Bab 2 - Pria Misterius

2270 Words
Satu minggu telah berlalu semenjak Adhera sadar dari komanya. Sampai saat ini Adhera masih belum tahu apa-apa tentang keluarganya. Jangankan itu, nama belakangnya saja ia tidak tahu. Para dokter dan perawat disini juga tidak ada yang memberi tahunya. Katanya, sih, mereka tidak tahu. Tapi apakah betul begitu? Adhera tidak yakin. Ia memang kehilangan beberapa memori penting dalam otaknya. Tapi ia tidak pernah kehilangan logikanya. Tidak mungkin, kan kalau sebuah rumah sakit tidak punya informasi apa pun mengenai pasiennya. Jika begitu, kenapa tidak menghubungi polisi? Dan lagi, katanya Adhera dibawa oleh seseorang yang mengenalnya. Masa iya orang itu tidak memberikan informasi apa pun tentangnya? Rasanya tidak mungkin. Ya, tidak apa, sih. Yang penting 'kan Adhera sudah diberi alamat tempat tinggalnya. Ia sudah tidak terlalu memikirkan itu lagi untuk sekarang. Setidaknya ia masih bisa tenang sejenak. Omong-omong, hari ini adalah hari dimana waktunya Adhera untuk cek-out dari rumah sakit. Kondisi tubuhnya sudah menjadi lebih bugar berkat perawatan intensif selama seminggu penuh pasca koma. Kata dokter, Adhera hanya perlu sering-sering melakukan terapi jika ingin ingatannya cepat pulih. Tapi itu masih bisa dipikirkan nanti-nanti. Sekarang, ia harus menyiapkan beberapa hal dulu sebelum keluar dari rumah sakit. Katanya sih orang yang membawa Adhera kemari meninggalkan koper besar berisi pakaian dan sedikit uang untuknya. Sebenarnya jika dipikir lagi, aneh rasanya jika orang itu membantu Adhera dengan cara seperti ini. Jika dia memang benar-benar peduli dan mengenalnya, kenapa tidak jelaskan langsung saja padanya segala hal yang ia lupakan. Tapi orang itu malah lebih memilih bungkam dan menyembunyikan diri dari Adhera. Adhera jadi berpikir kenapa seperti banyak sekali hal yang sedang disembunyikan oleh orang-orang darinya? Apa ia memang orang yang tidak di percayai orang sebelum ia koma? Apakah ia jahat? Adhera sama sekali tidak tahu ia orang yang baik atau jahat. Tapi apa pun itu, mulai sekarang ia hanya ingin menjadi orang baik saja. Persetan dengan masa lalu yang sudah hampir mustahil untuk ia dapatkan kembali. Ia hanya perlu membuka lembaran baru. Ya, itulah yang harus ia pikirkan sekarang. Seorang perawat berseragam putih-putih masuk ke dalam kamar rawatnya sambil menggandeng sebuah koper hitam besar di tangan kanannya, dan satu nampan steinless berisi beberapa perlengkapan kesehatan di tangan kirinya. "Pagi, Mbak Adhera," sapanya ramah sambil tersenyum. Adhera hanya balas tersenyum padanya. "Ini kopernya, Mbak." "Makasih," jawab Adhera singkat. Sang perawat meletakan nampan steinless-nya di atas meja yang ada di samping ranjang elektrik tempat Adhera berada. "Saya lepas dulu, ya, infusnya," katanya lagi sambil mulai memakai sarung tangan karet yang terletak di atas nampan. Adhera mengangguk. Ia lalu memperhatikan gerakan sang perawat yang mulai menekan-nekan tombol pada selang infusnya, lalu menempelkan sepotong kapas alkohol pada plester yang melingkar di pergelangan tangannya, membasahinya agar mudah terlepas dari kulit. Gerakan tangannya begitu lihai dan hati-hati saat ia mulai melepas kain kasa yang semula menjadi penjepit jarum infus pada pembuluh darah di pergelangan tangan kanan Adhera. Begitu selesai melepaskan jarum itu, tangan kirinya bergerak cepat untuk segera menyumbat bekas luka tusukan itu dengan kapas alkohol yang ditambah dengan sedikit obat merah untuk mencegah keluarnya darah berlebih. Perawat itu tersenyum ketika selesai melakukannya. Ia lalu membereskan sisa-sisa barang tersebut beserta kantung infus dan selangnya ke atas nampan steinless-nya. "Saya keluar jam berapa, Sus?" tanya Adhera. "Sekitar satu atau dua jam lagi. Tunggu sampai Dokter selesai menyiapkan beberapa dokumen yang harus Mbak tanda tangani." Adhera hanya menjawabnya dengan anggukan. Setelah itu, sang perawat pun pergi meninggalkannya seorang diri. Adhera menghela napas pasrah. Sebenarnya ia tidak siap untuk keluar dari rumah sakit dalam kondisi seperti sekarang ini. Ia agak takut melihat dunia karena beberapa ingatannya mengenai dunia sudah hilang entah kemana. Tapi ia tidak punya pilihan. Mau tidak mau ia harus keluar dari tempat ini dan mulai mencari jati dirinya. Ia juga harus memberanikan diri karena ia tahu tidak akan ada seorang pun yang mau membantunya untuk saat ini. Adhera pun bangkit berdiri untuk bersiap-siap. Ia mulai mencoba tersenyum menyemangatkan diri. 'Ya, aku harus kuat sekarang.' Ia membatin. 'Semangat, jangan takut! Aku pasti bisa melewati semua ini!' ••• Pukul satu siang di tengah jalan kota Jakarta. Matahari bersinar dengan teriknya. Suara bising klakson yang terus berbunyi di sepanjang jalan serta asap knalpot dari kendaraan dua tak membuat udara menjadi semakin panas. Adhera berdiri di pinggir jalan sambil membawa koper di tangan kanannya. Matanya memicing ke ujung jalan untuk mencari taksi. Beberapa menit berlalu, sebuah mobil bercat biru muda, dengan mahkota di atasnya yang bertuliskan taksi, mulai terlihat dalam pandangan Adhera. Ia tersenyum senang. Tangannya mulai melambai ke depan, mengisyaratkan kepada sang pengemudi untuk berhenti. Taksi itu pun berhenti. Sang pengemudi ikut turun dari mobil untuk membantu memasukkan koper besarnya ke dalam bagasi. Adhera memberikan selembar kertas yang besisi alamat kepada sang pengemudi ketika mereka sudah berada di dalam mobil. "Ke alamat ini, ya, Pak," kata Adhera. Pak sopir memandang selembar kertas itu dengan teliti lalu mengangguk-angguk dan kembali memberikannya kepada Adhera. Taksi pun mulai berjalan menuju alamat yang Dokter Haikal bilang adalah alamat rumahnya. Setelah satu jam perjalanan, akhirnya Adhera pun sampai di alamat tujuan. Mulutnya menganga lebar melihat bangunan megah ber-cat putih di hadapannya. Bangunan persegi dua lantai dengan bagian tengahnya yang agak maju dan atapnya yang berbentuk segitiga, serasa menambah kesan estetik dari bangunan ini. Gerbang besi hitamnya yang menjulang tinggi hingga dua setengah meter terlihat tertutup rapat. "Apa benar aku tinggal disini?" Adhera bertanya pada dirinya sendiri. "Apa aku ... sekaya ini?" Adhera mulai melangkah maju mendekati bel pintu yang berada di samping kiri gerbang. Ia menekan tombol itu beberapa kali. Satu menit, dua menit, hingga lima menit, tak ada seorang pun yang terlihat keluar dari dalam untuk membukakan gerbang. Sekali lagi Adhera menekan tombol bel itu beberapa kali. Namun masih tetap tidak ada jawaban. Adhera pun mulai cemas. Matanya mulai menelusuri setiap inci gerbang yang terbentang di sisi kanan tombol bel itu. Tidak ada lubang apa pun disana yang biasanya digunakan untuk meraih selot kunci gerbang secara manual. Adhera mendengus. "Ah, kunci gerbang otomatis? Apa ini benar rumah aku?" Adhera mengedarkan pandangannya ke segala arah, berusaha mencari orang di sekitar untuk ia tanyai. Tapi jalanan komplek perumahan ini begitu sunyi sepi tak ada orang yang keluar dari rumah. Wajar saja, ini hari kerja. Pasti tidak banyak orang yang berkeliaran di pemukiman komplek seperti ini. Adhera mulai terduduk frustasi. Ia menangkup wajahnya ke dalam lututnya. Sampai kemudian, suara mesin motor yang mendekat membuatnya kembali bersemangat. Pengendara motor yang tidak lain adalah Security komplek, ia mendekati Adhera dan mulai bertanya. "Cari siapa, Mbak?" Adhera segera berdiri dari duduknya. Ia lalu menyodorkan selembar kertas berisi alamat yang diberikan oleh Dokter Haikal padanya. "Saya lagi cari alamat ini, Pak," ucapnya. "Apa benar alamat yang tertulis disini adalah alamat yang sama dengan rumah ini?" Pak Security memandang alamat di kertas itu sejenak lalu mengangguk mantap. "Ya, benar. Ada apa emangnya? Mbak cari siapa, ya?" Adhera menunduk. Ia bingung hendak menjawab apa. Masa iya dia harus menceritakan detailnya pada seseorang yang tidak dikenalnya? Rasanya itu tidak perlu, kan. Kemudian Adhera segera mengangkat kepalanya lagi dan berkata pada Security. "Pemilik rumah ini, apa dia tinggal sendiri atau udah berkeluarga?" "Wah, saya kurang tahu, Mbak. Saya Security baru disini. Tapi katanya, sih, sebelumnya ada satu keluarga yang tinggal di rumah ini. Sepasang suami istri dan dua anak perempuannya." "Begitu? Terus, kenapa rumah ini sepi ya?" "Oh, Mbak mau bertamu ke rumah ini, ya?" kata Security itu lagi. Adhera hanya mengangguk sekali. "Sayang banget, Mbak. Rumah ini udah ditinggal sama pemiliknya beberapa bulan lalu, bahkan semenjak saya belum kerja disini. Nggak ada yang tahu mereka kemana. Rumah ini ditinggal dalam keadaan kayak terburu-buru gitu. Para pembantunya pun ditinggal begitu aja tanpa informasi apa pun dan nggak di gaji." Adhera terkejut. "A-apa?" Security itu memerhatikan Adhera curiga. "Kenapa, Mbak? Sebenernya Mbak ada tujuan apa ke rumah ini?" "Saya cuma ...," jawab Adhera lesu. "Hah ... mungkin orang yang kasih alamat itu ke saya keliru, Pak." Security itu mengangguk-angguk. "Kalau begitu, apa Mbak masih punya keperluan lain di daerah sini? Kalau sudah nggak ada keperluan apa-apa lagi, mohon maaf, nih. Tapi Mbak harus segera keluar dari area perumahan ini. Disini peraturannya ketat, Mbak. Nggak sembarang orang boleh berlama-lama di area perumahan ini. Nggak apa-apa, kan?" Adhera kembali mengangguk lesu. "Baik, Pak. Makasih infonya, saya permisi." Setelah itu, Adhera pun berjalan pergi sambil menggeret koper hitamnya ke area luar perumahan. Entah kemana kakinya akan melangkah, ia benar-benar tidak tahu. Menghubungi Dokter Haikal pun sepertinya tidak akan membantu. ••• Tak terasa malam telah tiba. Langit sudah menjadi gelap sejak lima jam lalu. Adhera tengah terduduk di sebuah stasiun tidak tahu arah tujuan. Jam keberangkatan kereta terakhir pun sudah berlalu sejak satu jam lalu. Suasana sudah sangat sepi bahkan hampir tidak ada orang. Sejak pergi dari komplek perumahan itu, ia berkeliling untuk mencari kontrakan atau kos-kosan untuk tempatnya berteduh sementara waktu. Tapi ternyata uang yang ditinggalkan di dalam kopernya itu tidak cukup banyak untuk menyewa kontrakan. Adhera sudah mencoba menawar dengan membayarnya untuk beberapa hari saja, tetapi tidak ada yang mau menerimanya. Mungkin ia masih bisa menyewa kamar hotel untuk semalam. Tapi bagaimana dengan besok-besok? Bagaimana ia akan makan nanti? Adhera menunduk sedih. Ia ingin menangis rasanya. Kenapa hidupnya begitu sulit seperti ini di saat ia tengah mengalami amnesia? Kenapa tidak ada keluarganya yang menolongnya? Kenapa seseorang yang katanya mengenalnya itu sama sekali tidak mau menampakkan wajahnya di hadapan Adhera untuk memberi tahu langsung siapa keluarganya? Sebenarnya, seburuk apa dirinya di masa lalu sampai orang-orang menjauhinya? Adhera mendongakkan kepalanya, menahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah. Ia tidak boleh menangis. Percuma, tidak ada gunanya, tidak ada seorang pun yang akan mengasihaninya di tempat ini. Yang ada ia malah akan terlihat seperti orang gila. Adhera menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ia lalu menoleh ke kanan dan kiri, sudah tidak ada orang di tempat ini. Ia pun memutuskan untuk berdiri dan segera pergi dari stasiun ini. Berdiam diri tidak akan menyelesaikan masalah. Ia hanya perlu menguatkan otot kakinya untuk terus mencari rumah yang bisa dikontrakkan menyesuaikan dengan jumlah uangnya. Ia berjalan sambil menggeret kopernya melewati pintu keluar stasiun. Jalanan juga sudah sangat sepi sekarang. Adhera pun terus melangkah entah kemana. Mungkin sekarang tujuan utamanya adalah mencari pemukiman padat penduduk. Di tempat seperti itu ia pasti akan menemukan beberapa rumah kecil yang dikontrakkan. Jika beruntung ia bisa menawarnya nanti. Langkah Adhera sudah semakin jauh dari stasiun. Pemandangan yang ia lewati, dari yang tadinya jalan besar, kini sudah berganti menjadi jalan kecil pemukiman warga. Ia terus melangkah menelusuri jalan mengikuti arah kakinya melangkah. Suasana sudah semakin sepi disini. Adhera bahkan tidak sadar kalau sedari tadi saat ia masih berada di stasiun, ada seorang pria berpakaian serba hitam tengah mengikuti langkahnya. Pria itu berbadan tinggi tegap dan berisi, wajahnya tertutup masker hitam, kedua tangannya ia sembunyikan dalam saku hoodie-nya. Ia berjalan tanpa suara, mengikuti langkah Adhera dalam jarak dua sampai tiga meter di belakang. Mungkin Adhera tidak merasakan kehadirannya karena suara berisik roda kopernya yang sudah sepanjang hari ini menjadi backsound untuk mengiringi langkahnya. Namun, saat ia melewati lampu jalan di salah satu gang, barulah ia melihat kalau ada bayangan seseorang yang mengikuti langkahnya. Jantung Adhera langsung berdebar kencang. Situasi jalan sudah sangat sepi sekarang. Tidak ada orang yang bisa membantunya jika ia kenapa-napa. Adhera memberanikan diri untuk menoleh ke belakang. Namun tidak ada siapa-siapa disana. Ia pun kembali melanjutkan langkahnya dengan lebih cepat lagi. Sekali lagi ia melewati lampu jalan. Kali ini ia memperhatikan dengan baik bayangan pada aspal di bawah kakinya. Benar. Bayangan lain kembali tertangkap dimatanya walau kali ini lebih samar. Adhera pun semakin takut. Ia langsung berlari tanpa menoleh ke belakang lagi. Saat ia berlari, ia mulai menajamkan pendengarannya, berusaha tidak menghiraukan suara bising roda koper yang terdengar mendominasi suasana. Dan ya, memang benar ada suara pacuan kaki lain di belakangnya. Sekali lagi ia menoleh ke belakang, masih sambil terus berlari, barulah saat itu juga matanya terbelalak terkejut melihat seorang pria misterius berpakaian serba hitam tengah mengejarnya dengan tatapan seperti orang yang ingin membunuh. Adhera semakin mempercepat pacuan kakinya, melangkah ke sembarang arah. Jantungnya semakin berdebar kencang, deru napasnya semakin menderu cepat, namun ia seperti tidak bisa merasakan lelah saat ini. Rasa takut dan tegang mendominasi dirinya, memberinya sugesti kalau hal yang harus dilakukannya saat ini adalah berlari secepat mungkin. Sialnya, kakinya salah memilih jalan. Ia malah berlari ke arah gang yang lebih sempit di pemukiman pasar, yang sudah jelas tidak akan ada orang disana pada tengah malam seperti sekarang ini. Langkahnya menjadi tersendat-sendat karena permukaan jalan yang tidak halus. Apalagi dengan membawa koper sebesar itu, ia malah semakin kesulitan untuk berlari. Frustasi dengan kopernya, Adhera meninggalkannya begitu saja di tengah jalan. Masa bodo dengan sejumlah uang yang sangat dibutuhkannya itu, ia sudah tidak peduli lagi. Saat ini, yang terpenting adalah menyelamatkan diri dari pria misterius yang entah menginginkan apa darinya. Namun lagi-lagi, sepertinya nasib baik seolah tidak berpihak pada Adhera sama sekali. Kakinya tersandung jalanan berlubang dan terjatuh. Ia yang hanya memakai dress selutut, itu tidak bisa melindungi lutut dan mata kakinya dari goresan aspal yang rusak. Adhera meringis kesakitan lalu segera memaksakan diri untuk kembali berlari. Sayangnya ia tetap tidak berhasil lari dari kejaran. Pria itu sudah lebih dulu menarik kuncir rambutnya dengan kasar, lalu memukul tengkuknya dengan lengan kekarnya dengan sangat keras. Adhera pun terjatuh dalam kondisi tengkurap. Ya, ia sudah pingsan. Pria itu membalikkan tubuh Adhera dan menyibakkan anak rambutnya yang sedikit menutupi wajahnya. Ia tersenyum miring. "Cantik," gumamnya dengan suara beratnya. "Kita akan berpesta malam ini, sayang." Pria itu pun segera menggendong tubuh Adhera di belakang, mengambil koper miliknya, lalu membawanya entah kemana. •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD