Mulai Terbiasa

1743 Words
Aku memutar-mutar ponselku. Sesekali melihat ke arah Pak William. Sepertinya ia masih syok karena terjatuh. "Jadi, apa kamu menginginkan pekerjaan ini? Kalau kamu mau pergi silakan. Saya bukannya sengaja terjatuh dari tangga agar kamu mau bekerja di sini..." jelas orang itu sambil membenarkan posisi kakinya yang terkilir. "Saya datang karna ancaman dari Bapak..." jawabku to the point. Aku melihatnya mengerutkan kening. "Bagaimana saya mengancammu? Apa kita bertemu lagi setelah masalah di kantor kemarin?" tanyanya pasti. Aku membuka pesan yang kuterima tadi pagi dan menyodorkan ponselku padanya. "Haha haha haha .... Sorry sorry ... saya pikir itu nomornya Justin! I swear to God ini murni kesalahpahaman saja. Soalnya saya telepon beberapa kali, tidak ada jawaban," jelasnya sambil masih sedikit tertawa. "Dan Justin adalah..." tanyaku memastikan. "Dia anak saya. Dia ingin pindah kuliah ke Australia bersama pacarnya. Namun ia malah bertingkah. Ia tidak ingin pulang karena mengetahui kalau ..." ceritanya terhenti, "maaf, saya terlalu banyak bicara." Hening. Aku jadi salah tingkah karna ia kemudian menatapku tajam. "Me-Mengapa sepi sekali di sini?" tanyaku gugup. Aku tau dia tidak akan menerkamku karna kakinya cidera. Tapi tetap saja, ini adalah rumahnya. Seakan-akan ia mengepungku. "Berdasarkan kesalahpahaman ini, apa kamu ingin pekerjaan yang saya tawarkan tadi?" "Tidak. Maaf..." "Sorry?" Ia seperti tidak percaya, "Bukannya kemarin kamu sangat memerlukan pekerjaan?" "Saya tidak berbakat mengurus rumah tangga," jelasku asal. Sebenarnya bukan itu permasalahannya, tapi aku terlalu malu untuk menerima tawaran ini. "Bagaimana kalau menjadi sekretaris pribadi?" tanyanya lagi, "Kamu hanya bertugas mengurus saya selama di rumah. Sebelum saya akan pergi kerja dan saat saya pulang kerja. Itu saja. Kamu boleh hire seorang ART, karna yang sebelumnya baru saya pecat..." jelasnya simple. "Tapi saya tidak berencana untuk bekerja selamanya, seharusnya saya masih kuliah dan saya mencari kerja untuk mempertahankannya..." jelasku. Aku tau ia menatapku dengan seksama. Mungkin mencoba mengerti permasalahanku. "Saya akan membayar dua juta setiap minggunya ... bonus, jika kamu bekerja di luar jam kerja dan jika kinerjamu memuaskan. Bagaimana?" tanyanya menawarkan sesuatu yang menggiurkan. Aku cukup tergoda. Itu artinya delapan juta perbulan. Paling tidak, dalam tiga bulan aku sudah bisa membayar biaya kuliahku dan adikku. Aku juga bisa menabung. Aku tau mama pasti tidak akan setuju. Namun, aku akan mencari cara agar semua berjalan lancar. Aku mengangguk seakan lupa rasa malu dan penolakan yang kulontarkan tadi. "Saya menerima tawaran Bapak..." ungkapku. Uang mengalahkan segalanya. Yeah, begitulah. Mau bilang apalagi. Uang juga sudah mengalahkanku dan keluargaku sebelumnya. "Baiklah, mungkin kita harus berkenalan dengan baik. Saya William Salim," ia mengulurkan tangan padaku. Aku menyambut uluran tangannya. "Nama saya Anastasya Erie. Panggil saya Tasya. Semoga saya bisa bekerja dengan baik..." jawabku sambil kemudian menundukkan badan. "Apa kamu berencana pergi ke tempat lain? Karna sepertinya, saya memerlukan Anda di sini. Saya akan memberikan bonus karna nyatanya ini bukan jam kerja Anda..." "Saya ... seharusnya menitipkan kue-kue itu ke toko langganan mama saya..." jelasku sambil menunjuk box kue yang kususun rapi di atas meja makan. "Bagaimana kalau saya beli semuanya? Kebetuan saya belum makan apa-apa sejak tadi pagi. Itu cake cokelat, kan? Aromanya menarik sekali..." Aku hanya bisa mengangguk dan kemudian mengambil kotak-kotak kue milik mamaku. Aku meminta ijin untuk masuk ke dapurnya dan mengambil piring dan garpu. Lima menit kemudian aku sudah duduk di hadapannya, memegang piring berisikan kue cokelat buatan mama. Aku tau ia masih bisa makan sendiri. Jadi aku hanya meletakkan piring kue itu di atas meja. Basa-basi aku menanyakan apa yang dilakukannya sebelum aku tiba tadi. "Barky, anjing milik Dokter Lyn, selalu menggonggong jika saya membuka pintu itu..." Ia menunjuk pintu tempat aku masuk tadi, "Selalu menatap ke arah kipas angin gantung antik itu. Jadi Saya memeriksanya. Ternyata ada sebuah sarang burung kecil disana," "Apa sarang itu tidak terjatuh saat kipasnya dinyalakan?" "Tidak, kipas itu hanya digunakan sebagai hiasan. Tidak pernah dihidupkan..." Aku berusaha menahan tawa. Ia meletakkan piring kue ketiganya. Potongan yang kubuat memang besar-besar. Rupanya orang ini betul-betul lapar. Aku kemudian menawarkan untuk membuat makan siang. Walaupun sudah agak kesorean, aku berusaha sopan sebagai Sekertaris barunya. "Saya sudah kenyang. Mungkin nanti saja untuk makan malam ... tapi, Saya biasa makan malam sekitar jam delapan, sih..." Ia menjelaskan. "Oke... " Aku melihat jam di tangan. Masih pukul tiga dan Aku mulai kelaparan juga. "Hmmm ... apa saya boleh pulang? Jam tujuh nanti, saya akan datang lagi..." jelasku sambil merapikan kotak kue yang telah kosong. "Sebenarnya kamu tidak perlu kembali malam ini. Saya bisa memesan makanan melalui food delivery langsung dari restoran. Mulai besok saja kamu datang. Saya akan membuat kontraknya sekalian malam ini," jelas Pak William. "Baiklah! Apa Bapak ingin saya bantu ke kamar atau ke ruangan lain ... mungkin?" tanyaku sendiri agak ragu. Baru hari pertama dan aku sudah menawarkan diri masuk ke kamarnya. Aku memalingkan wajah. Rasanya panas. "Pulanglah ... kaki saya hanya terkilir bukannya patah. Kalau terjadi sesuatu, apa saya bisa menghubungimu?" tanyanya lagi. Seharusnya ia tidak perlu bertanya, ia adalah bos ku sekarang dan sesuai keinginannya, saat ia di rumah, aku harus melayaninya. Aku mengangguk. Kubawa kotak-kotak kosong itu dan masuk ke garasi untuk mengeluarkan motorku. Saat itulah aku menyadari kalau kontak motorku tidak kumatikan. "Siaaall..." aku hanya mengumpat pelan, takut ia mendengarnya. Aku menduga kalau motor itu kini tidak akan mau menyala. Dan benar saja, setelah hampir lima belas menit mencoba, aku menyerah. Dengan kaki lemas dan berkeringat, aku masuk kembali ke dapur. Mencari air dan langsung melepas jaket kulit yang kukenakan. Sebotol air kuhabiskan hanya sekejap saja. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Pak William yang sudah berada di pintu dapur. Ia kemudian duduk di bangku yang paling dekat dengannya. Aku hanya melambaikan tangan sambil meneguk air mineral kedua yang kuambil dari atas meja. "Saya ... lupa mematikan ... kontak motor saya. Jadi sepertinya aki motor saya ... drop. Sebentar, Pak..." Aku menyelesaikan minum. "Bagaimana kalau kamu tunggu di sini, saya akan memanggil seseorang," Ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana dan menghubungi orang yang ia maksud. Aku hanya menunggu dan tidak bisa lagi berpikir, apa yang harus kulakukan. Kakiku juga sudah terlalu lelah untuk mendorong motor ke bengkel terdekat. "Apa kamu ingin segera pulang, atau ingin menunggu sampai motormu selesai diperbaiki?" Pak William menanyakan pendapatku. "Kalau bisa, saya mau segera pulang, Pak! Saya lelah,"  Di Rumahku, Mama sudah menunggu di dapur. Begitu juga dengan adikku yang sedang memainkan ponselnya. "Motormu mana, Sya? Tadi Tante Risty telepon, katanya belum ada yang mengantarkan kue ke tokonya. Kamu baik-baik saja kan?" Mama menyelidik. Sekilas Manda melirik ke arah kami, tapi kemudian kembali memainkan ponselnya. Aku mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu dan memberikannya kepada Mama. Aku tahu tidak ada gunanya berbohong kepada Mama. Aku menceritakan keseluruhan cerita yang terjadi dari tadi siang hingga sekarang. "Jadi, sekarang kamu sudah bekerja dengan orang itu, siapa? William Salim?" "Iya, Mah. Dia Direktur PT. Prima Nusa. Orangnya cukup baik. Tasya harap, Tasya bisa bertahan bekerja dengannya karena ia menawarkan gaji yang lumayan besar. Mungkin hanya sampai semester ini habis, Tasya akan kembali lagi meneruskan kuliah..." "Apa kamu terpaksa bekerja, Sya?" tanya Mama masih tidak yakin. "Enggak lah, Mah. Tasya 'kan, punya keperluan juga. Mau sampai kapan Tasya minta sama Mama? Kalau dihitung-hitung, Tasya sekalian belajar supaya bisa bekerja nanti setelah lulus kuliah..." jelasku kepada Mama, mencoba meyakinkannya. "Baiklah kalau begitu ... ini semua keputusanmu. Tapi kalau ada masalah, kamu bisa cerita pada Mama. Kita akan pikirkan jalan keluarnya bersama..." Aku bersyukur Mama mau menerima keputusanku. Walaupun agak berat hati dengan jenis pekerjaan yang kumiliki, aku berusaha meyakinkan diriku sendiri kalau aku akan baik-baik saja. Akupun berharap pekerjaan ini akan baik-baik saja. Di Kamar, Aku menyalakan laptop. Mencoba mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang PT. Prima Nusa dan William Salim. Paling tidak, aku tidak ingin benar-benar buta tentang siapa bosku. Hampir dua jam menatap layar laptop dan aku hanya mendapat beberapa informasi penting tentang dirinya. Ia lebih tertutup dari yang kuduga. Aku hanya menemukan tentang berita pernikahan dirinya dengan Dokter Lyn, tentang kepemilikan perusahaan PT. Prima Nusa dan beberapa aset lainnya. Itu saja. Tentang PT. Prima Nusa sendiri, informasi yang kudapat cukup banyak. Tapi aku bekerja dengan Pak William bukan dengan perusahaannya. Aku menyerah. Biarkan saja berjalan seperti apa adanya... Sepekan Kemudian, Pak William sudah sehat. Aku juga sudah mulai bekerja dengan jam kerja yang kami tentukan sebelumnya. Hari ini hari sabtu. Jam kerjaku hanya setengah saja daripada biasanya. Kalau biasanya aku harus datang pagi sebelum ia berangkat kerja dan sore hari saat ia pulang kerja, hingga pukul sembilan malam, hari ini aku hanya bekerja mulai jam enam hingga jam sembilan pagi. Setelah itu aku bebas pulang dan menghabiskan weekendku. "Apakah Bapak masih ingin meminum obat anti nyeri itu?" tanyaku memastikan keadaan kakinya. "Saya rasa tidak perlu, kaki saya sudah jauh lebih baik..." Ia menjelaskan. Aku menyiapkan sarapannya. Aku masih sempat membereskan rumah, nyatanya aku masih belum bisa mencarikan seorang  asisten rumah tangga yang cocok untuk dirinya. Sejauh ini aku sudah terbiasa. Aku sudah bolak-balik masuk ke kamarnya, bahkan seluruh ruangan di rumah ini sudah pernah kukunjungi. "Besok saya akan main golf dengan klien baru dari Jepang. Tolong kamu siapkan baju saya." Pak William meminta. Aku mengangguk lalu meninggalkan dirinya yang sedang sarapan di dapur dan menuju kamarnya. Aku mulai mencari baju yang ia maksud. Aku mendapati beberapa pakaian yang terhambur di dalam lemari. Agak geram, aku mengangkat tumpukan itu dan meletakkannya di atas tempat tidur. Beberapa hari yang lalu, aku baru saja merapikan seluruh isi lemari Pak William. Aku paham mengapa lemarinya berantakan, karena ia sangat sibuk dan tidak sempat mengurus hal kecil seperti ini. Namun, bolak-balik merapikan hal yang sama membuatku agak jengkel. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. 'Tenang Tasya, kamu memang bukan pembantu, tapi melayaninya merupakan salah satu bagian dari tugasmu juga...' Aku menghibur diri. Aku melirik tempat tidur Pak William yang sangat besar. Aku menebak, pasti ia lebih sering tidur di sisi kanan karena aku melihat beberapa buku tertumpuk di atas nakas dan salah satunya masih terbuka. Kucoba merebahkan tubuh di atas tempat tidur yang tadi pagi kurapikan. 'Nyaman...' gumamku dalam hati. Aku menggeliat sedikit. "Eehhem!" Pak William berdeham tepat di depan pintu kamarnya. Aku yang kaget sontak bangkit dari sana dan merapikan bajuku kembali. Aku merasa kalau pipiku telah memerah. "Kira-kira, apa yang baru saja kamu lakukan di atas sana?" "Maaf, Pak!! Tidak ada yang saya lakukan. Saya hanya ... saya minta maaf!"  Aku yang bingung mau menjelaskannya bagaimana, langsung meninggalkan ruangan itu menjauhi dirinya. 'Ya Tuhan, aku malu sekali!' batinku. Tapi, Kenapa juga Aku harus lari? Aku masuk ke kamar mandi dan menguncinya. Kubasahi wajah dan mengatur nafas. Gila! Aku membuat bosku berfikiran macam-macam.  Aaarrgghhhhh!! Bersambung,
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD