bc

Sekretaris Pribadi Bos Tampan

book_age16+
20.1K
FOLLOW
185.2K
READ
possessive
age gap
dare to love and hate
drama
sweet
office/work place
love at the first sight
assistant
passionate
like
intro-logo
Blurb

Kehilangan sosok ayah dan terancam DO dari kampus, membuat Anastasya harus berjuang untuk menjadi kepala keluarga yang baru.

Berbekal kemampuan berbahasa asing yang cukup baik, membuat Tasya nekat melamar pekerjaan di banyak perusahaan.

Sebuah accident yang terjadi saat interview, membuat Tasya bertemu dengan sosok William. Seorang duda yang merupakan direktur utama sebuah perusahaan.

Apakah yang akan terjadi selanjutnya dengan Tasya dan William?

chap-preview
Free preview
Fake Interview
Dengan mata yang masih sembab karena menangis, Aku memacu laju sepeda motor andalanku. Menelusuri jalan kota yang diisi dengan rintik-rintik kecil, sesekali kuhapus air mata yang mengalir. Baru tiga hari lalu aku ditinggalkan oleh ayah yang paling kusayangi, tadi pagi aku menerima surat yang menyatakan kalau aku dicutikan dari kegiatan perkuliahan, hingga aku bisa melunasi tunggakan biaya kuliahku selama dua semester. Aku berniat menemui Rektor untuk meminta keringanan. Di Kampus Sukma Bangsa Setengah berlari aku mendatangi ruang Rektor. Bermodalkan surat kematian ayahku dari rumah sakit, aku berharap kampusku bisa memberikan perpanjangan waktu pembayaran uang kuliah, agar aku tidak drop out. Bagiku, waktu satu bulan terlalu singkat, jika harus mengumpulkan uang sebanyak lima belas juta rupiah. Agar mereka tau, kalau ayahkulah tulang punggung keluarga dan sosok itu kini sudah tiada. Aku benar-benar tidak ingin kuliah yang sudah kujalani selama tiga tahun harus berakhir tanpa hasil apa-apa. Ayahku pasti akan sangat sedih. Di ruang Rektor Aku Anastasya Erie, menunggu dengan gelisah. Di dalam, masih ada seorang tamu yang sedang bicara. Sebenarnya aku tidak ingin mendengarkan percakapan itu. Namun, suara orang yang sedang berbicara itu sangat menarik. Suaranya tidak merdu, tapi enak didengar. Aku mendengar kalau ia ingin mengurus kepindahan anaknya. Ia akan mengirimnya keluar negeri. Belasan menit kemudian, akhirnya orang itu keluar. Aku agak kaget dengan suara langkah kakinya. 'Ternyata bule,' batinku singkat. Aku tidak menyangka. Tanpa sadar, aku sedikit memperhatikkannya. Namun, aku buru-buru memalingkan wajah saat orang itu melirikku. "Oke Pak Mansur, sepertinya ada tamu lain yang sudah menunggu. Saya akan menghubungi bapak lagi nanti," jelas orang itu sambil menjabat tangan Pak Mansur, sang Rektor. Setelah orang itu pergi, Pak Mansur mempersilakanku masuk. "Siang, Pak. Kedatangan saya kemari ..." "Bla—bla—bla" Dan begitulah. Akhirnya, pembicaraan yang berlangsung hampir setengah jam itu berakhir. Aku memacu kembali motor kesayangan pemberian almarhum ayahku pulang ke rumah. Aku merasa bersyukur karna pihak universitas memberiku cuti satu semester tanpa biaya. Dengan syarat, setelah semester itu habis, aku harus membayar seluruh uang semesterku yang tertunggak dan berjanji tidak akan menunggak lagi. Aku juga harus menyelesaikan kuliahku tepat waktu. Dan aku menyanggupinya. *** Tiga minggu kemudian... Sudah hampir sebulan semenjak kepergian ayahku. Mama masih suka menangis tanpa ia sendiri sadari. Adikku Amanda, makin sering berdiam di kamar. Aku sendiri hampir gila karna tidak bisa menerima perubahan sebesar ini. Namun aku berusaha kuat agar keluarga ini tidak hancur. Aku selalu berusaha menenangkan Mama dan sesekali ngobrol dengan Manda. Aku mencoba membuka dirinya lagi. Sore ini aku berniat untuk pergi ke rumah salah satu teman kuliahku. Tanpa sengaja, aku melihat Manda sedang menghitung uang di kamarnya. Kuketuk pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Tok tok tok "De, boleh kakak masuk?" Aku meminta ijin. Ia hanya mengangguk pelan dan menghentikan kegiatannya tadi. Sambil kembali menyimpan uang-uang yang berserakan di atas kasur, ke dalam pouch kucing miliknya. Aku memungut kaleng celengan yang sudah koyak. "Kenapa dibongkar, Man? Inikan tabunganmu untuk ulang tahun nanti. Kamu bilang ada barang yang harus kamu beli sendiri..." tanyaku bingung. Manda kemudian mengeluarkan selembar kertas yang berasal dari sekolahnya. Dengan cermat k****a isinya. Ternyata surat itu adalah surat tagihan biaya ujian. Di dalamnya sudah terdata jelas, apa saja yang harus dibayar dan berapa total keseluruhannya. Agak kaget saat melihat angka tujuh juta dua ratus ribu yang tetera di sana. Manda memang bersekolah di sekolah swasta yang lumayan terkenal di kota ini. Karna pada saat itu, pekerjaan ayah kami lumayan menjanjikan. "Ka, jangan bilang mama, ya! Kasian dia, nanti harus keluar uang lagi," jelasnya dengan suara pelan. "Lagi? Maksudnya apa, Man? Memangnya mama ada bayar apa? Kok kamu bilang gitu?" tanyaku bingung. Keluarga kami memang bukan keluarga yang terlampau kekurangan atau mendekati kaya raya. Pekerjaan ayah bagus. Gajinya bisa mencapai angka sembilan jutaan jika ia full bekerja. Mama kadang-kadang membuat kue dan menitipkannya di beberapa toko kue. Jadi, setauku keuangan keluarga kami baik-baik saja. Uang kuliahku juga kubayar sebisanya dengan hadiah-hadiah lomba menulis yang sering ku ikuti di berbagai media. Kalau tabungan selama enam bulan itu tidak cukup, aku akan minta kekurangannya dengan mama yang mengatur keuangan keluarga kami. Uang bulanan sekolah Manda sekitar sejuta dua ratus ribu. Dan ia juga suka menabung dari uang jajan yang diberikan padanya. Jadi aku agak bingung dengan ucapan Manda barusan. Mungkin ia salah tangkap. "Kemarin saat kakak pergi ke kampus, Tante Erna datang. Ia menagih utang Ayah padanya. Sepuluh juta, Ka!" "Lalu? Mama langsung membayarnya?" selidikku ngeri. Manda mengangguk. Kepalaku langsung berdenyut. 'Ayah punya hutang sepertinya tidak mungkin...' pikiranku berputar. Mungkin nanti aku akan menanyakan kepada mama tentang hutang itu. Tunggu ia tenang. Aku masih memutar otak. Manda yang masih SMP saja tidak ingin menyusahkan mama. Bagaimana mungkin aku yang sudah berumur ini sempat berniat untuk meminta tolong pada mama masalah pembayaran kuliahku. Aku mengusap punggung tangan Manda pelan. "Memangnya kapan uang ini harus dibayarkan? Kakak punya sedikit tabungan. Mungkin bisamenambah uang tabunganmu yang kurang." Aku berharap ia mengerti. Manda tersenyum dan memelukku. Aku kaget. Sangat jarang ia memelukku seperti saat ini. Aku tau mungkin ia masih sedih. Aku pun begitu. *** Dua minggu kemudian... Sudah dua minggu dan aku belum mendapatkan apa-apa. Sudah banyak surat lamaran yang kumasukkan ke berbagai tempat, tapi hampir semuanya memerlukan pengalaman kerja. Atau mereka hanya menerima lulusan sarjana. Semakin banyak persaingan. Aku pun bertekad dalam hati, agar Manda bisa meneruskan sekolahnya hingga kuliah dan menyelesaikannya dengan baik. Hal itu hanya bisa terwujud jika aku bekerja. Aku sedang mencuci piring saat ponselku berbunyi. Tidak ada orang di rumah. Manda masih sekolah dan mama sedang menghadiri undangan di rumah kerabat kami. Hanya ada aku di rumah. Dengan bergegas aku membersihkan tangan dan setengah berlari menuju kamar. Pada saat-saat seperti ini, yang menghubungiku bisa siapa saja. "Hallo? Iya, saya Anastasya." "Diharapkan kehadirannya untuk interview pekerjaan sebagai admin gudang siang ini." Suara seorang laki-laki. "Baik, Pak! Saya akan segera kesana." "Bawa juga berkas pelengkap dan pendukungnya. "Baik, Pak. Terima kasih!" Akhirnya! Aku hampir melompat kegirangan. Aku berusaha mengatur nafas dan langsung menyelesaikan cucianku. Dua puluh menit kemudian Aku sudah berdiri di depan perkantoran PT. Prima Nusa. Perusahaan yang bergerak dibidang industri ini memiliki beberapa anak cabang di beberapa kota besar di Indonesia. Aku menyempatkan untuk browsing tentang perusahaan ini saat perjalanan kemari. Aku kemari menggunakan ojek online. Motorku dipakai mama dan menunggunya pulang pasti akan lama. Dengan langkah cepat aku menuju ke meja resepsionis untuk menanyakan interviewku. "Ini sudah siang, Mbak. Biasanya tidak ada interview, sih. Tapi mbak sudah ditunggu Pak Wandi HRD bagian pemasaran di ruangannya. Mbak akan diantar oleh Security kami," jelas resepsionis itu padaku. Aku hanya mengangguk. Dalam hati aku berdoa jika pekerjaan ini memang untukku. Bahasa inggrisku bagus. Komputerku juga lumayan. Aku memegang sertifikat dengan nilai A. Aku cukup percaya diri. Tok tok tok "Ya, masuk. Tolong tutup kembali pintunya," jelas orang itu sambil kemudian duduk kembali di kursinya. Samar-samar aku mencium bau menyengat entah apa. Aku bersikap sopan. Aku menyodorkan tanganku untuk bersalaman. "Nama saya Anastasya Erie" Orang itu menjabat tanganku lumayan erat. Sepuluh detik, dua puluh detik. Pak Wandi itu tidak juga melepas tanganku. Oke, aku mulai risih. Aku menarik tanganku dan ia terkejut. "Sorry sorry! Saya terpesona dengan anda. Anda yakin sudah lulus SMA? Wajah anda terlalu, apa ya? Lucu? Tidak. Imut? Hhmmm, awet muda barangkali," ocehnya. Aku merasa tidak enak mengetahui ia memperhatikan wajahku sebegitunya. Aku berusaha mengalihkan pembicaraannya. "Ini surat lamaran saya, Pak. Saya harap kita saling profesional dan interview ini bisa segera dilanjutkan." Aku berusaha mengingatkan. "Hei, nona! Saya HRD disini dan saya tau tentang profesionalisme!" Ia terlihat jengkel. Pak Wandi membuka berkas lamaranku. Aku hanya berharap ia menyuruhku pulang dan aku tidak melihatnya lagi. "Well, tidak banyak yang bisa kau berikan kepada perusahaan ini. Tidak ada pengalaman dan tidak ada ijasah perguruan tinggi. Apa yang bisa kau berikan?" tanyanya dengan nada yang menjengkelkan. Aku mengepalkan tangan berusaha menahan emosiku agar tidak meledak. "Apa maksud bapak?" "Kami tidak memerlukan sekedar sertifikat komputer dan bahasa inggris. Jadi, bagaimana jika pekerjaan lain?" tanyanya dengan wajah yang super memuakkan. Ingin rasanya kutonjok orang itu dengan sekuat tenaga. Sudah pasti niat orang ini jauh melenceng. Benar saja ujar resepsionis tadi, tidak ada interview dari perusahaan jika sudah sesiang ini. Orang ini bermaksud lain. Aku berdiri dan berniat meninggalkan ruangannya dengan segera. Aku berbalik tanpa basa-basi. Namun kemudian, ia menarik bajuku dan membuatku terduduk lagi kembali ke kursi. "Awch! Pak!! Jangan kurang aja ya!!" bentakku. Aku berusaha bicara senyaring mungkin agar ada yang mendengar. "Jangan teriak kamu! Cewek kayak kamu ini banyak di pinggir jalan! Jangan sok jual mahal. Kamu mau uang, kan?" tanyanya sombong. Aku yang sudah di ambang batas kesabaran, meraih gelas kosong yang berada dekat denganku. Dengan sekuat tenaga aku melemparkan ke arahnya. Sayangnya aku meleset, gelas itu mengenai dinding di belakangnya. Aku justru terkena serpihannya dan melukai keningku sendiri. Terasa sekali perihnya. "Ya ampun, Pak! Sombong sekali Anda, ya!! Anda bukan pemilik perusahaan ini loh, Pak! Jangan kurang ajar. Ini masih jam kerja dan kelakuan Anda malah seperti binatang!!" "b******k! Dasar murahan kamu!! Jangan harap kamu bisa diterima kerja di mana saja!!" ancamnya tidak mau kalah. Aku yang sudah membuka pintu ruangannya, melihat banyak pasang mata yang memperhatikan kemunculanku. Aku tidak lagi meladeni orang itu. Dengan langkah jengkel aku pergi. Tapi, belum juga aku jauh, ada tangan yang menahan bahuku. "Lepasin b******k!! Dasar orang tua gak tau malu! Bakal saya laporin komisi perlindungan perempuan kalau Anda masih menyentuh saya!!" pekikku sedikit panik. Tangan itu melepas bahuku. "Maaf kalau saya mengagetkan. Tapi ada apa ini ribut-ribut?" tanya suara yang sepertinya pernah kudengar. Aku langsung berbalik dan mendapati seorang blasteran tampan, dengan setelan jas mahalnya. Di belakangnya ada dua orang security dengan potongan tubuh yang tidak kalah tinggi. "Tidak, saya yang minta maaf membuat keributan di sini. Tapi sebaiknya, Anda tanyakan pada orang itu, kenapa saya begini," jelasku masih dengan suasana hati yang panas. "Sebaiknya kita obati dulu luka itu dan Anda bisa jelaskan pada saya apa yang terjadi." Ia menawarkan bantuan. Seketika itu juga perih di keningku terasa lagi. "Tidak perlu. Saya akan mengobatinya sendiri. Saya pulang saja. Terima kasih!" jawabku lagi. "Apa Anda membawa payung? Hujannya cukup deras, loh..." Ucapannya membuatku spontan melihat ke jendela. Ternyata di luar hujan deras dan bahkan aku pun tidak menyadarinya. Dengan lemas aku menggeleng. Ia kemudian mengajakku duduk di ruang tunggu yang ada di depan resepsionist. Oke baiklah, paling tidak ia tidak mengajakku ke dalam ruangannya. Aku masih agak trauma. Aku duduk dalam diam, setelah meminta plaster luka dan cermin tadi, tidak ada obrolan lagi. Aku diam, begitu pula dia. Hanya saja tangannya yang memegang ponsel, sibuk mengetik entah apa. Tidak lama berselang pesananku datang. Pria paruh baya dengan nametag 'Ujang' sebagai OB yang mengantarkannya. Ia juga membawakan dua cangkir minuman. Aku bisa mencium bau kopi luwak yang lumayan menyengat. "Saya harap Anda mau minum kopi ini sebagai permintaan maaf atas kejadian tadi," jelasnya. Ia meletakkan ponsel di atas meja. "Terima kasih," jawabku sambil lebih dulu mengambil cermin dan plester. Aku melihat luka yang lumayan panjang. Setelah memastikan kalau tidak ada serpihan kaca yang tertinggal, aku memasang plester luka. "Kalau saya boleh tau, apa yang barusan terjadi?" tanya orang itu berusaha untuk sangat sopan. Aku kemudian menceritakan seluruh kejadian. Aku memperhatikannya mengangguk-angguk dan sesekali menggeleng. Yang kutangkap, orang ini sangat berkharisma. Mengingatkanku dengan sosok yang selama ini kusayangi dan telah pergi. "Barusan saya juga mendapat laporan kalau saat itu Pak Wandi agak mabuk. Saya juga sudah pernah menerima laporan dari beberapa staf, kalau kelakuannya sudah sangat meresahkan. Saya menunggu bukti. Tapi kali ini mungkin dia akan langsung kami pecat," ungkap orang itu pasti. Mendengar kalimat itu, aku merinding. Agak berlebihan kurasa. Aku sendiri jadi merasa sedikit bersalah. "Tolong pikirkan lagi, Pak! Sebaiknya tidak sejauh itu," usulku. Dengan curiga orang itu menatapku dengan sinis. 'Oh... Sial...'

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Sexy Boss ⚠️

read
538.5K
bc

The Ensnared by Love

read
103.6K
bc

The crazy handsome

read
465.2K
bc

Living with sexy CEO

read
277.5K
bc

GAIRAH CEO KEJAM

read
2.3M
bc

My Hot Boss (Indonesia)

read
659.9K
bc

LIKE A VIRGIN

read
840.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook