Dunia Mimpi

1319 Words
Semua tanda tanya besar itu bersarang di kepala Aji, sekarang ia mendapatkan luka baru lagi. Dengan tertatih ia berjalan menuju kelas yang mungkin sudah diisi oleh guru yang mengawas, ia kembali mengingat dengan jelas kejadian yang di alaminya ketika sedang tidur tadi, sebenarnya ada apa dengan dirinya, dia seolah merasa tengah berada di dua dunia yang berbeda, dan jujur ia lebih menyukai dunianya sebagai Aji yang pendiam dan juga kutu buku, bukan seperti di alam mimpi, yang berperan sebagai Aji yang sadis dan juga kasar. Tok... Tok... Tok Sangat berbeda bukan, dengan Aji yang di alam mimpi? Jika Aji yang di alam mimpi langsung masuk tanpa salam dan ketuk pintu, namun disini Aji yang akan dengan sopan meminta ijin masuk. Aji tidak ambil pusing, mimpi hanyalah bunga tidur, dan hanya sebuah khayalan semata. Aji terlihat gugup ketika masuk langsung berhadapan dengan guru senior yang memandangnya dengan garang. "Dari mana saja kamu?" "Saya ketiduran, Bu, maaf," jawab Aji dengan nada lirih, namun sang guru malah memekik pelan melihat darah dan luka sekujur tubuhnya. "Aji, kamu ini kenapa? Kok bisa berdarah begini?" "Em... Saya juga tidak tahu, Bu. Ketika saya bangun tidur, luka ini sudah ada." Guru itu tampak mengernyit pelan, ia merasa sangat aneh dengan muridnya ini, bagaimana bisa, luka sebanyak itu tapi ia sama sekali tidak mengetahui nya? "Sana ke UKS. Obati luka kamu." Aji hanya mengangguk pelan, seluruh pasang mata melihatnya dengan ngeri sepanjang ia berjalan, beberapa orang memekik dengan pelan, beberapa kali pula Aji meringis pelan, namun anehnya luka ini cukup banyak, tapi kenapa ia hanya merasa perih saja. Jika melihat darah yang mengalir, sudah pasti luka robek di punggungnya sangat besar, kan? "Aji, kamu kenapa? Kok darah semua?" Aji menggeleng pelan, menceritakan semua kejadian juga tidak akan percaya padanya, yang masih ia pikirkan adalah, mengapa luka di dunia mimpi bisa menjadi luka di dunia nyata juga? Padahal dua dunia itu berbeda. Dengan pelan petugas UKS membersihkan lukanya, bahkan dokter yang berjaga pun ikut menjahit luka robek dipunggung nya. Berulang kali pertanyaan yang sama menyapanya, mengapa semua ini bisa terjadi? Dan jawab Aji hanya diam. Ia bingung bagaimana menjelaskannya. "Luka kamu sudah ibu jahit, semoga cepat kering, ibu maisih heran, Aji. Bagaimana kamu bisa mendapat luka seperti ini?" "Aji, tidak bisa menceritakannya, Bu. Kalau begitu Aji pamit, permisi." Seluruh anggota UKS menatap aji dengan penuh tanda tanya. Siswa yang terkenal pendiam dan sering menyendiri tidak mungkin terlibat cekcok dengan orang lain, apalagi sampai menimbulkan luka yang sebesar itu. Tanpa mereka sadari, Aji mendapatkan luka itu karena kepribadian yang berada di dalam mimpinya yang sangat bertolak belakang dari Aji yang mereka kenal. Aji memutuskan untuk pulang ke rumah, karena tidak mungkin ia tetap melanjutkan pembelajaran dengan tubuh yang penuh darah seperti ini, yang ada teman-temannya malah tidak fokus, dengan mengendarai sepeda motor, dirinya mulai meninggalkan perkarangan sekolah, meski ia mendapatkan luka yang cukup lebar di bagian punggung, namun ia tidak mendapati rasa sakit yang sangat sakit, justru ia hanya merasakan perih saja. 35 menit kemudian, ia sampai disebuah rumah yang didalamnya hanya ada dirinya sendiri, rumah besar peninggalan orang tuanya, Aji naik ke lantai atas tempat kamarnya berada, dengan menggunakan cermin, Aji mulai melihat luka melintang di punggungnya dengan tatapan ngeri, bagaimana bisa luka ini ia dapatkan di dalam mimpi, tapi kenapa bisa menjadi nyata, hanya itu yang terus berada di fikirannya. Sampai ia memutuskan untuk berbaring dan dengan perlahan-lahan, kedua matanya tertutup dengan sempurna. Aji membuka matanya ketika merasakan sakit teramat sakit pada tubuhnya, ia melihat sekeliling, dirinya tengah berada di tengah jalan dengan sekelompok orang yang memukulinya tanpa ampun, lalu suara sirine polisi membuat kelompok itu lari kalang kabut, meninggalkan ia yang sudah setengah sadar. Lagi? Aji berada di mimpi ini lagi. Aji melihat ada banyak orang yang mengerubunginya sebelum tubuhnya terasa sangat lemas dan semua menjadi gelap. Hingga beberapa saat kemudian, mata itu mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retinanya, ia menatap sekeliling yang serba putih dengan bau khas obat yang membuat ia mengerti sedang berada di mana sekarang. "Sudah lebih baik?" Aji menatap seseorang yang berbicara, tepat di samping sebelah kanannya. "Baik, Kek. " Orang yang dipanggil kakek itu tampak tersenyum samar. Ia mengelus lembut rambut sang cucu, merasa sangat bersyukur bahwa Aji dalam keadaan baik-baik saja. Aji sendiri hanya diam mendapat perhatian seperti itu dari pria tua yang ia panggil kakek. Pemimpin keluarga Widyo itu tidak heran melihat respon sang cucu yang tampak acuh, karena Aji akan selalu bersifat seperti ini terhadap semua orang, tak terkecuali keluarganya sendiri, bukan tanpa sebab Aji bersifat seperti ini, ada alasan di balik semua itu. "Setelah ini, pulang ke rumah?" Aji langsung menoleh ke arah kakeknya, ia tidak akan pernah kembali ke rumah itu, rumah yang membuat ia merasa seperti di neraka, rumah yang penuh dengan penjilat, dan juga serigala berbulu domba. Aji menggeleng cepat, menolak ajakan kakeknya, ia lebih nyaman untuk tinggal sendiri di rumah peninggalan orang tuanya. "Gak!" Serunya dingin lengkap dengan tatapan tajam langganannya, membuat sang kakek beringsut menjauh sambil mengangkat kedua tangannya, ia tampak terkekeh pelan sebelum kembali mendekat. "Apa enaknya tinggal sendiri?" Pertanyaan yang mampu membuat ketenangan jiwa Aji langsung terganggu. Ia tersenyum sinis dengan mengepalkan kedua tangannya erat, menahan emosi. "Enak, apalagi tidak ada penjilat seperti kalian." Ucapan menusuk itu keluar dengan spontan dari mulut Aji, bahkan urat-urat di lehernya tampak menonjol. Pamungkas langsung menghela nafas, fakta bahwa sang cucu sama sekali tidak ingin masuk kedalam keluarga besarnya sangat menyakitkan untuknya, ia sudah berusaha membuat Aji bisa menerima kondisi keluarga besar yang pastinya memiliki pola fikir yang berbeda. "Tidak baik membenci keluarga sendiri, Aji." Aji semakin berang, ia menghempaskan tangan Pamungkas yang berada di kepalanya. "Keluarga? Sejak kapan?" tanya Aji dengan nada yang merendahkan. "Sejak kapan? Setahu saya, setelah kematian ayah dan ibu, sama sekali tidak ada keluarga bagi saya." "Aji, berhenti membenci keluargamu," sahut sebuah suara wanita paruh baya yang menatap ia dengan pandangan menusuk. "Berhenti membenci keluargamu sendiri, kamu masih kecil tidak akan tahu-menahu masalah orang dewasa?" "Oh, ya? Masih kecil, Hem?" Aji terkekeh pelan, ia memandang wanita yang ia panggil sebagai tante itu dengan seringainya. " Tapi yang Tante anggap anak kecil ini mampu berfikir logis." Dua orang yang berada di ruangan itu hanya bisa terdiam, membuat Aji berdecih tidak suka. "Akh, saya sangat mengantuk, orang sakit butuh istirahat, kan?" ucapan penuh pengusiran di dalamnya membuat kakek dan Tante Aji meninggalkan ia sendiri di dalam sebuah ruangan yang sering ia masukin ini. Matanya terpejam, hingga sebuah cahaya membuatnya membuka mata langsung. "Aji, udah bangun?" Itu, itu seperti suara tantenya, Aji langsung menoleh ke arah tantenya yang sedang tersenyum lembut. "Maaf, Tante ganggu kamu." Aji masih terdiam, dirinya masih merasa gamang dengan semua ini, mengapa setiap ia memejamkan mata, ia akan mengalami peristiwa aneh yang membuatnya resah. Mimpi itu seolah menyimpan sesuatu, tapi ia belum menemukan petunjuk apapun, dan yang membuatnya heran adalah, mengapa dirinya sangat membenci kakek dan keluarga besarnya, walaupun Aji sendiri memilih menjauh dari keluarganya, tetapi ia sama sekali tidak menyimpan rasa benci sebesar sosok nya yang berada di dalam mimpi. Apa mungkin sebuah mimpi bisa berlanjut bahkan sampai tidur kesekian kalinya? Sangat tidak mungkin jika dipikirkan secara logis, apalagi mengingat renta waktu Aji tidur dengan tidur sebelumnya hanya berbeda beberapa waktu saja, tidak terlalu lama. Tapi mimpi itu selama melanjutkan jalan ceritanya tanpa bisa Aji perintah. Dan mengapa penggambar sosok dirinya di dalam mimpi menjadi Aji yang tidak memiliki perasaan dan sangat dingin? Ia bahkan sanggup melontarkan kata-kata sinis kepada sang kakek, yang nyatanya sangat ia hormati, kepala Aji terpasang sangat pusing, Aji menggelengkan kepalanya pelan. Ia menyakini ini semua hanya sebatas mimpi yang berarti hanya dunia tidur dan berada di khayalannya saja. Rasanya Aji harus banyak istirahat setelah ini. Aji meneliti ruangan yang ternyata merupakan kamarnya, bukan ruangan rawat inap rumah sakit yang tadi Aji tempati. ia bahkan melihat ke arah tangannya yang tadi terpasang infus, tapi sekarang sama sekali tidak ada. "Hal aneh apa lagi ini, Tuhan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD