Suddenly Secretary

1778 Words
Orang itu menatap lurus kepadaku. Aku tau kalau dia berpikiran kalau aku pasti sedang bekerja sama dengan Pak Wandi. Aku menggeleng tanpa ditanya. "Mungkin jika bapak memiiki anak, bapak akan mengerti," jelasku singkat. Sangat malas rasanya menjelaskan panjang lebar dengan kepala yang masih berdenyut. "Saya mengerti maksud Anda ... Maksud Anda adalah, bagaimana nasib keluarganya nanti jika ia dipecat. Begitukan?" Aku mengangguk pasti. "Ayah saya baru saja meninggal sebulan yang lalu, Pak. Jadi saya mengerti bagaimana rasanya mendapati perubahan finansial secara mendadak..." Aku memandang apa saja asal bukan orang itu. Sekilas, kulihat kalau ia sedang mebaca sesuatu di ponselnya. "Jadi kamu kemari benar untuk iterview, ya? Sudah lulus sekolah?" tanyanya ragu. Aku yakin kalau ia juga terkecoh oleh penampilanku. Penampilan bocah di usia dewasa. Kadang-kadang hal itu mengganggu. "Saya sedang berkuliah, Pak. Karna satu dan lain hal, saya cuti dan harus mendapatkan pekerjaan," Aku yang notice dengan hujan yang telah berhenti kemudian berdiri "Saya pamit, Pak. Terima kasih atas kopi dan plesternya..." ucapku sambil mengulurkan tangan. Ia berdiri. "Kalau Anda mau bekerja, ada satu pekerjaan yang bisa saya tawarkan. Namun bukan di sini," jelas orang itu, membuat uluran tanganku seketika turun. "Sa...saya mau, Pak! Yang penting benar dan sesuai dengan kemampuan saya..." jawabku kegirangan. Ia tersenyum sedikit. Namun kemudian menghilang. "Saya menawarkan pekerjaan di rumah saya ... tenang, saya tidak bermaksud apa-apa," jelas orang itu lagi. Rupanya ia melihat perubahan raut wajahku barusan. "Anda tidak perlu manjawab sekarang. Ini, kartu nama saya ... jika memang Anda perlu pekerjaan, hubungi saya..." tambahnya kemudian "Saya mohon diri dulu, saya minta maaf atas kejadian tadi. Betul-betul memalukan. Permisi..." Orang itu pergi. Tanpa memperhatikkan hal lain, aku memasukkan kartu nama dan sisa plester yang kupakai barusan. Pukul 22.06 di Kamarku Aku tidak bilang apa-apa kepada mama dan adikku. Untung saja aku lebih dulu pulang daripada mereka. Walaupun jemuranku basah semua, mereka tidak menaruh curiga sedikit pun. Sangat amat tidak mungkin jika aku menceritakan kepergianku tadi, karna cerita itu pasti akan merembet jauh sampai ke pelecehan yang terjadi padaku setelahnya. Sambil memijat kening, aku memeriksa ponselku. Hanya beberapa chat grup kuliah dan satu private chat. Thomas [Sya, gue turut berduka, ya! Sorry, gue bener-bener baru tau beritanya dari teman kampus. Lu gimana sekarang? Pantesan lama gak liat loe di HIMA.] Sebenarnya, agak malas juga balas-balasan chat dengan dia. Awal kami bertemu saat kuliah perdana di auditorium. Ketemu juga karna tidak sengaja aku menumpahkan minuman ke jaketnya. Thomas baik, sih. Tapi dia agak berlebihan. Ia juga sebenarnya mau berteman denganku karena ada maunya. Itu dari apa yang kulihat selama ini. Aku meletakkan kembali ponselku. Memejamkan mata dan hampir tertidur, tapi saat itu juga bunyi -tring- terdengar lagi dari ponsel yang barusan kuletakkan. Lagi-lagi chat grup. Annoying banget. Apalagi kepalaku lagi mumet. Aku membuka chat grup untuk menonaktifkan notifikasinya. Saat itulah tidak sengaja aku melihat namaku di salah satu obrolan mereka. Akhinya aku membaca keseluruhan chat. "Gila! Apa mereka lupa kalau aku juga bagian dari grup ini, ya?" pikirku agak marah. Mereka membahas mengapa aku tidak masuk kuliah selama sebulan ini. Ada yang bilang kalau aku di DO, ada yang bilang kalau aku frustasi setelah kematian ayah, ada juga yang bilang aku kerja banting tulang untuk menghidupi keluarga, dan banyak lagi spekulasi-spekulasi lainnya. Well, semuanya mendekati benar, hanya saja belum benar-benar terjadi... Akhirya aku menonaktifkan notifikasi grup chat itu. Keesokan harinya... Saat ini aku sedang melipat kembali baju-bajuku yang ada di dalam lemari. Aku mikirkan perkataan mama untuk menjual beberapa emasnya guna untuk membayar tunggakan kuliahku. Aku langsung menolaknya. Mau sampai kapan? Kuliahku masih beberapa semester lagi. Itupun belum termasuk tambahan biaya lain-lain, dan saat aku tengah memikirkan hal itu, Manda mengetuk pintu kamar. "Kak, ini punya kakak, ya?" tanyanya sambil menyerahkan sepucuk kartu nama yang kukenal. Aku mengangguk, setelah memastikannya. "Sorry ya, Man, kakak belum bisa dapat uangnya..." ungkapku sebelum ia bertanya. "Manda tidak menagihnya, kak..." Manda tersenyum. "Oh ya, Kakak pernah ke perusahaan ini? Ini perusahaan besar, loh... Katanya OB di sana aja gajinya bisa sampai lima juta rupiah. Tapi jadi OB capek sih ..." gumam Manda sendiri, "nanti lulus sekolah Manda mau ngelamar kerja di sana aja lah..." katanya yakin. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan masalah uang itu. Aku tersenyum. Hampir saja kujelaskan, kalau mau melamar di sana paling tidak harus memiliki gelar diploma. Namun, aku takut ia akan bertanya panjang lebar. Akhirnya aku memilih diam saja. Lumayan lama kami berdua ngobrol, sampai akhirnya ponsel Manda berbunyi dari arah kamarnya. Ia pun pamit untuk kembali ke kamar. Aku mengambil ponselku sendiri dan menekan angka-angka yang tertera pada kartu nama itu. Saat itu juga aku mendengar suara mama memanggil. Aku yang terlalu fokus pada ponsel di tanganku, tidak sengaja menekan tombol hijau. Dengan buru-buru, aku mematikanya kembali. 'Sial!!' umpatku dalam hati. Kudatangi mama yang sedang berada di dapur. "Bikin kue lagi, Mah? Kok gak bilang? Padahal Tasya dan Manda bisa bantu-bantu, loh..." "Sudah mau selesai, kok... Mama bisa minta tolong, kan? Untuk antar kue ini ke Toko Bakeristy?" tanya mama berharap. Toko itu sudah lama berlangganan kue dengan mama. "Siap, Ma! Mama sudah capek, jadi biar Tasya yang jadi kurirnya..." jelasku sambil mencomot sepotong kue yang tersisa. Seperti biasa, empuk dan terasa nikmat. Mama mempersiapkan kue-kue itu kedalam box-nya. Aku kembali ke kamar untuk mengganti baju dan memakai sedikit lip tint agar wajahku tak begitu pucat. Sepuluh menit kemudian, aku sudah berada di jalanan. Saat aku berhenti untuk melihat lokasi alamat melalui maps, aku melihat ada tiga missed calls dan satu unread messege. Aku membukanya. Tuan William [Jika kamu tidak datang kerumah dalam waktu satu jam, jangan berharap bisa melanjutkan kuliah. Lebih baik kamu DO saja!] Isi pesan itu membuatku lemas. Saat melihat pengirimnya, aku kaget. 'Apa ia melakukannya karna aku membuat masalah di kantornya kemarin?' tanyaku panik pada diri sendiri. Aku mengeluarkan kartu nama yang tadi kumasukan ke dalam kantong celana jeans. Dengan segera aku menyalakan kembali motorku dan menuju ke alamat yang tertera di sana. Kurang dari sepuluh menit, aku sampai ke alamat itu. Rumahnya sangat besar, tapi terlihat sangat sepi. Sambil membawa box kue milik ibuku, aku mengetuk pintu rumah dengan tanganku yang kosong. Saat itu juga aku mendengar suara benda terjatuh. Suaranya sangat nyaring dan membuatku kaget. Aku teringat saat ayahku terjatuh dari tangga. Suaranya sangat mirip dengan saat itu. Aku berusaha membuka pintu depan, tapi terkunci. "Pak! Apa anda baik-baik saja?" tanyaku berteriak. Kuletakkan box kue tadi di lantai. Aku mencari jalan masuk yang lain. Saat itulah aku mendengar suara anjing menggonggong dari arah samping. Aku mendatanginya. Benar saja, aku melihat sebuah tangga yang tergeletak di lantai dari pintu kaca yang setengah terbuka Anjing yang kudengar tadi, ternyata terikat di kandangnya, jadi aku langsung saja masuk dan berusaha mencari keberadaan orang itu. 'Semoga tidak terluka,' pikirku. "Permisi, Pak... Bapak tidak apa-apa?" tanyaku sambil terus berusaha mencari keberadaannya. "Di sini..." jawab suara itu. Suara yang sudah pernah kudengar sebelumnya, "Kitchen..." suara orang itu seperti kesakitan. Agak bingung aku mencari dapur. Namun, akhirnya aku menemukan tempat itu. "Are you okey, Sir?" tanyaku saat melihat ia terduduk di atas lantai. Tangannya memegangi kaki yang sepertinya terkilir. "Se...sebaiknya kita pindah ke tempat yang lebih luas..." aku mengusulkan dengan ragu. "Little help ... please," pinta orang itu. Agak ragu. Namun aku memberanikan diri untuk membantu. Sepertinya sakit sekali. Kami sudah berada di ruang tamu. Aku memapahnya sampai ke sofa. Dengan menahan malu aku mencoba melihat kakinya yang terbuka. Ia hanya mengenakan celana jeans pendek. Takutnya ada luka yang harus segera diobati. "Apa itu sakit?" tanyaku sambil menunjuk daerah tulang keringnya yang terlihat lecet. "Yup. Sangat," jawabnya sambil meringis menahan sakit. "Apa saya perlu mengantar Anda ke dokter?" tanyaku memastikan. Ia menggeleng. "Tolong hubungi dokterku saja. Dokter Lyn, kontaknya ada di dalam ponselku," jelasnya sambil menunjuk ke arah tempat tadi ia terjatuh. Aku meninggalkannya untuk mengambil ponsel. Mencari nama Dokter Lyn di dalam kontak, scroll scroll ... tapi tidak ada. "Saya rasa tidak ada di sini, Pak..." ungkapku agak ragu. Orang itu memijat keningnya. "Coba 'Wife'..." alihnya. Aku merasa pipiku memerah. 'Bodoh! Kamu kenapa, Sya?' diriku mengumpat. Aku menemukannya. Setelah menekan loudspeaker, aku memberikannya kepada orang itu, yang bahkan belum kuketahui namanya secara langsung. Aku hanya tau dari kartu namanya kalau ia bernama William Salim. Kini, Dokter Lyn atau istrinya sudah dalam perjalanan kemari. Aku sangat ingin pergi dari tempat ini, tapi orang itu tidak mengijinkanku. "Apa kau datang dengan angkutan umum?" tanyanya tiba-tiba. Aku kaget. Refleks aku menggeleng. "Saya naik motor, Pak..." aku menjawab seperti orang bodoh. "Tolong aku. Kumohon," ia memohon. Entah aku harus menjawab apa, aku hanya bisa mengangguk. "Bawa motormu ke dalam garasi. Mengakulah sebagai temanku dan bersikaplah seperti kita sudah saling mengenal cukup lama ... aku akan membayarmu," Uang!! Astaga ... mungkin ini mimpi... "Hanya itu?" tanyaku memastikan, "hanya memastikan..." aku cukup yakin kalau ia hanya ingin melindungi harga dirinya. Mana mungkin saat seorang istri melihat ada perempun lain di rumahnya, ia akan tenang saja. Jadi bisa dipastikan jika orang ini berusaha menutupi alasanku kemari yang sebenarnya. Hampir setengah jam kemudian, Dokter Lyn datang. Aku sudah menyimpan motorku dan meletakkan box kue mamaku di dapur. Dokter Lyn sangat cantik. Daripada dokter, ia lebih terlihat seperti seorang model. Ia mengenakan blazer cokelat dan celana putih yang menampilkan kaki jenjangnya. Saat melihat Pak William yang menutupi wajahnya dengan lengan kirinya, ia hanya menggeleng. "Well, kau beruntung temanmu ada di sini, iya kan? Jika tidak, mungkin kau harus istirahat di rumah sakit selama seminggu penuh. Hanya terkilir, tapi posisinya cukup rawan. Mungkin kau harus sering mengompresnya setelah ini. Aku hanya akan mengobati luka lecet ini..." jelasnya. Sesekali ia melihat ke arahku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Beberapa menit kemudian Dokter Lyn selesai mengobati kaki Pak William. Orang itu tidak bergerak, sepertinya tertidur. Dokter Lyn kemudian mendekatiku yang dari tadi hanya mengamati dari jauh. "Ini," ucapnya sambil menyodorkan dua kantong obat padaku, "Antibiotik dan penghilang nyeri. Selain itu, kau juga harus memastikan kalau posisi kakinya selalu berada lebih tinggi dari jantung saat ia berbaring. Kompres dengan es hanya saat kakinya bengkak ... terakhir, minumkan obat ini dua kali sehari, pagi dan sore. Apa kamu paham?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk, kemudian menggeleng. "Sa...saya?" tanyaku bingung. "Iya, memang ada orang lain di sini?" tanyanya yang juga bingung, "tolong ya, dia sangat tidak disiplin dalam hal ini..." mohonnya. Aku benar-benar bingung. Bagaimana mungkin aku harus menjadi baby sitter orang itu. Saat otakku sedang berusaha mencari alasan untuk menghindar, aku mendengar Pak William memanggil Dokter Lyn. Rupanya ia tidak tidur. "Dokter, terima kasih atas tindakan dan obatnya. Sekertarisku pasti mengerti dengan semua intruksi yang kau berikan..." jelasnya. Dokter Lyn tersenyum. Ia mendekatkan bibirnya ke pipi Pak William lalu mengecupnya sekali. Aku hanya bisa membuang pandangan menuju box kue yang tadi kubawa. 'Apa yang sebenarnya kulakukan di sini?'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD