Dikira Maling

1815 Words
Hari ini Pak William sudah ada janji dengan rekan nya untuk bermain golf. Aku memiliki waktu sekitar seharian untuk memanjakan diriku sendiri. Aku menarik selimut sampai menutupi wajah. Tidak biasanya AC kamar sedingin ini... Kujauhkan selimut yang terbentang dan bangkit menuju jendela. Perasaanku benar. Di luar sedang hujan gerimis mengundang. Namun, tak lama kemudian gerimis itu menjadi hujan deras. "Hmmmm... akan ada lebih banyak waktu untuk berdiam di kamar ini," Aku berusaha memejamkan mata lagi. Tok tok tok!! Aku tahu itu suara pintu kamarku yang diketuk, tapi aku terlalu malas untuk membukanya. "Kenapa Mah??" tanyaku sambil berjalan ke arah pintu dengan malas. "Makan siang sayang ... kamu tidak lapar?" tanya mama di depan pintu kamarku. Sontak saja aku kaget dengan kata-katanya. Aku membuka pintu dan langsung melihat ke arah jam. Benar saja, waktu sudah menunjukkan pukul dua lewat sepuluh menit. "Kenapa gak bangunkan Tasya dari tadi, Mah??" tanyaku sambil menggulung rambut ke atas secara asal. Aku meraih ponsel dan langsung mengeceknya. 'Astagaaaa! Tujuh panggilan tak terjawab dan dua pesan' batinku ngeri. "Semoga bukan Pak Williaaaamm... " Aku memohon. Tadaaa~~~ Tujuh panggilan itu berasal dari Pak William. Aku benci jika firasatku benar. Aku masih bingung apakah harus menghubunginya kembali atau tidak. Akhirnya, aku menekan kembali tombol redial. Ini percobaan keempat aku berusaha menghubunginya, tapi lagi-lagi tidak ada jawaban. Apa ia balas dendam padaku? Tidak, Pak William bukan orang seperti itu ... atau mungkin terjadi sesuatu dengannya? Di mana dia sekarang? Tidak mungkin 'kan, mereka masih bermain golf dengan cuaca seperti ini? "Sayang, Apa yang kau lamunkan? Apa ada sesuatu yang terjadi pada bosmu?" Mama membuyarkan seluruh lamunanku. "Entahlah, Mah! Tadi ia menghubungiku berulang kali, tapi saat aku hubungi kembali, ia bahkan tidak mengangkat teleponku..." keluhku. 'Biarkan saja,' batinku jahat, 'toh, hari ini adalah hari minggu dan bukan termasuk dalam hari kerja ku...' Namun, hatiku tidak tenang. Bisa saja ia benar-benar dalam kesulitan atau terluka seperti tempo hari. Sedikit banyak aku juga bersalah, karena sampai saat ini belum berhasil menemukan seorang asisten rumah tangga yang cocok untuk dirinya. "Kalau kau terlalu khawatir, sebaiknya cek keadaannya langsung..." Mama mengusulkan hal yang juga terlintas di pikiranku. "Tapi ... Baiklah, Mah!" Aku meninggalkan Mama dan Manda yang sedang makan siang. Aku buru-buru mandi dan bersiap. Beruntungnya hujan sudah berhenti dan langit mulai cerah. Rumah Pak William, Aku mengumpat dalam hati. Mengapa tadi aku tidak mengambil sepotong roti yang telah disiapkan mama? Argh!!! Aku terlalu terburu-buru kemudian lupa. Kebiasaan buruk dan sekarang aku merasa teramat sangat  lapar. "Hmmm ... ia harus memiliki alasan yang kuat, mengapa harus menghubungiku sampai berkali-kali." Aku meletakkan helm putihku di atas jok motor. Setelah menekan bel, namun tidak ada jawaban, aku harus memutar otak lagi. Karna pintu depan terkunci, aku beralih jalan ke pintu samping. Berharap tidak melihat pemandangan seperti saat aku pertama kali datang ke sini. "Pak... apa kau di dalam?" "..." "Saya masuk ... sebaiknya Anda tidak sedang telanjang ya..." bisikku. Kata-kata terakhir itu keluar dengan bisikan saja. Aku kemudian mendengar suara Pak William dan seorang wanita yang sudah pernah kudengar sebelumnya, itu Dokter Lyn. Mereka memperdebatkan sesuatu. Dari investigasi yang kulakukan, Pak William dan Dokter Lyn sudah enam bulan ini berpisah. Alasannya apa, tidak ada yang tahu, tapi dari apa yang kulihat mereka berpisah secara baik-baik. Aku memilih untuk duduk di sofa merah, tempat beberapa hari yang lalu Pak William menghabiskan harinya karena kakinya yang terkilir. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama. Karena ada orang lain selain Pak William di rumah ini, artinya orang itu tidak sedang dalam kesusahan. Aku bangkit dari sofa dan berjalan berjingkat ke arah pintu keluar. Namun, saat itu juga sebuah tangan menarikku hingga aku hampir jatuh. Tubuhku lebih dulu mencapai tembok, sehingga aku terdiam di sana. Tangan itu kini mendekap mulutku. "Hhhmmmmff!" Aku mencoba berontak. Tanganku yang bebas dari himpitan tembok, berusaha untuk menarik rambutnya, tapi pria itu dengan sigap menangkap pergerakanku. "Mau maling, ya? Ini masih siang bolong loh, Dek... " Orang itu mengataiku maling. "Hhhmmmfff!" aku merasa sangat marah saat ini. "Atau jangan-jangan, kamu simpanan salah satu dari mereka!" tuduhnya. Orang itu terlihat jijik dan mendorongku ke arah sofa. Pinggulku berhasil lebih dulu mencium sandaran sofa yang keras. Aku hanya bisa meringis kesakitan. "Justin!" bentak Pak William memanggil nama orang itu. Tentu saja, itu anaknya. Setengah berlari, ia menuruni tangga, disusul oleh Dokter Lyn. Aku terduduk di atas lantai. Terlihat sekali kalau Pak William tengah marah. Ia sudah berada di depan Justin dan siap mengeluarkan emosinya. Dokter Lyn langsung menghampiri dan membantuku berdiri. "Is that hurt?" tanya Dokter Lyn sambil meraba beberapa bagian di pinggulku. Aku meringis kesakitan, tapi menggelengkan kepala. "Saya baik-baik saja..." jawabku berbohong. "Justin, say sorry!" perintah Dokter Lyn. "No. Lagian, dia siapa, sih?"  Uuuggghhh! kalau bukan anak bos, pasti sudah kutonjok wajah belagunya! *** Akhirnya kesalahpahaman itu berakhir dengan perginya Dokter Lyn dan Justin. Walaupun pemuda itu tetap tidak meminta maaf padaku, paling tidak ayahnya sudah cukup mewakilkan. Ia tidak henti-hentinya meminta maaf atas kecerobohan putranya. "Dia hanya tidak terima setelah mengetahui perpisahan saya dan ibunya, sebenarnya kami belum memberitahu alasan yang sebenarnya pada Justin. Jadi wajar, kalau ia menjadi lebih curiga pada siapa saja." "Mungkin kalian hanya harus jujur padanya. Menurut saya, hal itu tidak akan bisa disembunyikan selamanya..." Aku mengutarakan pendapatku. Ia hanya mengangguk. Aku bangkit berdiri dan menundukkan badan untuk pamit pergi. "Apa yang kau lakukan?" "Saya berencana untuk pulang dan menghabiskan sisa weekend saya. Apa ada yang salah?" "Apa kau datang hanya untuk sekedar mampir?" "Pak ... saya datang ke sini karena pada pagi buta tadi, Anda sudah menghubungi ponsel saya sebanyak tujuh kali, dan saat saya mencoba untuk menghubungi Anda kembali, tidak ada jawaban. Jadi, dengan asumsi saya yang paling buruk, saya datang kemari..." jelasku sambil memberikan senyuman yang paling tulus. Pak William bersandar di tempat ia duduk dan mengusap wajahnya beberapa kali. Terlihat sekali kalau ia tertawa dan tersenyum pada saat bersamaan. "Jadi begini nona, tadi itu bukan pagi buta ... melainkan sudah pukul sembilan. Saya yang seharusnya bertemu dengan klien saya dalam acara main golf bareng, harus batal karena hujan angin." "..." "Orang itu kemudian menghubungi dan mengajak saya makan malam sambil membicarakan bisnis. Saya menghubungi Anda, untuk menanyakan apakah Anda bisa menjadi rekan saya malam ini? Karena ia bersama istrinya dan saya tidak mungkin datang sendirian..." "Okey..." "Saya sudah mencoba mengajak Dokter Lyn, tapi salah satu pasiennya akan berkunjung nanti malam, jadi saya bertanya pada An—" "Tunggu ... apa Anda punya roti, atau makanan lainnya?" "Hah??" "Maaf, tapi saya lapar sekali ... cerita Anda sangat panjang..." "Benar-benar ... apa kau belum makan siang?" Aku menggeleng sambil menerima pemberian Pak William, sepotong pizza. Kutebak, itu adalah potongan terakhir dari makan siangnya tadi. "Saya langsung kemari setelah beberapa kali gagal menghubungi Anda." "Astaga ... apa kau tidak memikirkan dirimu sendiri?" "Saya lupa." "Aish ... sudahlah, masukkan motormu ke garasi, kita makan siang di luar!" Pak William mulai memerintah. Aku sih, pasrah ke mana saja ia mengajakku, asalkan ada makanan di sana. Sepuluh Menit kemudian, Baru membuka pintu mobil saja, hidungku sudah disuguhkan wangi masakan yang menggoda. Perutku semakin keroncongan. Sekilas aku melihat jam di dashboard mobil. Pukul tiga lewat sepuluh. Pantas saja aku sangat lapar. Aku memandangi lauk yang terpajang di etalase. Bingung mulai melanda. Pak William tampaknya melihat kebingunganku dan kemudian menarik tanganku untuk mengikutinya masuk ke dalam. Aku bahkan tidak diberikan kesempatan untuk memesan. Ia memesan seolah sudah rutin datang ke tempat ini. "Pak ... saya mau kasih tau satu hal penting. Mungkin gak penting buat Bapak, tapi saya hanya meberitahu saja..." "Apa itu? Makanmu banyak?" Ia menggoda. Matanya masih fokus mengecek ponsel yang dari tadi berbunyi. Aku cemberut. Bisa-bisanya ia menebak asal seperti itu. "Saya alergi kacang. Saya orangnya tidak bisa dipaksa. Jadi tolong jangan paksa saya makan sesuatu yang aneh-aneh..." aku menjelaskan. Ia terkekeh. "Tenang ... saya akan mengingatnya." Mungkin Pak William tidak menyadari kalau sikapnya kepadaku sedikit manis. Ia lebih sering tertawa daripada sebelumnya. Namun, begitu mengingat sosok Dokter Lyn yang pernah menjadi istrinya, bayanganku langsung terhambur. 'Wanita seperti itu adalah idaman semua laki-laki. Bukan yang terlihat seperti anak-anak begini...' Aku mencari realitas. Astaga ... aku membayangkan apa? Aku dan Pak William? Apa aku terlalu berambisi dan putus asa? Sudahlah, kerja saja kau Tasya. Ada tagihan yang harus dibayar dan kuliah yang sudah menunggu! "Hei, gadis! Mau sampai kapan melamunkan sesuatu yang tidak jelas? Makanlah pesananmu. Bebas kacang..." Pak William menjelaskan. "Saya bahkan tidak memesan, Pak." Aku mengingatkan. Aku tersenyum kecut. Ia menyantap hidangannya dengan lahap. Terlihat seperti spagethi dengan potongan besar daging steak. Hidangan yang sama juga berada di atas piringku. Oke, dia kelaparan. Sebenarnya aku lebih suka jika ia mengajakku makan di warung nasi goreng atau warung pecel lele. Namun, mungkin akan bertolak dengan seleranya. "Are you okey?" tanya Pak William memastikan. Aku hanya mengangguk dan kemudian menyantap hidanganku. Seharusnya hari ini menjadi liburku. Memang baru beberapa minggu kerja, aku juga tidak terlalu lelah, aku memutuskan untuk ikut saja ke mana ia meminta. Katanya, ia akan belanja setelah ini. Oke ... aku juga akan belanja sesuatu untuk diriku sendiri. Sembari makan, terlintas dibenakku tentang ART yang harusnya kucari untuknya. "Pak, apakah bapak masih memerlukan ART untuk di rumah?" tanyaku memastikan. "Bagaimana menurutmu? Aku ingin yang bisa apa saja seperti dirimu," sahutnya. Aku agak tersanjung dengan pujian itu. Tunggu, apakah itu pujian? Aku mulai memikirkan pekerjaan apa saja yang mungkin dikerjakan seorang ART. Beres-beres rumah sudah biasa kukerjakan, mecuci baju selalu ke loundry, masak aku juga yang biasa melakukan untuknya, kecuali jika ia ingin makanan yang spesial, ia akan memesannya sendiri melalui delivery, mempersiapkan kebutuhannya juga aku yang melakukan... Kenapa rasanya tugasku lebih seperti ART daripada sekertaris pribadi, ya? "Pak, Saya rasa saya sudah mengcover hampir semua keperluan bapak. Untuk menghemat, lebih baik saya saja yang merangkap jadi ART. Kalau bapak setuju, sih..." "Artinya, kamu akan ada di rumah saya sepanjang waktu?" tanyanya memastikan. Aku tidak memikirkan hal itu. Apa harus begitu?? Apa aku terlalu berlebihan? "Itu ..." "Sudahlah. Nanti saja kita bicarakan. Kau bahkan belum menyelesaikan makan siangmu. Makanlah, kita masih banyak urusan," lagi-lagi Pak William memerintah. Aku hanya harus menurutinya saja. Selama makan, kami lebih banyak diam. Aku juga tidak terlalu ingin menceritakan masalahku pada orang asing. Bagaimanapun, Pak William orang asing, aku mengenalnya baru beberapa minggu belakangan. "Pak..." "Hmmm?" "Anda makan seperti anak-anak, Pak!" "Komentarmu seperti Dokter Lyn." Aku diam. Entah perasaanku saja, atau orang ini masih memuja Dokter Lyn? Saat ingin pergi dinner pun, orang pertama yang diajaknya adalah Dokter Lyn. Oke, dia mantan istrinya. Memangnya siapa orang terdekatnya selain sang mantan istri? Selain itu, hal yang mereka perdebatkan saat aku tiba di rumah Pak William juga, masalah pribadi yang tidak ingin kudengar. Pak William meminta agar Dokter Lyn tidak pindah ke Australia, kampung halaman mantannya. Ia masih memerlukan wanita itu. Entahlah ... pikiranku ruwet dengan kenyataan. Aku berusaha mengabaikan perasaan-perasaan yang menjalar di tenggorokanku. Dengan satu gerakan cepat aku lap saos spagethi yang ada di dagunya. 'Damn!! Menyakiti diri sendiri itu, menyedihkan... Bersambung,
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD