bc

Run with You (END)

book_age16+
1.5K
FOLLOW
10.6K
READ
love-triangle
sex
badboy
mafia
heir/heiress
drama
sweet
bxg
mystery
enimies to lovers
like
intro-logo
Blurb

Adhera Yulistio, hidupnya menjadi kacau semenjak bangun dari koma. Ia lupa ingatan, tidak ada seorang pun yang mengaku keluarganya. Ia juga sering diikuti oleh seorang pria misterius bahkan sampai di culik dan di perkosa.

Untungnya Adhera bertemu dengan Ervin Jauzan, sosok pria penolongnya yang tegas dan urakan. Namun ternyata masalahnya tidak berhenti begitu saja. Malahan bertambah buruk. Tiba-tiba saja muncul seorang pembunuh bayaran yang berniat untuk membunuh Adhera.

Kira-kira, siapa yang mengirim pembunuh bayaran itu dan apa alasannya? Dibantu oleh Ervin, mereka sama-sama mencari tahu masa lalu Adhera yang masih begitu kabur baginya. Bahkan sang pria misterius yang telah memperkosanya itu ikut membantunya juga.

Kini, Adera pun semakin terjebak oleh keadaan. Ditambah lagi dengan tumbuhnya rasa cinta kepada dua orang pria yang seharusnya tidak dia cintai itu, bagaimana Adhera akan menjalani hidupnya? Sanggupkah ia memecahkan misteri dibalik semua masalah yang menimpanya?

Ini adalah kisah cinta segitiga penuh adrenalin antara gadis pewaris yang bermasalah, dengan preman suruhan m***m dan pria urakan yang sudah bertunangan. Yang mana yang akan kau pilih?

chap-preview
Free preview
Bab 1 - Amnesia
Seorang gadis muda dua puluhan terbaring kaku di atas ranjang elektrik berseprai putih. Pakaian serba biru membalut tubuh pucatnya yang dipenuhi dengan berbagai macam kabel, selang dan alat medis lainnya. Suara denting Bedside Monitor menjadi satu-satunya suara yang ada di ruangan kamar VVIP tempatnya di rawat. Perlahan, suara denting mesin pendeteksi detak jantung itu yang semula berdenting dengan tempo lambat, semakin lama menjadi semakin cepat. Garis-garis zig-zag yang tertera di monitor yang semula bergelombang halus kini mulai bergelombang kasar. Jari-jemarinya terlihat mulai bergerak, begitu pun kelopak matanya. Seorang perawat masuk ke dalam ruangan sambil membawa sekantong cairan infus di tangannya. Matanya langsung terbelalak ketika melihat ke arah Bedside Monitor yang kini sudah semakin berdenting cepat dan menunjukkan garis-garis runcing tak beraturan. Ia segera berlari kecil ke arah dinding tempat Nurse Call berada dan segera menekannya. Tak lama kemudian seorang dokter laki-laki paruh baya masuk ke dalam ruangan itu dan langsung memberikan serangkaian pemeriksaan kepada pasiennya. Gadis itu, sang pasien, bola matanya semakin berkerut-kerut seperti tengah berusaha untuk membukanya. Selang pernapasan yang menutup mulut dan hidungnya mulai menimbulkan suara lengkingan. Dan detik berikutnya, bola matanya mulai terbuka perlahan. Sang perawat wanita itu tersenyum senang. Matanya beralih ke arah Bedside Monitor untuk melihat frekuensi detak jantungnya yang perlahan mulai terlihat stabil. Ia lalu mendekatkan wajahnya dengan wajah pucat si pasien. “Mbak Adhera, bisa dengar saya?” tanyanya lembut kepada pasiennya yang baru sadar itu. Dokter mulai membantu melepas alat bantu pernapasan yang besar itu dan menggantinya dengan selang oksigen yang lebih kecil. Pasien itu, atau yang disebut Adhera, ia mengerutkan alisnya terlihat seperti sedang bingung. “A-dhera?” Ia menjawab dengan suara paraunya yang hampir tak terdengar. Dokter dan perawat saling bertatapan seperti mencurigai sesuatu. “Ya, itu nama kamu. Adhera.” Dokter itu, Dokter Haikal membantu menjawab. “Apa kamu tidak ingat?” Adhera hanya diam. Ia mencoba mengingat sesuatu, tetapi kepalanya langsung merasakan sakit yang teramat sangat. Ia pun meringis. Dokter Haikal dan perawat langsung buru-buru memeriksanya lagi. “Ke-kenapa aku bisa ada disini?” tanya Adhera. Kali ini suaranya sudah lebih stabil dari sebelumnya. Dokter Haikal dan perawat kembali saling tatap. “Kamu tidak ingat apa yang terjadi sebelumnya?” Dokter Haikal bertanya. Lagi-lagi Adhera terlihat bingung. Ia lalu menggeleng pelan. “Kalau keluarga?” tanya sang perawat. Adhera kembali menggeleng. “Sepertinya benturan keras di kepalanya waktu kecelakaan menimbulkan efek samping yang cukup serius, Dok.” Perawat itu berpendapat. Dokter Haikal mengangguk-angguk. “Tolong segera siapkan apa yang perlu di siapkan, Sus. Kita harus membawanya ke Lab untuk melakukan serangkaian tes agar kita tahu apa yang kita duga ini benar atau hanya sementara. Perawat itu mengangguk patuh, lalu mulai bergerak melepas segala macam alat bantu yang tertempel di tubuh Adhera. Adhera hanya menatap bingung. Sementara Dokter Haikal, ia pergi meninggalkan ruangan itu karena harus mengurus yang lain. ••• Beberapa jam telah berlalu. Sampai saat ini kondisi tubuh Adhera sudah terasa lebih baik. Ya, walaupun masih agak lemas sedikit, sih. Itu hal yang wajar. Kata Dokter ia sudah koma selama empat bulan karena sebuah kecelakaan mobil. Sebenarnya ia masih agak bingung dengan apa yang telah terjadi kepadanya sebelum ini. Ia sama sekali tidak bisa mengingatnya. Ketika ia berusa keras untuk menelusuri ingatannya, kepalanya langsung merasakan nyeri yang teramat sangat. Dokter pun menyarankan untuk tidak memaksakannya. Omong-omong, Adhera sudah menjalani beberapa tes beberapa jam lalu. Tapi hasilnya belum juga keluar. Padahal ia sudah sangat penasaran dengan apa yang tengah terjadi padanya saat ini. Ia juga ingin bertanya banyak hal tapi ia tidak tahu harus menanyakannya pada siapa. Ia bahkan heran, kenapa tidak ada seorang pun yang mengaku sebagai keluarganya selama ia sudah sadar? Apa ia memang tidak punya keluarga? Ah, memikirkannya saja sudah sakit kepala rasanya. Sementara itu disisi lain, Dokter Haikal tengah membaca selembar kertas yang tidak lain adalah hasil dari tes yang dijalankan Adhera. Wajahnya tampak sangat serius saat ini. Tangan kanannya menggenggam ponsel yang di tempelkannya di telinga kanannya. Tut ... tut ... suara nada tunggu berbunyi beberapa kali. Dokter Haikal masih setia menunggu seseorang di seberang sana menerima panggilannya. Akhirnya, orang yang dihubunginya itu menjawab panggilannya. “Halo?” “Ah, Zoe,” kata Dokter Haikal. Nadanya terdengar seperti orang yang sedang senang sekaligus panik. “Bisa kita bertemu?” “Nggak.” Dokter Haikal mendengus. “Ini soal Adhera. Dia sudah sadar.” Hening untuk sesaat. Tapi kemudian Zoe menjawab dengan nada yang terdengar sangat dingin. “Apa dia ngomong sesuatu?” “Dia tidak mengingat siapa dirinya.” Dokter Haikal menjawab. “Kami telah melakukan serangkaian tes kepada Adhera dan hasilnya ... dia menderita Amnesia Disosiatif. Sepertinya Adhera mengalami trauma berat atas peristiwa itu. Fungsi otaknya juga sedikit terganggu akibat benturan keras pada saat kecelakaan empat bulan lalu. Kita tidak tahu dia bisa sembuh atau tidak.” “Cih, nggak guna!” Suara Zoe di seberang tampak terdengar sangat kesal. Dokter Haikal memaklumi itu. Ia sangat memahami perasaan Zoe saat ini. Dokter Haikal menarik napas dalam lalu kembali bertanya. “Lalu sekarang kamu maunya gimana, Zoe?” “Jangan kasih tahu identitas dia. Setidaknya sampai kasus kecelakaan itu terungkap.” “Lalu bagaimana dengan Adhera?” “Aku nggak peduli.” Tut, suara ponsel dimatikan. Dokter Haikal kembali mendengus lalu berjalan menuju ruangan Adhera. Di perjalanan ia terus berpikir bagaimana cara menjelaskan semua hal yang telah terjadi kepada Adhera. Bagaimanapun dia berhak tahu. Tapi Zoe malah ingin membungkam masalah ini sampai misteri kasus kecelakaan itu terpecahkan. Sebagai orang yang dekat dengan mereka, Dokter Haikal tidak bisa memihak Adhera atau pun Zoe. Baginya keduanya tidak ada yang salah. Adhera, satu-satunya korban selamat dari peristiwa kecelakaan itu kini malah lupa ingatan. Tidak ada yang tahu dia terlibat atau tidak sampai ingatannya kembali. Sementara Zoe yang langsung menuduhnya, itu juga tidak salah. Ia pasti sangat frustasi mangkanya dia langsung menuduh orang yang paling besar kemungkinannya menjadi dalang dari peristiwa itu. Mungkin benar kata Zoe. Akan lebih baik kalau Adhera tidak usah tahu dulu mengenai peristiwa empat bulan lalu. Dengan kondisinya yang seperti sekarang ini, memberitahunya tidak akan mengubah apa pun. Malah mungkin akan semakin membuat situasi kembali membising dan memicu sang pelaku utama untuk gencar mengincar Adhera atau Zoe. Dokter Haikal menghela napas. Situasinya memang benar-benar rumit sekarang. Ia bahkan tidak tahu bagaimana cara membantu mereka. Lagi pula siapa dia? Hanya seorang dokter yang kebetulan mengenal dekat keluarga kedua anak itu. Ia pun menggeleng pelan. Ya, sebaiknya ia tidak usah ikut campur. Dokter Haikal pun tiba di kamar rawat Adhera. Ia memasang senyum secerah mungkin untuk memberi gadis itu semangat. Kondisinya sudah terlihat lebih baik sekarang. “Adhera,” katanya menyapa. “Gimana kepala kamu? Apa masih sakit?” Adhera menggeleng pelan. Ia lalu menekan tombol pada tepi ranjang elektriknya untuk menjadi lebih tegak agar ia bisa duduk. “Apa hasilnya udah keluar, Dok?” tanyanya pada Dokter Haikal. Dokter hanya tersenyum sambil menunduk menatap selembar kertas hasil tes Adhera. Ia lalu memberikannya pada Adhera. “Benturan yang cukup keras di kepala kamu menimbulkan cedera yang cukup fatal hingga menyebabkan kamu mengalami amnesia. Dari hasil tes, kamu menderita Amnesia Disosiatif, atau amnesia yang disebabkan karena trauma berat.” Ia menjelaskan. Adhera tertunduk sedih. “Jadi aku nggak akan bisa ingat apa-apa lagi?” “Harusnya bisa kalau kamu hanya menderita Amnesia Disosiatif. Tapi masalahnya benturan itu juga menjadi salah satu penyebab kamu mengalami Amnesia. Kemungkinannya kecil bagi kamu untuk bisa mengingat masa lalu lagi.” Adhera mengeluh frustasi. “Lalu gimana caranya aku cari tahu siapa aku sebenarnya dan siapa keluarga aku? Apa aku ini memang hidup sendiri?” Dokter Haikal sedikit gelagapan. “Ah, itu ....” Adhera menoleh ke arah Dokter Haikal sambil memberi tatapan curiga. “Apa Dokter tahu sesuatu tentang aku? Bisa Dokter kasih tahu aku?” “Y-ya, sedikit,” jawab Dokter Haikal akhirnya. Ia tidak tega melihat Adhera yang terlihat frustasi. Adhera tersenyum senang. Ia merasa seperti ada harapan untuk menemukan jati dirinya. Ia pun memandang Dokter Haikal dengan tatapan yang mengisyaratkannya untuk segera mengatakan apa yang dia ketahui tentang Adhera. Dokter Haikal menarik napas dalam, lalu membuangnya. Ia pun mulai bicara. “Begini ....” Ia memberi jeda sejenak untuk memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan seperlunya. “... empat bulan lalu kamu dibawa oleh seorang wanita ke rumah sakit ini. Dia yang membiayai segala perawatan kamu selama ini sampai kamu sadar.” “Dia siapa? Keluarga aku?” Adhera bertanya dengan tatapan berbinar penuh harap. Dokter Haikal membeku. Lama ia terdiam sampai akhirnya ia menjawabnya dengan gelengan. “Dia adalah seseorang yang kamu kenal, tapi sayangnya dia tidak ingin namanya disebutkan.” Adhera kembali menunduk lesu. Hilang sudah harapannya saat ini. “Terus gimana cara aku menemukan keluarga aku, Dok?” kata Adhera sedih. “Nggak mungkin, kan kalau aku terus berada di rumah sakit ini. Suatu hari aku pasti harus keluar dari sini dan pulang ke rumah. Tapi dimana rumah aku? Apa nggak ada data sama sekali tentang aku di rumah sakit ini?” Dokter Haikal terpaku. Ia lupa memikirkan hal ini. Ia pun mengutuk dirinya dalam hati. “Kenapa diam, Dok?” Adhera bertanya lagi. “Pasti ada ‘kan data-data pribadi aku di rumah sakit ini walau cuma sedikit? Tolong kasih tahu aku, Dok. Siapa nama aku, keluarga aku, rumah aku, aku butuh itu untuk melanjutkan hidup dalam kondisi kayak gini.” Dokter Haikal menatap Adhera iba. Ia lalu menganggukkan kepalanya sekali. “Kami hanya punya sedikit data tentang kamu. Yang kami tahu, nama kamu Adhera.” “Itu aja? Nggak ada nama belakang?” Dokter Haikal lagi-lagi terdiam untuk sesaat lalu menggeleng pelan. “Tidak ada. Wanita yang membawa kamu kesini hanya memberikan alamat tempat tinggal kamu. Akan saya berikan nanti.” Adhera langsung tersenyum mendengar itu. Setidaknya ia masih punya harapan, begitu pikirnya. “Terima kasih,” katanya tulus pada Dokter Haikal. Dokter Haikal hanya mengangguk tersenyum, lalu berpamitan pada Adhera. ••• Di sebuah kamar Apartemen bernuansa pink, terlihat seorang gadis berambut pendek sebahu, tengah terbaring di ranjang king-size-nya sambil berkutat pada ponselnya. Senyumnya langsung mengembang ketika menerima sebuah pesan dari temannya yang berisi informasi kontak seseorang bernama Galih Ismael. Jempol kanannya langsung bergerak cepat meng-klik nomor telepon yang tertera disana, lalu segera meneleponnya. Suara nada tunggu terdengar beberapa kali hingga akhirnya sang pemilik kontak itu menjawabnya. “Zoe?” tanyanya langsung mengenali. Zoe tidak menjawab. Ia langsung berbicara pada intinya. “Target lo Adhera, 21 tahun, seangkatan sama lo di kampus. Sanggup?” Pria di seberang telepon itu, Galih, ia terdengar seperti tertawa pelan. “Sanggup nggak sanggup itu tergantung bayarannya. Apa lo sanggup?” “Kenapa enggak? Lo tahu siapa gue, kan,” jawab Zoe sombong. Lagi-lagi Galih tertawa. “Ya, ya ... gue percaya, kok. Sekarang, apa tugas gue?” “Gue mau Adhera menderita. Lo boleh siksa dia, culik, atau perkosa juga nggak apa-apa, asal jangan dibunuh. Nggak seru! Dia harus mendapat ganjaran yang setimpal.” “Wah, serius nih? Berarti gue boleh dong ena-ena sama Adhera.” Zoe memutar bola matanya kesal. “Terserah lo! Pokoknya jalanin aja, jangan banyak tanya! DP-nya gue transfer malam ini juga.” Pip! Zoe segera mematikan sambungan teleponnya sambil cemberut. Tapi walau begitu, ia senang karena kini akhirnya ia bisa membalaskan dendam kepada seseorang yang ia yakini telah menjadi penyebab dari hancurnya kehidupan keluarganya. •••

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Everything

read
278.3K
bc

BILLION BUCKS [INDONESIA]

read
2.1M
bc

I Love You Dad

read
283.2K
bc

Just Friendship Marriage

read
507.7K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.6K
bc

KILLING ME PERFECTLY ( INDONESIA )

read
89.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook