba, masih waras, kan?" Sungut polisi wanita yang memandang wajah Nadia dengan sinis. Akh! Nadia tau ini, seperti drama-drama ikan terbang. Akan ada cinta segitiga, segi empat, segi lima. Apalagi tatapan polisi wanita itu seolah menantangnya gelut, dengan cepat raut wajah Nadia berubah menjadi datar dan dingin, ia memandang polisi wanita itu tak kalah sinisnya, lalu menatap menilai dari ujung rambut sampai ujung sepatunya. Ternyata polisi wanita Ini sangat tinggi, terlebih Nadia yang memiliki tubuh mungil berdiri tepat di sebelah nya. Sangat banting sekali, pemirsa. "Muka nya Selo aja lah Tante, gak ngelawan aku mah," ucap Nadia yang masih setia dengan wajah datar nya. "Saya tadi hanya menolong polisi Sule dari kesurupannya, toh Alhamdulillah itu udah sadar, gak loncat sana loncat sini. Lain kali, suaminya di kasih obat, Mba. Sebelum tilang orang, kan gawat tuh, kalau polisi kesurupan, yang ada pengendara malah takut semua." Polisi wanita itu tampak tidak terima. "Heh, kamu anak kecil tapi ngomongnya gak sopan, gak diajarin sopan santun kamu?" Nadia melongo? Apa katanya? Anak kecil, wah, cari gara-gara polisi satu ini, mentang-mentang badannya lebih besar, sehingga dengan tanpa dosanya ia mengatakan dirinya ini anak kecil. Belum tau saja dia, apa yang bisa diperbuat oleh orang yang ia sebut anak kecil ini. "Tante nantangin saya? Kecil-kecil begini, tenaga sekuat Samson ini," ucap Nadia dengan memasang ancang-ancang layatnya atlet tinju. Sule sendiri sudah menahan tawanya, melihat Nadia dengan tubuh kecil yang tergolong mungil, melawan dan bergaya layaknya atelt tinju. Nadia melihat nama polisi wanita itu yang tertera di dadanya, Mayati? Yang benar saja. Kenapa gak sekalian jenazah aja namanya. "Emm... Tante Mayat, sebenarnya saya bisa saja melawan Tante sekarang, masalahnya saya sedang kebelet boker, jadi kita gelutnya kapan-kapan saja." Polisi wanita itu tampak tidak terima namanya dipanggil mayat, enak saja. "Heh, mulut kamu itu belum pernah diborgol yah, lemes amat. Nama saya Mayati bukan mayat." Sungut nya kesal. Sule sendiri sudah berusaha menahan tawanya, sedangkan rekannya yang berada di sebelahnya hanya terdiam dan menatap Nadia takjub. "Halah, sama aja kali, Tan. Mayati ke Mayat. Kan sama aja, dah lah, saya kebelet banget ini, minta kunci motor saya." Todong Nadia ke arah Sule yang masih memegang kunci motornya. Sule segera menyembunyikan kunci tersebut. "Woy, Pak. Yang bapak tilang itu bukan hanya saya aja. Tuh ada tuh..." Nadia menunjuk ke arah pengendara yang tidak memakai helm, namun lolos dari razia. " Itu kok bisa lewat, seharusnya ditilang juga dong. Gak adil emang. Memang bener tuh yang ngomong yang b***k akan kalah sama yang good looking. Apalah daya yang cuma remahan rengginang di kaleng Khong Guan." Sule terkekeh geli, kedua rekannya sudah memutuskan kembali ke post jaga dan menilang beberapa pengendara lainnya, sedangkan dirinya sendiri masih menghadapai gadis garang dan tak punya urat malu. "Siapa bilang mereka gak ditilang?" "Yah, itu buktinya gak ditilang." Pluk! Nadia meringis pelan ketika gantungan kuncinya yang keras itu dipukulkan ke keningnya, dengan kesal ia menatap polisi gila di hadapannya. Ia melihat kanan dan kiri yang terlihat sepi pengendara, begitu melihat ke arah pos polisi yang kosong, Nadia dengan kuat menendang harta pusaka milik Sule tanpa perasaan. Sule meringis kesakitan, tendangan Nadia sangatlah keras dan tepat menghantam dua pelurunya. Ia bahkan tanpa sadar sudah berlutut sangking sakitnya. Nadia sendiri meringis pelan, ia jadi merasa kasihan melihat ringisan Sule yang terdengar sangat kesakitan, apa ia tadi terlalu kuat menendangnya? Tapikan salah Sule sendiri yang mencari perkara. Tanpa memperdulikan Sule yang sedang kesakitan, Nadia langsung menarik kunci motor yang berada ditangan Sule, dan langsung menaiki motornya itu. Sule berusaha menghadang gadis nakal itu, namun bukannya takut, Nadia malah semakin mengegas laju motornya. Membuat Sule menyingkir dengan jalan yang sangat lucu. "AKU SUMPAHI JADI BINI AKU." Teriak Sule sambil tetap menahan sakit, Nadia yang mendengar itu malah tertawa ngakak. "GAK MUNGKIN, TAU RUMAH KU AJA ENGGAK." Balas Nadia dengan tetap memacu kendaraan nya. Tanpa Nadia sadari, KTP nya masih berada di tangan Sule, dan alamat lengkapnya ada di dalam buku itu. Sule tersenyum miring, ia akan membuat gadis itu mati kutu, lihat saja. Sepanjang jalan, Nadia terus mengumpat atas kesialan nya hari ini. Terlambat masuk kelas yang berujung di usir, terus ditilang sama polisi gila, lengkap sudah penderitaannya hari ini. Nadia sampai di rumahnya 20 menit kemudian, ia membuka pintu gerbang yang ternyata tidak dikunci, akh, seharusnya ia bisa beristirahat dari tadi, tapi karena polisi komedi itu, ia harus menyia-nyiakan waktu berharganya dan tetap pulang seperti ia masuk kelas saja. "Assalamualaikum," ucap Nadia membuka pintu rumah, namun keadaan di dalam rumah amat sepi, seperti tidak ada kehidupan. Ia masuk dan melihat ke dapur, biasanya jam segini sang ibu pasti tengah memasak untuk ayah tercintanya yang super manja itu. "Ibu... Yuhuuu... Ibu.." Tak ada jawaban dari siapa pun, Nadia melihat ke kamar kedua orang tuanya, begitu ia ingin membuka pintu, pintu tersebut dalam keadaan terkunci, otak Nadia langsung konek ke satu peristiwa. "AYAH, IBU.. NADIA GAK MAU PUNYA ADIK LAGI!" Tanpa harus dijelaskan, Nadia sudah tau pekerjaan kedua orang tuanya di dalam kamar dalam keadaan terkunci seperti itu, dia bukan anak kemarin sore yang tidak tahu-menahu. Dirinya tidak munafik, menonton blue film aja dia pernah, wajar saja, umurnya ini sudah legal untuk mengetahui hal seperti itu. Lagian kenapa ayah dan ibunya tidak tau waktu sekali, bentar lagi juga adik bungsunya yang masih duduk di SMA akan pulang, bagaimana jika remaja laki-laki itu tau aktivitas orang tuanya itu. Bisa gempar dunia. "AYAH, IBU. INI MASIH SIANG, SATU RONDE AJA." teriak Nadia lagi, padahal dirinya sudah berada di dapur untuk mengambil minum, tapi suaranya memenuhi penjuru rumah. Karena tak ada sahutan dari kedua orang tuanya, Nadia memutuskan untuk berganti pakaian, ia masuk ke dalam kamarnya, dan memakai kaos oblong serta celana boxer bermotif club' sepak bola favorit nya. Begitu ia keluar dari kamar, kedua orang tuanya juga tetap tidak muncul, malah Nadia bisa mendengar suara yang tidak mengenakkan dari kamar itu, beginilah nasib jika memiliki orang tua yang tidak sadar umur, susah!. Dengan malas Nadia membuka tudung saji di atas meja makan, hanya ada nasi putih dan kecap serta kerupuk saja. Rasanya Nadia ingin mengamuk, mendobrak pintu kamar kedua orang tuanya, namun karena dia adalah anak sholeha, dengan terpaksa ia hanya mengandalkan mie instan di warung sebelah rumah. Dengan rambut yang dicepol asal, Nadia keluar dari rumah membawa uang seribu logam. "Bik... Oh bikk... Beli." Teriak Nadia. Pemilik warung tampak tergopoh-gopoh dengan wajah yang masih setengah ngantuk. "Ngopo toh, Nadia? Suaranya kayak geledek, gak ada kemayu-kemayunya." Nadia cengegesan sambil memberikan uang seribu tersebut. "Beli apa ini?" "Mie instan, rasa soto ayam." "Kurang Neneng markoneng, ini harganya 2.500, kurang 1.500 lagi." "Halah, ngutang dulu, Bik. Kek sama siapa aja. Lagian rumah Nadia itu tuh di samping." Pemilik warung itu hanya bisa mengelus d**a melihat tingkah tetangga nya yang satu ini, apalagi melihat penampilan Nadia yang jauh dari kata normal. "Nad, mamakmu gak masak emang?" Nadia yang semula ingin pulang menghentikan langkahnya. "Gak, asik nyetak adonan sama bapak." Sahut Nadia asal yang mengundang gelak tawa pemilik warung, dikira apaan, cetak adonan. Nadia tidak peduli, yang terpenting baginya saat ini adalah, masak mie, lalu makan dengan khitmad. Begitu sampai di rumah, ia langsung eksekusi mie instan yang tadi dibelinya, dengan menambahkan saus sambel yang banyak, kuah mie itu berubah menjadi sangat merah. "Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan wahai Nadia."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD