Bab 3: Dua Pribadi

1540 Words
Adi menatap ke arah tantenya dengan ragu, bahkan ia sampai sedikit menjauh di saat tantenya itu ingin menyentuh dirinya, semua ini seperti bukan ia yang mengendalikan, melainkan ada keingan lain untuk membenci keluarganya seperti yang berada di dalam mimpinya tadi. "Adi , kenapa?" Tanya sang tante dengan pelan. Adi langsung terkesiap, di mimpinya tadi, Adi sangat membenci wanita yang kini sedang membawa semangkuk bubur ayam itu, bahkan melihat wajahnya saja, Adi sudah merasa sangat marah, padahal di kehidupan nyatanya, wanita ini adalah pengganti sesosok ibu baginya, wanita yang rela pulang balik untuk merawat dirinya. "Adi , kenapa bisa sampai luka seperti ini? Kamu berkelahi dengan siapa?" Adi kembali tertegun heran, sejak ia mengalami mimpi aneh itu maka sejak saat itu pula tubuh mulusnya berubah menjadi penuh bekas luka. "Emm.. Anu Tante, kemarin Adi kena begal." Wanita itu tampak terkejut. "Astaga, Adi . Untung bukan nyawa kamu yang melayang, lain kali jangan pergi sendiri-sendiri yah." Adi mengangguk pelan. Tidak mungkin ia menceritakan semua kejadian demi kejadian yang dialaminya, bisa-bisa tantenya ini syok. "Ini bubur, makan yah, selagi hangat." "Makasih, Tante." Suasana kamar kembali hening, Adi yang sedang memakan bubur ayam itu mulai mencerna semua yang terjadi, peristiwa demi peristiwa itu muncul setelah ia tertidur, dan layaknya sebuah mimpi, ia akan melihat sosok dirinya yang berbeda, dan ketika ia bangun, akan ada bekas yang tertinggal seperti luka maupun lebam yang nyata. Setelah selesai memakan habis bubur ayam itu, Adi merasakan kantuk luar biasa, ia beberapa kali menguap bahkan hampir terpejam, namun dengan sekuat tenaga ia menjaga matanya untuk tidak tertidur. Adi tidak mau lagi berada di dunia yang kejam, dunia yang membuat ia dapat merasakan secara nyata lukanya. Dan dunia yang sama sekali tidak ingin ia kunjungi. Sampai dini hari pun, Adi belum juga ingin memejamkan matanya, ia masih terjaga meski fajar sebentar lagi menyongsong pagi. Adi merasa ketakutan dan sangat tertelan, tubuhnya bergetar hebat, detak jantungnya berdebar secara tidak normal, ketakutan ini membuat ia ingin mati saat itu juga. Suara alarm terdengar nyaring, mengisi seluruh ruangan kedap suara ini, Adi menatap miris ke arah jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 7 pagi, dan dirinya sama sekali belum terlelap dalam tidur sedikitpun. "Adi, kamu udah bangun?" Adi hanya menatap dalam diam tantenya, semoga beliau tidak curiga. Dengan tubuh sempoyongan, Adi beringsut turun dari ranjang menuju kamar mandi, sudah cukup terlambat sebenarnya untuk bersiap menuju sekolah, dan harusdengan extra cepat. Tanpa sarapan, Adi berlari menuju sepeda motornya yang berada di garasi rumah, ia bahkan tidak menoleh saat tantenya memanggil untuk sarapan terlebih dahulu, image murid teladan telah tersemat intinya, dan jangan sampai gara-gara permasalahan ini, ia tercoret dari gelarnya. Kenyataan bahwa sekolah yayasan yang menjadi tempatnya belajar adalah milik kakeknya sendiri, tidak membuat Adi serta merta merasa bahwa ia berkuasa di sana. Malah ia akan merasa malu bila melakukan kesalahan sekecil apa pun. Waktu tempuh Adi ke sekolah hanya 15 menit, yang semestinya menempuh hingga setengah jam jika tidak macet, Adi sendiri sepanjang jalan sudah membacakan doa apa saja yang ia hapal. Ketika sampai di gerbang sekolah, bel baru saja berbunyi, membuat Adi menghela nafas lega, setidaknya ia tidak terlalu terlambat, ia memarkirkan motornya dan melangkah pergi menuju kelasnya tepat di ujung lorong. Sepanjang perjalanan, Adi mencoba tetap fokus disaat matanya sudah berkunang-kunang, dan ia merasakan pijakan kakinya semakin amblas, ia bahkan harus memegang tiang sekolah untuk menyanggah tubuhnya. Hampir saja tubuhnya terjatuh, sebelum sebuah tangan menahan lengannya. "Adi , are you oke? " Adi dengan spontan melepaskan tangan seseorang itu dari lengannya, orang yang entah mengapa didalam mimpinya, sangat ia benci dan ia hindari. Pamungkas, kakeknya sendiri, orang yang memegang lengannya adalah pamungkas, yang merupakan sang pemilik yayasan tempatnya berpijak saat ini. Binar terkejut tidak bisa ditutupi oleh pamungkas, ketika melihat respon dari cucunya ini, dan bertambah terkejut pula ia ketika melihat luka lebam di seluruh wajah Adi . Sejak kapan cucunya pandai dalam bertarung? Apa cucunya baru saja di serang dan di keroyok? "Adi, ada apa dengan wajahmu?" "Tidak papa, luka sedikit." "No! Ini bukan luka yang sedikit, kamu habis berkelahi? Dengan siapa?" Adi menggeleng lalu mengangguk, ia memang berkelahi, tapi di dalam mimpi, dan ia pun tidak tahu mengapa bisa luka ini menjadi nyata. "Yang benar yang mana?" "Adi berkelahi, karena hampir dibegal." "What?? Begal? Di mana kamu dibegal? Kasih tau kakek." Adi hanya bisa merutuk di dalam hati, ia seakan terlupa, bahwa sang kakek adalah pria tua yang sangat posesif. "I'm fine, don't worry, Kek," ucap Adi menenangkan. "Oke, kalau kamu baik-baik saja, terus kenapa kamu terlambat dan hampir pingsan tadi?" Aish! Kenapa kakeknya ini sangat cerewet sekali, membuat ia ingat akan kekonyolannya tadi malam, yang enggan tidur karena takut akan mendapatkan mimpi yang serupa lagi. "Kesiangan." "Kamu tidak sarapan? Sehingga kamu mau pingsan, iya?" Adi mengangguk, berharap wawancara sang kakek selesai sampai di sini. "Tante kamu ke mana? Kena-...." Ucapan penuh tanya itu seketika berhenti ketika Adi memotongnya. "Sttth... Kakek kenapa jadi banyak tanya seperti wartawan? Adi terlambat karena bangun kesiangan, dan tadi Adi bukan mau pingsan, hanya kesandung." Sang kakek tampak mengernyit tanda tidak percaya, bahkan beliau memicingkan mata guna mencari kebohongan Adi . "Oke, kakek percaya, sudah sana belajar kamu." Adi mendecak sebal, yang menahannya tadi siapa? Dan yang memarahinya juga siapa, dasar kakeknya itu. Namun di pertengahan jalan ia seolah tersadar, mengapa di dalam mimpinya itu ia terlihat sangat membenci sang kakek? Apa kesalahan kakeknya tersebut? Adi menggeleng, itu hanya bunga tidur yang aneh baginya, dan tidak perlu ia ketahui. Sampai di kelas, semua pasang mata menatapnya dengan terkejut, bahkan Adi sampai tersentak ketika mendengar teriakan dari ketua kelasnya. "Adi, lu udah sekolah?" Adi terdiam sejenak. "Udah." Jawabnya singkat yang jujur saja ia sendiri bingung harus menjelaskan bagaimana tentang peristiwa yang ia alami. "Tapi, luka Lo?" Akh, Adi mengerti mengapa semua temannya terkejut tadi, luka yang ia dapatkan sebenarnya cukup serius, tapi sudah ia katakan bahwa luka itu hanya menciptakan rasa perih yang sebentar, selebihnya ia tidak merasakan apa pun itu. "Bukan luka besar, kok." Lalu Adi memilih duduk di pojok kelas, tubuhnya terasa semakin lemas, namun ia paksa untuk tetap kuat, jangan sampai ia menutup mata dan kembali ke dunia itu. Intinya mata dia tidak boleh terpejam. Adi menatap sekeliling kelas dengan cermat, ia seperti sedang diamati oleh seseorang, tapi setelah ia melihat kesana kemari, sama sekali tidak ada orang yang menatapnya, meski tanpa ia sadari, ada sepasang mata yang menatapnya dengan sinis dari ujung kelas, Aghata, sepupunya. Anak dari Tante Meira yang merawatnya tadi. Bel istirahat telah berbunyi, Adi yang memang tidak memiliki teman akrab memutuskan untuk ke bawah pohon tempatnya menghabiskan waktu, begitu sampai di bawah pohon entah mengapa Aji merasa sangat mengantuk seolah pohon yang ia singgahi ini memiliki sihir membuat orang tidur, ternyata selain matematika duduk di bawah pohon juga bisa membuat ngantuk. “Adi, Bangun! Kamu harus makan!” Adi mengerjapkan matanya sejenak, lalu melihat tantenya yang sudah membawa bubur, tunggu sebntar, bubur? Matanya langsung melihat kesekelilinya yang ternyata sedang berada di sebuah ruangan rumah sakit. Ia masuk kembali ke dalam mimpi itu dan terus berlanjut sampai sekarang, tidak mungkin ini hanya sebuah mimpi, pasti ada maksud lain, pikirnya. Dan satu hal yang baru ia sadari, badannya terasa sangat sakit sekali sekarang, padahal tadinya biasa saja. Dan ia merasakan perubahan yang sangat signifikan, salah satunya dari pembawaan emosional yang lebih tidak terkontrol, bahkan sekarang ia menyadari jika sudah menatap tantenya dengan tajam dan menusuk. “Mau ngapain anda ke sini?” Wanita yang masih terlihat mud aitu terlihat gugup lalu dapat menguasai dirinya beberapa detik kemudian. “Tante mau merawat keponakan tante,” sahutnya dengan wajah yang dibuat setenang mungkin. Adi berdecih pelan, matanya tetap mengawasi pergerakan wanita itu dengan penuh permusuhan, seolah tantenya adalah hama yang paling ia benci. “Pergi dari sini, sebelum gue bunuh lo.” “Adi, kamu gak boleh begitu sama tante.” “Lu pikir gue peduli? Enggak!” Melihat tak ada pergerakkan dari tantenya, Adi dengan sengaja melemparkan pisau yang ada di keranjang buah dengan cepat kea rah sang tante sampai membuat wanita itu berteriak ketakutan. Beruntung pisau itu hanya menggores sedikit ujung telinganya dan menghantam dinding, tidak tau bagaimana jadinya jika pisau itu meleset sedikit mungkin sudah menancap dengan indah di mata kirinya. Melihat raut wajah tantenya yang ketakutan, entah kenapa Adi malah merasa ada kesenangan tersendiri baginya, seolah-olah tengan melihat pertunjukan sirkus dengan segala kejadian yang memang benar-benar terjadi. Menyadari jika keponakannya tidak main-main, Meira berjalan dengan cepat meninggalkan ruang inap Adi keponakannya yang sudah gila dan psikopat. Dengan wajah puas, Adi bangkit dari tidurnya, meraih kunci motor, dompet dan juga ponselnya berjalan keluar meninggalkan ruang inap, namun belum sampai membuka pintu ia harus mendnegar sebuah percakapan yang membuat dirinya berdecih jijik. “Para sampah dan penjilat,” ujarnya pelan. Lalu membuka pintu yang membuat orang-orang yang tadinya sibuk berbicara langsung terdiam dan menatapnya dengan gugup. Mata Adi melirik seorang lelaki tua yang menatapnya dengan berani, sangat berbeda dengan paman dan tantenya yang memilih membuang muka. “Sudah bisa apa kamu sampai mau membunuh tantemu sendiri?”Tanya tetua keuarga Pamungkas itu dengan sarkasnya. Adi melirik sejenak lalu melangkah kembali tanpa memperdulikan ucapan sang kakek yang sudah berteriak marah, dengan masih mengenak pakaian pasiennya, lalu berbalik menghadap sang kakek dan memberikan jari tengahnya. “Tua bangka gak tau diri.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD